Masyarakat Minta Keluarkan Hutan Adat Tebat Rasau dari Konsesi HTI

 

 

 

 

    • Sekitar 3.000 hektar hutan adat Komunitas Tebat Rasau masuk dalam konsesi hutan tanaman industri (HTI) PT Indo Sukses Lestari Makmur (ISLM). Perusahaan perkebunan kayu yang mendapatkan izin seluas 10.025,19 hektar ini sedang dievaluasi pemerintah.
    • Hutan adat Tebat Rasau di Kaki Gunung Duren merupakan kawasan penting bagi masyarakat maupun lingkungan hidup. Ia merupakan sumber rempah, obat-obatan, habitat satwa maupun hulu dari Sungai Lenggang dan Tebat Rasau.
    • Sebagian Sungai Lenggang dan Tebat Rasau, merupakan sungai purba yang terbentuk sekitar 65,5 juta tahun lalu. Tebat Rasau kini jadi geosite Belitong UNESCO Global Geopark sejak 2021.
    • Eko Bagus Sholihin, peneliti politik sumber daya alam dari Universitas Islam Negeri (UIN) Raden Fatah Palembang mengatakan, hutan adat Tebat Rasau, merupakan DAS penting bagi Sungai Lenggang dan Tebat Rasau. Jadi, menyelamatkan hutan adat sama dengan menyelamatkan hutan, sungai dan Tebat, serta geosite dari geopark yang dilindungi UNESCO.

 

 

Komunitas Tebat Rasau di Belitung, kehilangan hutan adat sekitar 3.000 hektar kala perusahaan perkebunan kayu, PT Indo Sukses Lestari Makmur (ISLM) masuk wi masuk wilayah mereka. Masyarakat meminta pemerintah mengeluarkan hutan mereka dari perusahaan hutan tanaman industri ini.

Perusahaan hutan tanaman industri dengan konsesi berada di tiga kecamatan, yakni Desa Balok dan Desa Dendang (Kecamatan Dendang), dan Desa Simpang Pesak (Kecamatan Simpang Pesak). Kemudian, Desa Lilangan, Limbungan, Jangkar Asam, Batu Penyu di Kecamatan Gantung), dan Desa Lintang (Kecamatan Simpang Renggiang), Kabupaten Belitung Timur, Bangka Belitung.

ISLM mendapatkan izin konsesi seluas 10.025,19 hektar seperti dalam SK.780/Menhut-II/2012. Pemerintah tengah mengevaluasi perusahaan HTI ini.

“Kami berharap evaluasi pemerintah terhadap Indo Sukses Lestari Makmur dapat mengembalikan hutan adat kami seluas 3.000 hektar,” kata Narsidi, Ketua Komunitas Adat Tebat Rasau, kepada Mongabay, akhir April lalu.

Dia khawatir kalau sampai hutan adat terbuka, dan jadi kebun karet atau jadi penambangan timah atau perkebunan sawit, bencana mengintai.

“Saat musim penghujan, berbagai desa di Kecamatan Simpang Renggiang seperti Desa Lintang, Aik Ruak, Renggiang, Liring, Birah, dan Kelubi, akan banjir. Saat musim kemarau, mengalami krisis air atau kekeringan,” katanya.

Dia bilang, yang bakal paling menderita Tebat Resau, masih bagian dari Sungai Lenggang, salah satu sungai purba di Pulau Belitung.

 

Baca juga: Was-was Nasib Kawasan Hutan di Kaki Gunung Duren

Narsidi (45), Ketua Komunitas Tebat Rasau. Berharap pemerintah mengembalikan hutan adat yang masuk kawasan konsesi HTI PT Indo Sukses Lestari Makmur. Foto Nopri Ismi/Mongabay Indonesia
Narsidi (45), Ketua Komunitas Tebat Rasau. Berharap pemerintah mengembalikan hutan adat yang masuk kawasan konsesi HTI PT Indo Sukses Lestari Makmur. Foto Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

 

Kawasan penting

Hutan adat mereka sumber segala dari tumpuan ekonomi, pangan, sumber air, sampai obat-obatan. Narsidi bilang, ada puluhan tanaman obat di hutan adat yang berada di Kaki Gunung Duren itu.

Dia contohkan, akar kuning (Fibraurea chloroleuca) dan upak-apik atau akar bajakah (Spatholobus littoralis hassk). Selain itu, masyarakat juga mendapatkan hasil hutan non kayu seperti madu dan jamur.

“Di dalam hutan adat itu terdapat juga rempah-rempah, merupakan sumber mata air berbagai anak sungai, termasuk Sungai Lenggang bersama Tebat Rasau ini,” kata Narsidi.

Hutan adat juga rumah beragam satwa. Ia habitat mentilin (Tarsius bancanus), kancil (Tragulus javanicus), musang (Paradoxurus hermaphroditus), ayam hutan (Gallus varius), dan monyet (Macaca fascicularis). Ada juga, babi hutan (Sus scrofa), trenggiling (Manis javanica), biawak (Varanus sp), serta lutung (Tracypithecus auratus).

Begitu pentingnya hutan adat warga di sekitar Gunung Duren ini, mereka pun buat aturan atau pantang larang. Misal, dilarang menebang atau merusak hutan termasuk hutan riding (perbatasan dengan kebun masyarakat).

“Itu tidak boleh dilakukan. Jika dilanggar dapat mendatangkan musibah dan penyakit bagi orang kampung. Jika hutan itu habis dibuka untuk kebun karet, sawit atau ditambang timah, dipastikan tiap tahun kami akan menerima bencana seperti banjir, angin ribut, serangan penyakit, dan lain-lain.”

