Mongabay.co.id

Hakim Vonis Bersalah Pengunjuk Rasa, Bagaimana Kondisi Terkini di Rempang?

 

 

 

 

Tangis histeris pengunjung sidang pecah usai Ketua Hakim David P, Sitorus membacakan amar putusan untuk 34 pengunjuk rasa bela Rempang, di ruangan sidang Pengadilan Negeri Batam, 25 Maret lalu. Dari 34 terdakwa, 21 orang vonis 6 bulan 15 hari, dan 11 orang selama 6 bulan 21 hari, satu orang tiga bulan, dan satu orang 8 bulan penjara.

Salah satu Fitto, pemuda 18 tahun kena vonis penjara enam bulan 15 hari. Dikurangi masa tahanan dia bebas 27 Maret 2024.

Miradiva, ibu Fitto tak bisa menahan tangis. Seketika perempuan 41 tahun ini histeris memeluk anaknya yang baru keluar dari ruangan sidang.

“Senang, bisa ngumpul sama anak,” kata Mira kepada Mongabay sambil terus memeluk anaknya.

David P. Sitorus mengatakan, 34 terdakwa aksi bela Rempang ini sah dan terbukti melanggar Pasal 170 ayat (1) KUHPidana terbukti melakukan perusakan dan melawan petugas saat aksi 11 September lalu di depan Kantor BP Batam.

Aksi itu dilakukan masyarakat dari berbagai daerah untuk memberi dukungan kepada ribuan masyarakat Pulau Rempang yang terancam tergusur proyek Rempang Eco-city.

Hampir seluruh terdakwa dinyatakan terbukti melempar batu ke arah Kantor BP Batam dan ke arah petugas yang sedang menjaga aksi unjuk rasa.

Para terdakwa kasus Rempang ini dianggap sebagai pahlawan yang membela tanah ulayat di Pulau Rempang. Terbukti setiap persidangan dukungan terus datang dari warga Rempang yang sampai saat ini masih menolak relokasi.

“Mereka harus dibantu, karena sudah membantu kita, setiap sidang kami dari Rempang harus datang ke Batam untuk memberikan dukungan,” kata Siti Hawa, warga Rempang. Setidaknya dari Pulau Rempang ke lokasi sidang perlu waktu dua jam perjalanan atau sekitar 57 kilometer.

Khairul, pengunjuk rasa Rempang senang setelah mendapatkan vonis ringan. “Senang, bersyukur juga akhirnya yang kami harapkan dengan kawan-kawan semua, bertemu dengan keluarga sebelum Lebaran,” katanya.

Dia bilang, akan terus bersolidaritas. “Kami minta PN lebih adil lagi untuk menangani segala masalah, apalagi untuk orang ramai yang berjuang untuk tanah leluhur mereka,” kata Khairul.

 

Sidang 34 terdakwa aksi bela Rempang di Pengadilan Negeri Batam. Foto: Yogi Eka Sahputra

 

Kondisi terkini di Rempang

Sementara di Rempang, pemerintah terus melakukan berbagai upaya supaya masyarakat setuju relokasi, sedangkan masyarakat tempatan bersikukuh menolak.

Hulu Wadi, warga Sembulang mengatakan, sampai saat ini warga terus menolak relokasi. Mereka tak akan tergiur uang, tanah ataupun rumah megah yang dijanjikan BP Batam.

“Kampung ini punya sejarah masing-masing, jika bergeser sejengkal aja sejarah itu akan hilang, kami sudah nyaman disini, tak nak untuk pindah,” kata Wadi dengan logat Melayu kental.

Usai menghadiri sidang, Direktur Eksekutif Walhi Riau,  Even Boy Sembiring mengatakan, pemerintah lebih mendengarkan hati investor dibandingkan suara masyarakat.

“Kita melihatnya kayak gini ya, pemerintah sama sekali tidak mendengarkan omongan masyarakat,” kata Boy.

