Mongabay.co.id

Kisah Komunitas Lanun, Penjaga Sungai Purba di Pulau Belitung

 

 

Nasidi mengayuh perayu kayu kecil melewati jajaran pohon rasau di Sungai Lenggang, Desa Lintang, Kecamatan Simpang Renggiang, Kabupaten Belitung Timur, Provinsi Bangka Belitung. Sungai Lenggang adalah sungai purba, terbentuk era pertengahan Kenozoikum, sekitar 65 juta tahun lalu.

Kawasan itu dinamai Tebat Rasau. Tebat merupakan Bahasa Melayu Belitung yang berarti “dam air,” sedangkan “rasau” adalah pohon pandan. Dam air terbuat dari jajaran pohon pandan, begitu maknanya.

Tebat Rasau yang luasnya sekitar 8.040 hektar, merupakan hulu dari Sungai Lenggang, sungai terpanjang [60,28 kilometer] dan terbesar [230-1.520 meter] di Pulau Belitung. Sungai ini bermuara langsung ke Selat Karimata.

Sungai Lenggang kini terancam kelestariannya, seiring masifnya penambangan timah dan masuknya perusahaan sawit.

“Sembilan anak sungai sudah hilang,” ujarnya, Minggu [3/3/2024].

Nasidi dan komunitasnya, Komunitas Lanun, serta warga Desa Lintang berkomitmen menjaga sungai dan lingkungannya dari kerusakan. Semangat perlawanan ini juga yang mengilhaminya membuat Komunitas Lanun. Arti lanun adalah bajak laut.

“Kami tidak segan menangkap penebang hutan liar, penambang timah ilegal, serta pencari ikan yang menggunakan listrik atau racun,” ujar Ketua Komunitas Adat Tebat Rasau ini.

 

Bermain perahu di Tebat Rasau merupakan kegiatan menyenangkan. Foto: Moh Tamimi/Mongabay Indonesia

 

Sebelum tahun 2000, warga dengan mudah menangkap ikan arwana perak di Sungai Lenggang. Ketika sawit masuk pada 2013, kondisi sungai berubah. Banjir 2017, menjadi titik balik masyarakat untuk tidak memberi celah pada perusahaan ekstraktif.

“Dulu kalau hujan di hulu, tiga hari kemudian airnya sampai ke desa kami. Sekarang, begitu hujan air cepat sampai sehingga terjadi banjir.”

Kejadian yang tidak bisa dilupakan adalah pada 17 Agustus 2016 ketika warga Desa Lintang mendapati hutan mereka dibabat menggunakan alat berat seluas 30 hektar. Hingga kini, warga terus memperjuangkan hutannya seluas 3.800 hektar dari incaran perusahaan.

Mereka melakukan berbagai cara untuk menyelamatkan sungai dan hutan, mulai  demonstrasi, advokasi, juga mediasi ke berbagai pihak.

“Kami menggalang dana ke sesama warga. Uangnya digunakan untuk perjuangan melawan perusahaan hutan tanaman industri [HTI] yang masuk ke wilayah kami.”

Samian, ayah Nasidi, mendukung perjuangan tersebut meski harus menjual lahannya.

“Kalau tidak dilarang, habislah desa kami,” terangnya, Senin [4/3/2024].

 

Limbah tambang timah yang dibuang ke sungai mencemari air dan mendangkalkan Sungai Lenggang di Belitung. Foto: Moh Tamimi/Mongabay Indonesia

 

Sebelum Nasidi, ada Hariyanto yang menjadi tokoh sentral penyelamatan sungai dan hutan Desa Lintang, sejak tahun 90-an. Dia sekarang bertani lada.

“Kami dulu pernah tujuh bulan menjaga hutan dengan cara pagar betis. Setiap hari 50-60 orang giliran menjaga. Warga ingin hutan berstatus perhutanan sosial, bukan HTI. Saat ini, desa-desa tetangga sudah ada yang hutannya menjadi kebun sawit,” terangnya, Senin [4/3/2024].

Masuknya sawit dan tambang timah membuat pendapatan warga dari sungai menurun. Dulu, untuk menangkap ikan, cukup mancing atau pasang siro [alat tangkap ikan tradisional]. Siro dipasang tiga kali setahun. Ukurannya berbeda, ada yang 2×2 meter atau 2×3 meter.

“Menggunakan siro jumlahnya ikannya bisa mencapai 3-4 ton setiap tahun,” ujarnya.

Sandi, warga Desa Lintang mantan penambang timah, mengatakan penambang liar kerap menambang di pinggir sungai dan limbahnya dibuang begitu saja, sehingga mencemari air dan mempercepat pendangkalan sungai.

“Harga timah delapan tahun lalu masih Rp20 ribu per kilogram. Sekarang, berkisar Rp130 ribu per kilogram.”

Pendapatan dari menambang tidak menentu. Kadang, dapat 20-30 kilogram per hari, dikerjakan 2-3 orang.

“Sekarang saya bekerja sebagai pengolah kayu,” terangnya, Minggu [3/3/2024].

