Mongabay.co.id

Berharap Semen Kaki Para Perempuan Kendeng Berbuah Aksi dari Jokowi

Pada Selasa (12/4/16), sembilan perempuan asal Rembang, Pati dan Grobogan, menngecor kedua kaki dengan semen kedua kaki mereka sebagai wujud protes pembangunan tambang semen di Pegunungan Karst Kendeng. Keesokan hari, para ibu ini tetap aksi. Pada sore hari, dua utusan Presiden Joko Widodo, Teten Masduki, Kepala Staf Kepresidenan dan Pratikno, Kementerian Sekretaris Negara, menemui. Sembilan ibu-ibupun membongkar coran semen di kedua kaki mereka.

 “Demi ibu Pertiwi,” teriak Sutinah, seraya mengepalkan tangan ke atas menyemangati ibu-ibu dari Rembang, Pati dan Gerobokan, di depan Istana Negara, Jakarta, Selasa siang (12/4/16). Panas matahari serasa menyengat kulit.

Sembilan perempuan ini protes izin pabrik dan tambang semen di Pegunungan Karst Kendeng. Mereka khawatir, kala karst hancur, sumber air hilang dan mengancam kehidupan mereka. Para perempuan ini  ingin respon dari Presiden Joko Widodo.

Selain  Sutinah dari Rembang, ada Ambarwati (Pati), Muntiwi (Rembang), Sutini (Rembang), Giyem (Pati), Ngadinah (Pati), Surani (Rembang), Kastuti (Rembang), dan Deni Yuliati (Purwodadi). Satu persatu para perempuan ini mulai menyodorkan kaki buat masuk boks kayu dan dicor semen. Sutinah dapat giliran pertama, menyusul delapan perempuan lain.

Pelahan adukan semen mulai memenuhi kedua kaki perempuan asal Rembang, Jawa Tengah ini. “Kami akan terus menolak semen,” kata Sutinah.

Menjelang malam, dengan kaki tersemen, ibu-ibu ini dibawa ke Kantor LBH Jakarta. Mereka menginap di sana. Tempat tidur dibikin rendah hingga mereka bisa rebahan dengan kaki tersemen. Toilet darurat pun dibikin di dalam ruang itu.

“Rakyat menjerit. Butuh keberpihakan Presiden dalam pengambil keputusan penghentian pabrik semen di Pegunungan Kendeng,” kata Muhnur Setyaprabu dari Walhi Nasional.

Masyarakat Pegunungan Kendeng, katanya, ingin menunjukkan pada Presiden, bahwa mereka sejahtera bertani. “Mereka bahagia bercocok tanam, beternak dan tak mau menjadi buruh pabrik semen yang merusak lingkungan.”

Mereka rela menyemen diri, menanti respon Presiden. Foto: Sapariah Saturi

Sejak awal, warga Pengunungan Karst Kendeng, menolak kehadiran perusahaan tambang. Berbagai wujud protes mereka lakukan. Dari aksi di daerah, road show ke berbagai kementerian dan lembaga terkait di Jakarta, sampai gugatan hukum.

Para perempuan Rembang, misal, sejak Juni 2014, mereka hidup di tenda perjuangan  di lokasi pabrik PT Semen Indonesia hingga kini. Bukan tanpa gangguan, intimidasi dan teror mereka terima. Gugatan hukum atas izin lingkungan yang dikeluarkan bupati sudah dilayangkan warga Rembang. Pada PTUN tingkat pertama, gugatan warga kandas. Warga banding. Proses hukum masih berlangsung.

Pada November 2014, puluhan warga Rembang mendatangi berbagai kementerian dan lembaga termasuk Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Kala itu, warga disambut langsung Siti Nurbaya, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Siti mengatakan, kebijakan pemerintah seharusnya tak menjadikan swasta dan rakyat berlawanan. “Kebijakan pemerintah harus sebaik-baiknya bagi rakyat.”

Dia berjanji meminta Ombudsman menyelidiki soal kebijakan ini “Saya kira ini tantangan pemerintah, bagi Presiden, bagi saya sebagai yang bertanggung jawab terhadap lingkungan. Karena yang diminta ibu-ibu ini perlindungan ekosistem karst. Itu tanggung jawab saya,” katanya, seperti diberitakan Mongabay, sebelum ini.

Sayangnya, sampai kini, di lapangan tak terjadi perubahan, perusahaan tambang mulai membangun pabrik di Rembang—meskipun belum ada keputusan hukum.

Begitu pula usaha penolakan tambang semen PT Sahabat Mulia Saksi (SMS), oleh warga Pati.  Beragam upaya mereka lakukan dari aksi sampai gugatan. Warga menggugat bupati ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) karena mengeluarkan izin lingkungan kepada SMS. Warga menang. Bupati dan anak usaha Indocement ini banding.