Kerusakan itu juga akan berdampak terhadap hilangnya keberagaman biota di Sungai Lenggang dan Tebat Resau. “Di sini masih ada kura-kura byuku atau kura-kura besar yang disebut orlitia bornensis, harus kita jaga kelestariannya. Juga ada 132 jenis ikan. Termasuk arwana, ampong dan buntal air tawar.”

Ampong merupakan jenis ikan gabus yang memiliki keindahan warna. Misal, warna hitam atau kuning berhias kembang atau bunga.

“Tebak Rasau yang luasnya sekitar 8.040 hektar. Ini lokasi sekitar 900 nelayan sungai di Desa Lintang mencari ikan.”

 

Baca juga: Presiden Cabut Izin Jutaan Hektar, Saatnya Kembali ke Rakyat dan Pulihkan Lingkungan

Tebat Rasau merupakan tempat hidup ratusan nelayan di Desa Lintang, Belitung Timur, Kepulauan Bangka Belitung. Foto Nopri Ismi-Mongabay Indonesia
Tebat Rasau merupakan tempat hidup ratusan nelayan di Desa Lintang, Belitung Timur, Kepulauan Bangka Belitung. Foto Nopri Ismi-Mongabay Indonesia

 

Sungai purba

Tebat Rasau UNESCO nobatkan sebagai salah satu goesite Belitong UNESCO Global Geopark sejak 2021. Tetapi tak seperti umumnya geosite di Kepulauan Bangka Belitung, di Tebat Rasau tidak terlihat batuan granit. Hamparan tanah rendah dan rawa (tebat).

“Tebat Rasau ini berada di sungai purba. Kedalaman sungai ini hingga puluhan meter, dengan lapisan bawah patahan lempengan bumi, yang dapat dilihat saat Sungai Lenggang kering, seperti saat musim kemarau panjang,” kata Narsidi.

Hutan adat mereka ada di hulu. “Kalau hutan adat habis, hilanglah pula keberadaan Tebak Rasau ini,” kata Narsidi.

Tebak Rasau merupakan satu titik pergeseran sesar kawasan Sundaland pada pertengahan Neozoikum sekitar 65,5 juta tahun lalu, yang membentuk bidang datar yang luas disebut rawa rheotripik. Selain dipenuhi alga, juga memiliki tipe alluvial [alluvial swamps].

 

Ikan ampong [Chana meriulides], yang masih ditemukan di Tebat Rasau, selain ikan arwana [Scleropages formosus], ikan buntal air tawar [Tetraodon mbu] dan kura-kura byuku [Orlitia bornensis]. Foto Nopri Ismi/ Mongabay Indonesia
Ikan ampong [Chana meriulides], yang masih ditemukan di Tebat Rasau, selain ikan arwana [Scleropages formosus], ikan buntal air tawar [Tetraodon mbu] dan kura-kura byuku [Orlitia bornensis]. Foto Nopri Ismi/ Mongabay Indonesia

 

Harus dilindungi

Eko Bagus Sholihin, peneliti politik sumber daya alam dari Universitas Islam Negeri (UIN) Raden Fatah Palembang mengatakan, menyelamatkan Tebat Rasau bukan hanya menyelamatkan rawa, juga daerah aliran sungai (DAS)-nya.

Hutan Adat Tebat Rasau, merupakan DAS penting bagi Sungai Lenggang dan Tebat Rasau. Jadi, katanya, menyelamatkan hutan adat sama dengan menyelamatkan hutan, sungai dan Tebat, serta geosite dari geopark yang dilindungi UNESCO. “Dua ekosistem yang terhubung dan tidak terpisahkan, serta ekosistem yang unik.”

Dengan fakta itu, kata Eko, Tebat Rasau memiliki nilai konservasi tinggi (NKT). Selain kaya akan flora dan fauna dilindungi, juga bagian dari geopark serta memiliki jasa lingkungan tinggi. Juga melahirkan tradisi atau budaya luhur pada masyarakat yang menetap di sekitarnya.

“Intinya, pemerintah mendapatkan banyak keuntungan dengan mengembalikan hutan adat kepada masyarakat di sekitarnya,” kata Eko.

Iqbal Saputra, budayawan muda Belitung mengatakan, masyarakat adat di Pulau Belitung hidup patuh dengan adat. Adat mengajarkan hidup untuk menjaga dan harmonis dengan alam. “Kalau hutan, laut, sungai, danau atau Tebat di Pulau Belitung ini ingin selamat dari kerusakan, ya, serahkan pengelolaan pada masyarakat adat.”

Persoalannya, kata Iqbal, masyarakat adat belum sepenuhnya diakuipemerintah, terutama pemerintah daerah. “Buktinya belum ada perda (peraturan daerah) terkait pengakuan dan perlindungan masyarakat adat. Skema yang diberikan pemerintah, misal, melalui perhutanan sosial, terlalu rumit dan membutuhkan waktu panjang, sebab harus berhubungan dengan pemerintah pusat.”

Dia meminta, Pemerintah Belitung Timur segera melahirkan perda pengakuan dan perlindungan masyarakat adat hingga hutan, sungai, dan laut, yang tersisa atau masih lestari dapat terselamatkan.

 

Salah satu kawasan hutan di lanskap Gunung Duren, Belitung Timur, Kepulauan Bangka Belitung, yang dirambah penambang timah ilegal. Foto [Drone] M. Rizqi Ramadhani/Mongabay Indonesia
Salah satu kawasan hutan di lanskap Gunung Duren, Belitung Timur, Kepulauan Bangka Belitung, yang dirambah penambang timah ilegal. Foto [Drone] M. Rizqi Ramadhani/Mongabay Indonesia

 

*********

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , ,