Mongabay.co.id

OECM: Solusi Akselerasi Perluasan Kawasan Perlindungan Laut Indonesia Menuju 2045

 

Selama ini pengelolaan kawasan perairan untuk kepentingan konservasi dilakukan oleh Pemerintah Indonesia, melalui penetapan kawasan konservasi perairan. Akan tetapi untuk mengakselerasi target perluasan kawasan konservasi 10 persen dari total luasan perairan nasional pada 2030 dan 30 persen pada 2045, diperlukan upaya tambahan di luar kawasan konservasi yang telah ditetapkan.

Upaya tambahan itu dilakukan dengan mengembangkan kawasan konservasi di luar yang dikelola oleh pemerintah melalui Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) yaitu metode Other Effective Area-Based Conservation Measures (OECM).

Metode OECM ini sudah mulai diinisiasi sejak 2018 pada gelaran Conference of Parties (COP) Badan PBB untuk Konvensi Kerangka Kerja Perubahan Iklim (UNFCCC) ke-14 di Sharm El Sheikh, Mesir.

Pada Lokakarya OECM Nasional yang digelar di Jakarta belum lama ini, Direktur Jenderal Pengelolaan Kelautan dan Ruang Laut KKP Victor Gustaaf Manoppo menyebut kalau OECM bisa menjadi solusi inovatif dan fleksibel untuk memperluas cakupan konservasi laut di Indonesia.

Akselerasi perluasan kawasan konservasi laut, menjadi penting untuk dilakukan, karena Indonesia menargetkan luasan bisa mencapai 9,75 juta hektare pada 2045 atau saat Indonesia merayakan Hari Kemerdekaan yang ke-100.

“Saat ini luas kawasan konservasi yang telah ditetapkan mencapai 29,3 juta hektare. Penambahan (sesuai target pada 2045) ini adalah strategi dalam mewujudkan kebijakan ekonomi biru,” jelasnya.

Victor menerangkan bahwa penambahan luasan wilayah konservasi laut mutlak dilakukan dan memerlukan dukungan penuh dari banyak pihak, bukan hanya dari pemerintah saja.

Penambahan luasan akan bersinergi dengan kebijakan global seperti Kunming-Montreal Global Biodiversity Framework yang menetapkan target ambisius untuk melindungi wilayah darat dan laut hingga 30 persen pada 2030. Target itu salah satunya berasal dari penerapan OECM di seluruh dunia.

Baca : Peran OECM dalam Pencapaian Target 30% Kawasan Konservasi Nasional

 

Lokakarya Nasional Panduan OECM Perairan di Indonesia yang diselenggarakan oleh KKP dan para mitra kerjanya. Foto : KKP

 

Akselerasi 30×45

Direktur Konservasi dan Keanekaragaman Hayati Laut KKP Firdaus Agung pada momen yang sama menyatakan bahwa pengembangan dan implementasi kawasan konservasi melalui OECM menjadi kesempatan bagi pemerintah dan para mitra yang bekerja sama dengan KKP untuk memiliki kesamaan pemahaman, pandangan, dan aksi nyata untuk pelaksanaan dan pemanfaatan OECM di Indonesia.

Dia menyebut kalau pengembangan OECM di Indonesia sudah bagus dan mengungguli negara-negara lain di dunia yang tidak bergerak aktif seperti Indonesia. Karenanya, dia yakin kalau konsep 30 persen luasan wilayah konservasi laut Indonesia pada 2045 (30×45) sangat bisa dikampanyekan di seluruh dunia.

“Melalui lokakarya bersama para mitra, diharapkan dapat menghasilkan rumusan definisi kriteria dan pemetaan potensi lokasi OECM, sehingga OECM menjadi konsep yang berlanjut dengan memiliki peta jalan bagi implementasinya,” ungkapnya.

Akan tetapi, penerapan OECM di Indonesia akan menghadapi tantangan yang spesifik. Utamanya,  karena sistem konservasi perairan di Indonesia saat ini masih menggunakan skema negara sebagai aktor tunggal.

Kondisi itu membuat upaya konservasi yang dilakukan masyarakat masih belum maksimal dilakukan dalam bentuk tata kelola, meskipun potensinya diakui sangat besar. Itu juga membuat insentif bagi upaya konservasi di luar yang dilakukan pemerintah masih belum banyak dilakukan.

“Lokasi OECM belum tercantum atau dikenali dalam tata ruang,” tegasnya.

Firdaus mengatakan, kunci dari penerapan OECM di Indonesia, adalah bagaimana menyeimbangkan aspek legal, kontekstual, dan fungsional secara bersamaan. Ketiganya dinilai bisa mendorong OECM untuk berjalan efektif dan menyesuaikan dengan wilayah perairan Indonesia.

Aspek legalitas yang dimaksud, mencakup ruang, unit pengelola/aktor, dan aturan pengelolaan. Kemudian konteks nasional dan lokal, adalah profiling sosio kultural, informasi kebutuhan OECM, serta definisi dan lingkup.

“Sementara fungsional adalah tentang rencana kerja, ukuran kinerja, dan rancangan monitoring,” paparnya.

Baca juga : Kejar Tayang Target Kawasan Konservasi “30×30”: Harap dan Ragu Konsep “Kawasan Konservasi Lain”

 

Biota laut berupa terumbu karang dan berbagai jenis ikan di perairan Pulau Komodo, NTT. Foto : Rhett A. Butler/Mongabay

 

Sedangkan Guru Besar Pengelolaan Sumber daya Perikanan IPB University Luky Adrianto menilai bahwa penerapan OECM di Indonesia memerlukan intervensi dari banyak pihak, tidak hanya dari pemerintah. Dia mendorong itu, karena target 30×45 dinilai akan sangat terbantu melalui OECM.

Dia menyebutkan, di antara strategi yang perlu disiapkan oleh Indonesia dalam mengembangkan OECM, adalah kelembagaan yang jelas, dan berbasis legal. Kemudian, diperlukan juga pengelolaan pembiayaan yang kredibel, sumber pendanaan yang bervariasi, dan penguatan kapasitas pengelolaan pembiayaan.

Tentang kawasan yang bisa dikembangkan menjadi OECM adalah kawasan khusus ekonomi dan bisnis; kawasan militer; kawasan riset; perairan darat, pesisir, dan pulau-pulau kecil, perairan pesisir, lepas pantai, serta laut dalam.

Selain itu, juga mencakup kawasan yang memiliki keutuhan fungsi ekologi, sosial, ekonomi, dan budaya, serta kawasan di bawah kewenangan kementerian atau lembaga (K/L) yang memiliki kewenangan di laut.

Sementara, untuk aktor yang bisa terlibat dalam OECM, Luky menyebutkan K/L yang memiliki kewenangan di laut, swasta, perguruan tinggi dan lembaga riset, masyarakat hukum adat (MHA), dan masyarakat umum.

Jika dikembangkan dan diterapkan, ada banyak manfaat OECM yang akan didapatkan oleh Indonesia. Terutama, dampak terhadap konservasi ekosistem dan keanekaragaman hayati.

Kemudian, OECM juga akan membuat pengelolaan sebuah kawasan perairan menjadi lebih terpantau secara berkala, dan juga akan berdampak pada kondisi sosial dan ekonomi sekitar kawasan perairan yang ditetapkan menjadi OECM.

Dari sisi spasial, OECM adalah semua kawasan konservasi dengan semua tipologinya yang ditetapkan oleh peraturan dan perundangan. Lalu, setelah OECM ditetapkan maka lokasinya harus tercantum dalam Rencana Tata Ruang Laut Nasional (RTRLN) dan dilakukan integrasi dengan tata ruang laut dan darat.

“Lengkap dengan titik koordinatnya,” tambahnya.

Baca juga : Dengan Metode OECM, Pemerintah Perbanyak Fungsi Konservasi Perairan Laut Indonesia

 

Terumbu karang dan biota laut di perairan Nusa Penida, Bali. Foto : Marthen Welly/Hope Spot

 

Ahli Utama Pengelola Ekosistem Laut dan Pesisir (PELP) KKP Agus Dermawan menambahkan bahwa aktor pelaku OECM adalah pihak swasta; pihak pemerintah lain: militer, dan perguruan tinggi negeri; pendetilan pemangku kepentingan Pemerintah: KKP dan dinas kelautan dan perikanan provinsi; pihak non pemerintah dan non swasta: masyarakat lokal, masyarakat adat, dan masyarakat.

Sementara, dari sisi spasial, OECM mencakup area pesisir yang hanya mencakup area pesisir dan perairan di luar kawasan konservasi yang dikelola secara lestari; area lepas pantai; area MHA; OECM merupakan status sementara untuk menjadi kawasan konservasi.

“Dari sisi manfaat, OECM akan meningkatkan sosial ekonomi dan keanekaragaman hayati; pelestarian adat dan budaya; serta terjaganya fungsi dan jasa ekosistem perairan,” terang dia.

Pada kesempatan yang sama, Direktur Senior Program dan Kebijakan RARE Hari Kushardanto menyatakan bahwa OECM akan menjadi angin segar bagi pengelolaan kawasan perairan laut di Indonesia.

Kebijakan OECM juga menjadi simbol keterbukaan pemerintah untuk memberi kesempatan kepada para pihak di luar pemerintah untuk melakukan perlindungan laut dan pemanfaatan sumber daya alam secara berkelanjutan.

“Tidak hanya oleh pemerintah, tapi semua sektor,” ungkapnya.

Meski demikian, dia sadar bahwa pengembangan OECM di Indonesia masih menemui banyak hambatan dan jarak yang masih lebar dengan pengelolaan kawasan perairan laut. Tetapi, kekurangan tersebut akan terus dikejar sampai OECM bisa berkembang ideal dan memberi manfaat banyak bagi Indonesia.

Baca juga : Siapa Pelindung Utama Keanekaragaman Hayati di Laut Indonesia?

 

Biota laut berupa terumbu karang dan berbagai jenis ikan di perairan Pulau Komodo, NTT. Foto : Rhett A. Butler/Mongabay

 

Diketahui, Lokakarya OECM Nasional digelar atas inisiatif konsorsium yang terdiri dari RARE, WWF-Indonesia, Coral Triangle Center (CTC), Yayasan Pesisir Lestari (YPL), Yayasan Rekam Nusantara, dan Yayasan Konservasi Indonesia. Konsorsium yang didukung oleh Ocean 5, The David and Lucile Packard Foundation, BOF, dan OceanKind ini bekerja untuk mendorong OECM bisa berjalan di Indonesia.

OECM sendiri sejalan diharapkan bisa bersinergi dengan kebijakan KKP yang ditegaskan oleh Menteri Kelautan dan Perikanan Sakti Wahyu Trenggono di berbagai forum global. Kata dia, konservasi di wilayah laut menjadi salah satu strategi andalan Indonesia dalam memulihkan kelautan dan ekosistem perairan.

“Melalui strategi ini diharapkan kesehatan dan produktivitas laut dapat terjaga untuk implementasi ekonomi biru di Indonesia,” tambahnya. (***)

 

 

Babak Baru Pengelolaan Kawasan Konservasi di Lepas Pantai

 

 

Exit mobile version