Bupati Pati, dan SMS mengirimkan tiga memori banding sekaligus, yakni diajukan Bupati Pati, lalu SMS diwakili kuasa hukum, A. Hakim G Nusantara dan Rekan. Tambah lagi, SMS diwakili kuasa hukum, Yusril Ihza Mahendra dan Rekan.

Ngatemi, warga Pati Tambak Romo kala aksi di Jakarta, meminta, Presiden Joko Widodo menyelamatkan lahan pertanian warga, sumber air, dan mempertahankan Pegunungan Kendeng tetap lestari. Katanya, petani itu hidup dari bertani bukan tambang semen.

Merekapun gusar kala ada rencana pabrik dan tambang semen masuk. Berbagai cara dilakukan guna mengetuk hati pejabat daerah maupun pusat agar mendengarkan teriakan dan protes warga. Alih-alih mendengar, warga menang gugatanpun, petinggi daerah balik banding.

Sutinah, pejuang perempuan Kendeng dari Rembang. Foto: Sapariah Saturi

Mengecor kaki dengan semenpun jadi salah satu pilihan mereka guna mendapatkan perhatian pemerintah. “Mungkin cara begini Pak Jokowi dan orang yang duduk di atas sana hati trenyuh. Tuntutan Gunung Kendeng lestari, kami bisa bertani. Kami makan nasi bukan semen. Wong Pak Jokowi makan nasi juga kok. Apalagi kita kan anak Pak Jokowi juga,” kata perempuan 42 tahun ini.

Di desa, Ngatemi bertani padi dan palawija. Begitu juga mayoritas warga di sana. Tanaman palawija antara lain semangka, kacang hijau, jagung, sampai kedelai.

Produksi gabah keluarga dia, dua kali setahun. Sekali panen menghasilkan sekitar 50 karung gabah. “Ini tergantung luasan. Makin luas makin banyak hasil. Kalau ada pabrik kita makan apa? Itu (produksi padi) dimakan sampai tahun depan, cukup. Gak boleh tanah tani kita diobrak-abrik.”

Rumah Ngatemi, tak sampai 500 meter dari tapak pabrik perusahaan yang bakal dibangun. Ia berada di tengah-tengah pemukiman. “Kalau wilayah tambangnya sekitar dua kilometer. Ini bikin kami khawatir.”

 

***

Hari kedua, para perempuan Kendeng kembali aksi dengan kaki berecor semen di Depan Monumen Nasional, berseberangan dengan Istana Negara. Menjelang pukul 18.00, Rabu (13/4/16), cor semen kaki sembilan perempuan ini, mulai dibongkar. Aksi mereka mendapat tanggapan Istana. Presiden akan mengirim utusan.

Tak lama berselang, Teten Masduki, Kepala Staf Kepresidenan dan Pratikno, Menteri Sekretaris Negara, menemui para ibu-ibu Kendeng ini.

Teten datang langsung menyalami sembilan ibu ini. Sebagian tak mampu menahan haru, menitikkan air mata.

Gunretrno, aktivis lingkungan Kendeng, tengah berbicara di hadapan Teten Masduki, di depan Monas. Foto: Kasmita Widodo

Di hadapan ibu-ibu ini, Teten mengatakan, Presiden bersedia bertemu. Berhubung jadwal padat, pertemuan akan diatur setelah Presiden pulang dari Eropa.

“Kita akan atur pertemuan setelah Presiden pulang kunjungan kerja ke Eropa. Presiden akan ke Eropa dan pulang 24 April. Mungkin bisa diagendakan, Presiden akan menyediakan waktu,” katanya seperti dikutip dari Setkab.go.id.

Sehari sebelumnya, Teten didampingi Deputi V bidang Hukum, Pertahanan, Keamanan dan HAM Jaleswari Pramodharwardani juga menemui ibu-ibu Pegunungan Kendeng ini.

Giyem, warga asal Pati ini senang Presiden merespon aksi mereka. “Saya sangat senang, terharu, lega. Campur aduk jadi satu waktu melihat Pak Jokowi mengirimkan perwakilan menemui kami,” kata perempuan 41 tahun ini.

Dia percaya, Presiden memenuhi janji. “Sudah empat kali kami ke Jakarta, baru kali ini mendapat tanggapan positif. Kami sudah putus asa sampai nekat pasung semen ini.”

Giyem menceritakan pengalaman di cor semen. Kala semen mulai mengering, jari-jari kaki lebih rendah dari tumit. “Sangat menyakitkan. Jika saya duduk, berdiri, maupun berbaring. Saat berbaring, otot saya tertarik,” katanya.

