Mongabay.co.id

Walau Banjir Kritik dan Pemerintah Nilai Belum Perlu, RUU Sawit Tetap Masuk Prolegnas 2018

Seorang warga tengah membersihkan kebun sawit yang baru dibeli di Taman Nasional Tesso Nilo. Foto: Rony Muharrman/ Mongabay Indonesia

Pada Juli 2017, Darmin Nasution, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, menegaskan, pandangan pemerintah bahwa belum perlu UU Perkelapasawitan, saat menghadiri rapat kerja Badan Legislasi bersama kementerian lain di DPR RI. Meski demikian, DPR berkuat maju memperjuangkan RUU Perkelapasawitan, hingga Desember 2017, RUU ini kembali masuk sebagai program legislasi nasional 2018.

Kala itu, Menko Bidang Perekonomian berbicara mewakili lintas kementerian yang hadir, antara lain Menteri Pertanian, Menteri Perindustrian, Menteri Perdagangan, dan Menteri Hukum dan HAM.

Baca juga: Pemerintah Nyatakan Tak Perlu Bahas RUU Perkelapasawitan

Sejak awal pembahasan di DPR, RUU ini tuai banyak kritikan dari berbagai kalangan. Koalisi masyarakat sipil menyatakan, RUU ini memiliki banyak kelemahan, tumpang tindih dengan aturan lain, dan tak menjawab permasalahan kesejahteraan petani dan lebih pro pengusaha. Proses pembahasan tampak senyap, ternyata DPR terus lanjut.

Baca juga: Kajian soal RUU Perkelapasawitan: Bukan Untung Malah Bisa Buntung

”Saat ini, konsultasi publik terus dilakukan DPR di Sumatera, Kalimantan, dan Papua. Kami khawatir ketika proses naik pada rapat dengar pendapat di DPR kembali banyak dukungan di daerah,” kata Andi Muttaqien, Deputi Direktur Advokasi Elsam, baru-baru ini.

Walaupun konsultasi publik dilakukan di daerah, katanya, tetapi keterlibatan masayarakat sangat minim dan tak melibatkan banyak pihak.

Dia juga khawatir, pembahasan perundangan ini jadi sarana tawar-menawar politik. Padahal, jika RUU dipaksakan akan merugikan dan berpotensi bikin kerusakan lingkungan lebih besar. Padahal, katanya, pemerintah sedang masa pembenahan.

Baca juga: Organisasi Lingkungan: Sikap Pemerintah Seharusnya Jadi Dasar DPR Setop Usung RUU Perkelapasawitan

Maryo Saputra dari Sawit Watch meminta, presiden tegas memberikan sikap terhadap RUU ini. ”Presiden agar resmi mengirim surat kepada DPR atau tak mengirim pemerintah dalam pembahasan RUU Perkelapasawitan ke DPR,” katanya, di Jakarta.

Dia menekankan, RUU Perkelapasawitan ini ada potensi mengembalikan pasal-pasal dalam UU Perkebunan yang sudah dianulir Mahkamah Konstritusi.

RUU ini, katanya, juga dinilai tumpang tindih dengan UU Perkebunan maupun UU Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH).

Dia contohkan, ada 41 pasal sama dengan UU Perkebunan, 13 dari 17 bab dalam RUU sudah ada dalam UU Perkebunan, UU Penanganan Konflik Sosial, serta UU PPLH.

 

Kini DPR tengah memperjuangkan RUU Perkelapasawitan goal jadi UU meskipun pemerintah sudah bilang, tak perlu bahas RUU ini. Foto: Sapariah Saturi/ Mongabay Indonesia

 

Maryo menilai, RUU lebih berpihak korporasi, antara lain ada pasal mengatur keringanan pajak untuk perusahaan sawit. ”Padahal pemerintah atau DPR selalu meneriakkan sawit sebagai penyumbang devisa dan pajak negara. Ini malah diturunkan,” katanya.

Andi menyarankan, pemerintah dan DPR memprioritaskan pembahasan revisi UU Perkebunan karena pasal-pasal sudah dianulir MK. Dalam anulir itu, MK sepakat aktivitas perkebunan sawit bisa dilakukan jika punya hak guna usaha, tak bisa hanya dengan izin usaha perkebunan (IUP). Perbaikan itu, katanya, bisa selaras dengan RUU Sistem Budidaya Pertanian Berkelanjutan.

Daripada membahas RUU Perkelapasawitan, DPR dan pemerintah lebih baik memprioritaskan RUU lain yang lebih penting dan menyangkut hak-hak masyarakat kecil, seperti RUU Pertanahan, RUU Masyarakat Adat, dan revisi UU Konservasi dan lain-lain.

Hamdani, anggota Komisi IV DPR mengatakan, hingga kini RUU Perkelapasawitan masih tahap harmonisasi menyeluruh guna mengakomodir kepentingan lebih besar bagi masyarakat.

”Masih dalam pembahasan, ke Komisi IV pun belum masuk,” katanya.

Kalau RUU sudah masuk, kata Hamdani, Komisi IV akan mengundang pihak-pihak terkait, seperti para pakar, organisasi masyarakat sipil, dan asosiasi-asosiasi sawit.

”Mungkin kita akan turun ke daerah meng-counter isu tentang sawit yang tak bicara pada HAM, mempekerjakan anak di bawah umur.”

Dia mengakui, masih ada ketidaksesuaian antara pemerintah dan DPR dalam pembahasan RUU ini. Padahal, katanya, DPR menekankan RUU ini dibuat berdasarkan kepentingan masyarakat dan peningkatan ekonomi di daerah-daerah.

Dia mengklaim, RUU ini mampu merangkum beberapa hal terkait pasal-pasal soal kawasan hutan lindung, konservasi dan alokasi penggunaan lain, juga tanggung jawab sosial perusahaan.

Keringanan pajak pun, katanya, dianggap sebagai penghargaan kepada perusahaan yang sudah membangun pabrik, memiliki kilang minyak, dan peningkatan ekspor.

“Kita harapkan sebelum berakhir periode 2014-2019, RUU sawit sudah dituangkan dalam UU,” kata Hamdani juga anggota Baleg dari Partai Nasdem.

Soal pasal penanaman sawit di lahan gambut, katanya, akan direvisi sesuai aturan berlaku, yakni PP Nomor 56/2016 soal Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Gambut.
“Aturan dalam PP dari KLHK (Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan-red) menandakan pemerintah tak bisa lagi memberikan izin ke perusahaan-perusahaan untuk membangun di gambut agar kebakaran hutan dan lahan tidak terjadi. Saya setuju. Pasal diubah menjadi tidak boleh,” katanya.

 

 

Exit mobile version