Mongabay.co.id

Hidup di Sekitar Industri Nikel: Janji Kesejahteraan, Kenyataan Kehancuran

Kawasan Industri Smelter PT IWIP di Lelilef Sawai Halmahera Tengah (1)

 

 

 

Langit oranye, udara pun berdebu sore itu. Jalanan sibuk dengan orang-orang berkerumun. Berbagai kendaraan hilir mudik, mulai sepeda motor, mobil pick-up yang mengangkut penumpang, menyusuri jalan padat beraspal yang mulai rusak. Beberapa orang baru mau pulang kerja, yang lain bersiap-siap berganti shift. Orang-orang memakai masker melindungi diri dari debu yang menyelimuti udara yang beterbangan di sana.

Saat kami menyusuri jalan rusak, bau batubara dan belerang menusuk hidung. PLTU, pabrik smelter yang mengolah bahan baku nikel, berjejer di sepanjang jalan mengeluarkan asap yang menyebar partikel-partikel zat berbahaya. Mesin-mesin bekerja sepanjang waktu, 24 jam. Truk sampah pengangkut limbah batubara berseliweran.

Begitu suasana ketika kami berada di Desa Lelilef, masuk Kawasan Industri Weda Bay Industrial Park (IWIP), Halmahera, Maluku Utara. IWIP merupakan kawasan industri terpadu mega proyek pertambangan nikel dengan luas sekitar 5.000 hektar pada 2022 dan bakal berkembang sampai sekitar 15.000 hektar. Lelilef, satu dari empat desa ring pertama terdampak pembangunan kawasan industri IWIP sejak 2018.

Data Walhi Maluku Utara menyebutkan, sekitar 129 hektar lahan tereklamasi untuk keperluan pembangunan bandara, pelabuhan, dan fasilitas industri lain guna mendukung IWIP. Kawasan hutan bakau yang tadinya bertutupan rapat, padang lamun masih utuh, dan terumbu karang, semua lenyap karena reklamasi. Reklamasi masih akan terus terjadi.

Begitu banyak pertanyaan di kepala saya dalam perjalanan kami mengelilingi wilayah sekitar IWIP. Semua ini untuk apa? Jarak tempat tinggal pekerja begitu dekat dengan lokasi proyek, bagaimana orang bisa hidup dengan keadaan seperti ini? Apakah makanan setiap hari sehat dan tak terkontaminasi debu?

Pemerintah jadikan proyek ini sebagai prioritas, strategis dan menjanjikan kesejahteraan, tetapi kenapa masyarakat yang tinggal seperti jauh dari kesejahteraan?

 

Langit berwarna orange karena polusi di sekitar kawasan industri PT IWIP. Foto: Agus Dwi Hastutik

 

Industri nikel di Indonesia berkembang pesat dalam satu dekade terakhir. Ambisi Pemerintah Indonesia pun jadi produsen nikel terbesar dunia dengan memanfaatkan isu peralihan energi fosil ke terbarukan yang ramah lingkungan menyebabkan perluasan penambangan nikel besar-besaran. Indonesia tercatat sebagai negara dengan cadangan nikel terbesar di dunia.

Data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral menunjukkan, Indonesia memiliki setidaknya 72 juta cadangan nikel (ni), termasuk logam keras, atau 52% dari cadangan nikel dunia sebanyak 1.139.419.000 ton. Tiga wilayah dengan kandungan nikel terbesar adalah Sulawesi Tenggara (32%), Maluku Utara (27%), dan Sulawesi Tengah (26%).

Berdasarkan data Walhi, saat ini terdapat 265 perusahaan nikel tersebar di empat provinsi di Indonesia, yakni, Sulawesi Tengah, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, dan Maluku Utara menguasai lahan 1.037.435,22 hektar.

Ambisi Pemerintah Indonesia didorong dengan lahirnya Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 55/2019 tentang Percepatan Program Kendaraan Bermotor Listrik Berbasis Baterai untuk Transportasi Jalan. Perpres ini untuk meningkatkan efisiensi energi, ketahanan energi, dan konservasi energi pada sektor transportasi, serta menciptakan energi bersih, kualitas udara bersih dan ramah lingkungan serta mengurangi emisi gas rumah kaca.