Dia sempat berpikir, dengan kesakitan itu mungkin tak akan mampu jika harus dipasung semen selama seminggu. “Saya terus menghibur diri, bahwa kesakitan saya alami sekarang demi anak cucu saya nanti. Tak apa sakit sekarang, asal kelak anak cucu saya tak perlu seperti ini.”

Baginya, rasa sakit saat disemen tak akan sebanding dengan penderitaan anak cucu nanti jika pabrik semen beroperasi.

Tampak Teten Masduki dan Pratikno di tengah-tengah aksi protes tambang semen ibu-ibu Pegunungan Kendeng di depan Monas. Foto: Kasmita Widodo

Perlu aksi cepat

Abdon Nababan, Sekretaris Jenderal Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), hadir bersolidaritas dalam aksi ini. Kasus ini, kata Abdon, sebenarnya bisa cepat selesai karena sudah dibawa Gunarti, langsung ke Presiden, kala pertemuan Jokowi dengan AMAN Juni 2015 Kala itu, katanya, Jokowi sudah janji datang ke lokasi dan menyelesaikan kasus di lapangan.

“Saya hadir di sini buat ingatkan pertemuan AMAN dan Presiden tentang kasus ini. Aksi ibu-ibu ini adalah aksi menagih janji. Gak boleh lama-lama. Terlalu lama janji tak jelas, makin tak percaya rakyat terhadap Presiden yang janjiin masalah ini selesai. Itu bisa menimbulkan keresahan sosial akan rugikan kita semua.,” katanya.

Tak jauh beda dengan Kasmita Widodo, Kepala Badan Registrasi Wilayah Adat. Dia mengatakan, kedatangan utusan Presiden memastikan pesan melalui aksi ibu-ibu dari Kendeng telah diterima Presiden.

“Saya pikir kepastian tuntutan penghentian pembangunan pabrik semen harus terus diadvokasi. Di tengah deregulasi yang dikeluarkan pemerintah melalui paket-paket ekonomi untuk percepatan pembangunan infrastruktur, memerlukan industri dasar seperti pabrik semen,” katanya.

Pemerintah, kata Kasmita, harus menegakkan kebijakan perlindungan karst Kendeng yang rentan menimbulkan bencana ekologis dan kemanusiaan jika kawasan itu dibongkar dan pemanfaatan diubah. “Perlu segera dihentikan proses penghancuran kawasan, itu bukti pemenuhan janji Presiden Jokowi kepada ibu-ibu Kendeng.”

Sedangkan Nur Hidayati, aktivis dari Walhi Nasional menilai, penyelesaian tambang semen berlarut-larut karena sarat kepentingan. Bukan hanya bicara soal keberlanjutan hidup—tampaknya hanya jadi nomor kesekian—, tetapi soal sasaran pembangunan yang memprioritaskan pembangunan infrastruktur.

“Pemerintah sangat cuek, mungkin bukan tak tahu, tetapi tak peduli. Karena ada kepentingan lain yang dijaga dengan mengabaikan lingkungan dan warga.”

Menurut dia, Pegunungan Kendeng, kalau sampai hancur, sumber air akan hilang. Tak kurang 600.000 jiwa bakal terdampak. “Siapa yang bisa menggantikan kalau sumber air ini hilang?”

Yaya, begitu dia biasa disapa, melihat terjadi kontradiksi antara visi Presiden soal keadulatan pangan dan politik kebijakan pemerintah. “Yang terjadi justru lebih memperkuat eksploitasi yang mengancam kawasan produksi pangan.”

Pemerintah, katanya, perlu memastikan soal pangan dan sumber air harus menjadi prioritas utama karena kebutuhan esensial. Tanpa pangan dan air, manusia tak bisa hidup.

“Jadi hentikan penghancuran sumber-sumber penghidupan rakyat. Hentikan kebijakan dan produk politik yang akan hancurkan produksi masyarakat,” kata Yaya.

***

Kamis pagi (14/4/16), para ibu-ibu Kendeng ini, menaiki kereta api, kembali ke kampung halaman mereka masing-masing di Jawa Tengah. “Mudah-mudahan Pak Jokowi mendengar. Mudah-mudahan Pegunungan Kendeng bisa tetap lestari,” harap Ngatemi.

Aksi perempuan Kendeng tolak semen di Jakarta. Foto: Sapariah Saturi
Ibu-ibu dari Pegunungan Kendeng, yang menyemen kedua kaki mereka sebagai bentuk protes tolak pabrik dan tambang semen di daerah mereka. Foto: Sapariah Saturi
Para perempuan Pegunungan Kendeng, sesaat sebelum menyemen kaki mereka. Foto: Sapariah Saturi
Exit mobile version