Apalagi,  beberapa kali Kepala BP Batam Muhammad Rudi menyatakan, proyek PSN ini akan tetap lanjut. “Kita dengar beberapa statemen Rudi khusus, proyek akan terus berlanjut, yang didengarnya investor, suara orang Rempang, atau suara siapa?” katanya.

Data Tim Solidaritas Nasional untuk Rempang menunjukkan mayoritas masyarakat lokal di Rempang menolak relokasi. “Kita identifikasi mayoritas masyarakat masih menolak,” kata Boy

Boy juga katakan kalau proyek serupa akan merambah ke Pulau Galang, bersebelahan dengan Rempang. Pulau itu, katanya, akan jadi kawasan strategis pariwisata nasional. “Kita tidak tau untuk siapa itu semua.”

Sedangkan BP Batam terus membangun rumah contoh relokasi di Tanjung Banun, Pulau Rempang. BP Batam juga menargetkan membangun hampir 100 rumah relokasi.

Dalam siaran pers BP Batam, sebutkan,  saat ini proses pembangunan rumah contoh terus berlangsung. Bahkan,  untuk empat rumah contoh yang sedang dibangun di Tanjung Banun sedang dalam proses finishing.

 

Spanduk protes penolakan pembangunan perumahan rumah contoh untuk warga relokasi yang terdampak proyek Rempang Eco-City di Batam. Foto: Yogi Eka Sahputra/ Mongabay Indonesia

 

BP Batam juga menunjukkan data terbaru sebanyak 393 keluarga sudah sepakat bergeser ke hunian sementara. Sebanyak 598 keluarga sudah berkonsultasi, 94  orang sudah pindah ke rumah relokasi sementara.

“Tim selalu mengedepankan pendekatan persuasif selama sosialisasi,” kata Ariastuty Sirait, Kepala Biro Humas Promosi dan Protokol, dalam siaran pers 22 Maret lalu.

Awalnya,  proyek PSN Rempang Eco-city ini akan mencakup 17.000 hektar, di dalamnya terdapat 16 kampung. Saat ini,  pembangunan tahap pertama pada lahan 2300 hektar, terdapat di lima kampung tua.

Untuk tahap awal ini, katanya,  masyarakat terdampak 821 keluarga, berkurang setelah verifikasi dan validasi berkala.

Sesuai instruksi Kepala BP Batam, Muhammad Rudi, kata Tuty, mereka diminta terus melakukan upaya-upaya humanis selama pendataan dan penanganan dampak sosial terhadap warga di areal proyek.

Eko Cahyono, sosiolog juga peneliti dari Sajogyo Institute mengatakan, kalau pemerintah memaksakan pembangunan PSN Rempang Eco-city  berarti bukti pemerintah abai suara rakyat.

“Itu satu pembangunan yang inknoren, namanya nalar elit, memutuskan kebijakan pembangunan politik di belakang meja tanpa melihat situasi rill, atau politik pengabaian, itu punya semangat kolonial” kata Eko,saat dihubungi Mongabay.

Proyek Rempang, katanya,  menunjukkan satu cara pembangunan berbasis PSN yang legal tetaoi tidak legitimate.

“Tidak jauh beda dibandingkan PSN lain, ketika ditanya aturan memang ada yaitu PSN, tetapi adil nggak buat rakyat? Itu watak kebijakan legal.tetapi tidak legitimate,” kata Eko.

Eko menegaskan lagi, persoalan hubungan manusia dengan tanah yang kini tak pemerintah pahami.

“Hubungan manusia dengan tanah itu tidak sekadar ekonomistik,  hubungan manusia dan tanah itu komplek, berlapis, ada hubungan sosial, ekonomi, politik, ekologi bahkan hubungan spritual,” katanya.

Jadi,  memarginalisasi atau menyingkirkan mereka dari tanah adat bukan hanya berarti soal ekonomi hingga bisa ganti rugi atau diberi ‘sagu hati.’ “Tetapi ada sejarah di dalamnya. Kalau ganti rugi,  pemerintah menganggap hanya sebagai hubungan ekonomistik,” kata Eko.

 

*****

 

Potret Kehidupan Suku Darat di Pulau Rempang

Exit mobile version