Seiring masifnya ekspansi pertambangan nikel di Indonesia, kerugian sosial ekonomi dan lingkungan dampak degradasi hutan dan pencemaran dialami masyarakat juga makin besar. Nikel yang disebut-sebut ‘ramah lingkungan’ karena mendukung kendaraan listrik, proses ekstraksi jadi bahan baku jauh dari kata ‘ramah lingkungan’.

Lelilef, Kecamatan Weda Tengah, Halmahera Tengah,  salah satu desa terdampak ambisi pemerintah sejak kehadiran proyek IWIP. Desa ini terletak di pesisir Teluk Weda dan dibagi menjadi dua wilayah administratif, Lelilef Woebulen dan Lelilef Sawai Akedoma.

Sebelum IWIP hadir,  kehidupan masyarakat dari nelayan dan petani. Setelah ada IWIP, sebagian masyarakat berubah menjadi pekerja perusahaan bersama pendatang dari wilayah lain, baik dari Halmahera atau luar pulau itu.

 

Area yang tereklamasi jadi Kawasan industri PT IWIP di Halmahera Tengah. Foto: Christ Belseran/ Mongabay Indonesia

 

Sebelumnya, kondisi alam di Desa Lelilef ditumbuhi ekosistem mangrove tempat hidup biota laut seperti ikan dan tanaman bulanan seperti sayur mayur yang memenuhi kebutuhan sehari-hari masyarakat.

Sebelum ada proyek, masyarakat biasa menangkap ikan di perairan tak jauh dari bibir pantai. “Ikan itu bisa merasakan ketika mereka sudah tidak aman lagi. Mereka akan pergi. Sekarang kita jalan sudah jauh dari bibir pantai. Tidak seimbang dengan biaya operasional. Ketika kami nelayan pergi jauh juga belum tentu ada ikan,” Keluh Amdulllah Ambar, biasa disapa Dullah, Suku Sawai asli Lelilef.

Berbagai jenis ikan dari cakalang, tuna, tude, dan lolosi yang dulu melimpah sekarang sudah jarang. Wilayah tangkap nelayan tradisional yang biasa dari titik 0-1 mil turut makin menyempit karena ada reklamasi.

Hal sama juga dirasakan kepada kelompok profesi petani. “Lahan pertanian semua sudah tercemar dengan limbah perusahaan ditambah lahan sudah mau dibebaskan. Meskipun ada yang bisa ditanam, hanya sedikit untuk menambah sumber bertahan hidup.”

Masyarakat Desa Lelilef tidak punya banyak pilihan. Bagi kelompok yang memiliki modal lebih, mereka beruntung dengan membangun kos-kosan untuk disewakan kepada pekerja dari luar daerah sebagai tambahan ekonomi mereka. Bagi kelompok yang tidak memiliki modal cukup, mereka harus beradaptasi dengan keadaan yang tidak mudah memenuhi kebutuhan mereka. Untuk bisa makan sehari-hari sudah cukup.

Lelilef juga mengalami masalah serius dengan ketersediaan air. Dampak ini terasa begitu nyata setelah IWIP beroperasi. Sumber air yang sebelumnya dari air tanah perlahan hilang karena terkontaminasi lebih. Masyarakat harus mengeluarkan biaya tambahan yang tidak murah untuk mendapatkan air layak.

“Kami di sini membuat sumur bor untuk rumah masing-masing. Sebelum IWIP, kami ambil air sumur. Karena dampaknya sudah begitu besar. Kami harus sering ngebor, bisa habis sampai Rp40-60 juta sekali ngebor,” kata Dullah.

Dullah bersama keluarganya sudah menetap di Lelilef sudah puluhan tahun. Di rumah kecilnya, dia tinggal bersama anak dan cucunya. Tidak mudah tinggal di sekitar tambang ketika udara yang mereka hirup setiap terasa mencekik dengan aroma belerang.

“Ya bagaimana, kami sudah tinggal di sini sejak lama dan makan dari sini,” kata Nuh S, istri Dullah, juga nelayan.

Malam itu dia hidangkan makan malam dengan ikan hasil tangkapan dari belakang rumah. “Mama menangkap ikan ini di belakang rumah. Ikan ini ikan segar.”