 

Perkebunan sawit di Pulau Belitung semakin banyak, dampaknya ekosistem mulai terancam rusak dan kelestarian Sungai Lenggang terganggu. Foto: Moh Tamimi/Mongabay Indonesia

 

Geosite Tebat Rasau

Untuk meningkatkan ekonomi warga sekitar, dibuatlah kegiatan ekowisata di Tebat Rasau, Geosite Tebat Rasau, yang menyajikan wisata alam dengan keunggulan habitat ikan endemik. Ada The Asian Arowana (Schelepages formasus), The Emperor Snakehead (Channa maruliodes), dan Green spotted puffer (Tertraodon nigroviridis).

Geosite ini didirikan 17 Januari 2018, bersamaan diterbitkannya SK Komunitas Lanun. Sejak 2021, Tebat Rasau ditetapkan sebagai Geosite Belitong UNESCO Global Geopark.

Menurut Nasidi, rekan-rekan di Komunitas Lanun sudah berkumpul sejak lama.

“Kami harus buat karya yang diakui pemerintah.”

 

Rumah ini merupakan Sekretariat Tebat Rasau. Foto: Moh Tamimi/Mongabay Indonesia

 

Pada Oktober-November 2023, sembilan mahasiswa menjalankan program kemah budaya kaum muda yang difasilitasi Kemendikbudristek di Tebat Rasau selama satu bulan. Merka melakukan pemetaan potensi Desa Lintang berupa budaya, UMKM, dan flora-fauna. Mereka juga membuat situs kbkmdesalintang.info, berisi informasi seputar desa.

Usai program itu, mereka ikut kompetisi Gaharu Bumi Innovation Challenge kategori komunitas yang diselenggarakan Ashoka pada 2024, atas nama Lanun Muda. Hasilnya, masuk 12 besar.

“Kami perlu mengenalkan Tebat Rasau,” ujar Bimo Rangga Alfaroby Masyafwa, mahasiswa Teknik Geofisika, Institut Teknologi Sepuluh Nopember, yang ikut program tersebut, Minggu, [17/3/2024].

Nasidi menambahkan, orientasi ekowisata adalah melindungi alam dan menjaga kelestarian Sungai Lengang beserta keragamanhayatinya.

Pengunjung Tebat Rasau dari 2020-2023 tercatat 30 wisatawan internasional, 330 wisatawan nasional, dan 1.047 wisatawan lokal.

“Hutan kami kuncinya adalah Sungai Lenggang,” tegasnya.

 

Bendungan Pice yang pertama kali dibangun pemerintah kolonial Belanda. Foto: Moh Tamimi/Mongabay Indonesia

 

Perubahan habitat sungai

Budi Setiawan, Ketua Tarsius Center Indonesia Foundation, mengungkapkan pada zaman kolonial, Belanda mendesain Sungai Lenggang dengan membangun tiga lembung yaitu Lembung Tapa, Lembung Senayan, dan Lembung Blungai.

Belanda juga membuat Bendungan Pice pada 1933, yang dampaknya sungai melebar. Semua infrastruktur dibangun untuk memudahkan mengeruk timah.

“Seiring adanya tambang, kedalaman lembung sekarang sekitar satu atau dua meter. Tidak bisa menyerap air lagi,” ujar Budi, Kamis [14/3/2024].

Ketika Belanda pergi dan Indonesia merdeka, pertambangan timah terus berlangsung di Belitung. Sementara kebun sawit masuk menggunakan bahan-bahan kimia, pestisida, yang berdampak pada tercemarnya air.

Lalu, ketika sungai dalam kebun sawit diluruskan, terjadi perubahan vegetasi tumbuhan yang heterogen menjadi homogen. Demikian pula dengan populasi ikan.

“Tempat ikan berkembang biak hilang, karena tekanan airnya tinggi sehingga populasinya menurun. Ini terlihat pada nelayan yang menggunakan siro tahun 90-an dan 2000-an, dengan mudah mendapatkan ikan hingga satu ton. Sekarang, dapat 100 kilogram sudah mujur.”

 

Nasidi menunjukkan tumbuhan kiambang yang banyak ditemui di Sungai Lenggang. Foto: Moh Tamimi/Mongabay Indonesia

 

Imbas lain hadirnya perkebunan sawit di hulu Sungai Lenggang adalah kiambang (Salvinia molesta) tumbuh subur. Tumbuhan air tawar ini toleran terhadap paparan logam berat disebabkan tambang timah. Akan tetapi, jika populasinya tidak proposional, bisa mengganggu keseimbangan ekosistem sungai.

“Bila kiambang menutupi sungai, cahaya matahari tidak tembus ke air. Banyaknya kiambang dapat meningkatkan keasaman air sungai dan bepengaruh pada populasi ikan.”

Namun sisi lainnya adalah kiambang bisa dijadikan bahan dasar pupuk kompos. Budi pernah membuatnya hingga delapan ton per bulan dan saat digunakan, tanah tidak cepat mengeras.

“Kadar nitrogennya tinggi sehingga bagus untuk tanaman. Bisa juga berfungsi penyerap air,” paparnya.

 

* Liputan ini didukung Ashoka melalui Gaharu Bumi Media Felloship

 

Ikan Buntal yang Menjelaskan Sungai Purba di Pulau Belitung

 

Exit mobile version