Meski dengan keterbatasan, keluarga Dullah tidak berniat meninggalkan Lelilef karena ini asal mereka. Keluarga Dullah menyayangkan proyek yang disebut-sebut akan membawa kesejahteraan masyarakat justru berdampak sebaliknya.

Menurut mereka, perusahaan dan pemerintah tidak bisa menjawab kebutuhan masyarakat di sekitar tambang.

Sampah pun banyak di pesisir. “Sampah di sini juga makin banyak, sampah plastik terutama, ini juga tidak bisa dijawab pemerintah.”

 

PLTU di kawasan industri PT IWIP di Halmahera Tengah. Foto: Agus Dwi Hastutik

 

Kajian Walhi Maluku Utara menemukan, dari sejumlah sampel air menunjukkan kualitas air di Teluk Weda dan Pulau Obi tercemar logam berat. Laporan Muhammad Aris, Guru Besar Universitas Khairun Ternate bekerja sama Kompas juga menunjukkan sejumlah perairan di Halmahera terindikasi tercemar logam berat akibat aktivitas penambangan dan pengolahan bijih nikel. Lebih buruk lagi, perairan ini merupakan tempat pemijahan dan pembesaran ikan serta jalur migrasi ikan tuna.

Maluku Utara merupakan provinsi kepulauan dengan 79% perairan dan 21% daratan. Sebagai provinsi kepulauan, bentang alam provinsi ini rentan terhadap krisis iklim. Namun pengelolaan sumber daya alam yang memberikan hak istimewa kepada korporasi di Maluku Utara dalam bentuk konsesi ekstraktif meningkatkan kerentanan yang harus dihadapi wilayah ini di masa depan.

“Masyarakat di Maluku Utara, 90% hidup bergantung pesisir laut dan kawasan hutan. Ini kemudian dihancurkan investasi yang didorong negara melalui proyek-proyek strategis nasional,” kata Faizal Ratuela, Direktur Eksekutif Walhi Maluku Utara.

IWIP merupakan salah satu proyek strategis nasional di Maluku Utara. Proyek ini masuk dalam kerangka kebijakan pemerintah untuk mendorong transisi energi.

“Ini solusi palsu yang dibuat pemerintah. Saat ini, perekonomian rakyat tergerus menjadi dua generasi.”

Ratuela mengatakan,  harus segera moratorium pertambangan dan semua yang terdampak proyek harus dipulihkan.

Ketika ke IWIP November lalu, memberi pemahaman mendasar tentang kehidupan masyarakat sekitar tambang dan kesejahteraan ‘palsu’ yang mereka terima. Bertentangan dengan klaim Pemerintah Indonesia bahwa pertambangan akan mendatangkan kesejahteraan. Kenyataan menunjukkan sebaliknya. Di Lelilef, kerusakan lingkungan dan kerugian ekonomi maupun sosial masyarakat dampak pertambangan nikel tidak dapat dihindari.

Ambisi Pemerintah Indonesia memanfaatkan isu transisi energi kendaraan listrik dengan memanfaatkan nikel akan makin memperburuk krisis.

Indonesia bukan satu-satunya negara yang mengalami ini. Menurut laporan UNEP baru-baru ini, penggunaan sumber daya global yang tidak pernah terpuaskan meningkat tiga kali lipat dalam 50 tahun terakhir. Indonesia termasuk di antara 10 besar negara penghasil nikel dalam negeri pada 2020. Sulit dipungkiri,  keinginan Pemerintah Indonesia menjadi produsen nikel terbesar tidak terlepas dari permintaan global terhadap bahan baku mineral ini untuk kendaraan listrik yang diproduksi di negara-negara dunia utara, yang mereka bungkus sebagai solusi untuk transisi energi.

Senyatanya, eksploitasi dan industrialisasi nikel di Indonesia tidak termasuk dalam kerangka kerja untuk merespons krisis iklim, melainkan kapitalisasi bisnis komponen alam di atas tanah, bidang tanah, dan bawah tanah. Selanjutnya, apa yang akan tereksploitasi setelah ini?

 

 

*******

*Penulis Agus Dwi Hastutik, merupakan Manajer Hubungan Internasional  Walhi Nasional

 

Catatan Akhir Tahun: Karut Marut Hilirisasi Nikel, Persulit Hidup Masyarakat, Lingkungan Makin Sakit

Exit mobile version