Organisasi Lingkungan: Sikap Pemerintah Seharusnya jadi Dasar DPR Setop Usung RUU Perkelapasawitan

 

Awal pekan ini, Badan Legislasi DPR mengadakan pertemuan dengan pemerintah guna membahas RUU Perkelapasawitan. Pertemuan dihadiri tiga menteri—Menteri Koordinator Perekonomian, Menteri Pertanian dan Menteri Perindustrian—serta perwakilan dari kementerian terkait.

Dalam pertemuan itu, pemerintah menyatakan tak perlu lanjut pembahasan RUU ini.  Sikap pemerintah ini mendapat tanggapan banyak pihak antara lain organisasi lingkungan. Bagaimana pandangan mereka?

Baca juga: Pemerintah Nyatakan Tak Perlu Bahas RUU Perkelapasawitan

Nur Hidayati, Direktur Eksekutif Walhi Nasional mengatakan, pemerintah melalui beberapa menteri menyatakan, tak perlu lanjut bahas RUU Perkelapasawitan. Mereka telah lakukan telaah mendalam tentang RUU Perkelapasawitan dan UU terkait yang ada.

“Seharusnya cukup jadi dasar bagi legislatif untuk tak melanjutkan pembahasan RUU itu,” katanya di Jakarta, Selasa(17/7/17).

Produk legislasi seperti UU, semestinya  memang produk bersama antara eksekutif dan legislatif. Eksekutif sebagai implementor dan legislatif menjalankan fungsi pengawasan.

Baca juga: Kajian Soal RUU Perkelapasawitan, Bukan Untung, Malah Bisa Buntung

Isi RUU Perkelapasawitan, katanya, sebagian besar sudah tercakup dalam UU lain. Kalau tetap jalan, berpotensi pelaksanaan UU ini tak efektif dan bisa menimbulkan kebingungan bagi parapihak.

Untuk menguatkan pernyataan pemerintah, Yaya, biasa disapa, menyarankan, Darmin Nasution, selaku Menteri Koordinator Perekonomian,  bisa membuat surat resmi kepada DPR soal ini. Dengan begitu, ada komunikasi resmi antarinstitusi negara yang bisa direspon secara resmi pula.

Eksekutif dan legislatif,  katanya, adalah mitra hingga penting saling mempertimbangkan pandangan masing-masing terkait produk legislasi yang akan mereka hasilkan bersama.

“DPR hendaknya tak berkeras melanjutkan pembahasan setelah mendapat tanggapan dari pemerintah ini,” ucap Yaya.

Inda Fatinaware, Direktur Eksekutif Sawit Watch mengapresiasi sikap pemerintah yang menyatakan RUU Perkelapasawitan tak perlu lanjut.

Sebelum ini, katanya, Sawit Watch telah menyampaikan kepada pemerintah melalui Kantor Staf Kepresidenan (KSP) bahwa sekitar 40% pasal dari RUU itu sudah diatur dalam UU Perkebunan. “Termasuk pasal perlindungan petani, budidaya dan lahan pertanian,” katanya.

Dia menyayangkan, masih ada sebagian anggota dewan berpandangan penolakan terhadap RUU Perkelapasawitan karena kepentingan Eropa dalam persaingan atau kompetisi komoditas minyak nabati.

Baca juga: Berikut Berbagai Alasan DPR Layak Hentikan Bahasan RUU Perkelapasawitan, Apakah Itu?

Tanggapan juga datang dari Teguh Surya, Direktur Eksekutif Yayasan Madani Berkelanjutan.  Senada Inda, Teguh mengapresiasi sikap ketiga menteri yang tegas menyatakan tak perlu meneruskan pembahasan RUU Perkelapasawitan dalam rapat kerja dengan Badan Legislasi di DPR.

“Langkah lanjutan tak kalah penting, sikap itu disampaikan tertulis kepada Baleg dengan tembusan Ketua DPR” katanya.

Sebagai wakil rakyat, katanya, Baleg, sudah seharusnya menghormati sikap para menteri (eksekutif).  “Karena yang akan menjalankan kebijakan adalah pemerintah.”

Kalau tetap ngotot meneruskan pembahasan, katanya, berarti posisi Baleg harus dipertanyakan.  “Apakah ada udang di balik bakwan?”

Annisa Rahmawati, Jurukampanye Hutan Greenpeace Indonesia juga menanggapi. Dia bilang, Greenpeace mendukung penuh keputusan Presiden yang meminta Baleg menghentikan pembahasan RUU Perkelapasawitan.

“Keputusan ini makin mempertegas, Presiden lebih memilih melindungi hutan dan rakyat daripada ekspansi sawit merusak,” katanya.

Presiden justru meminta, industri sawit fokus peningkatan produktivitas dan lebih mendorong kesejahteraan masyarakat terutama petani kecil.

RUU Perkelapasawitan gagasan legislatif ini, katanya,  membuka jalan ekspansi perkebunan sawit di gambut, dan sangat bertentangan dengan komitmen perlindungan gambut Presiden tertuang dalam PP No. 57/2016.

Annisa bilang, ekspansi perkebunan sawit di gambut menyebabkan puluhan juta warga Indonesia terdampak asap beracun dari kebakaran hutan.

Analisis peta dan titik api Greenpeace pada kebakaran 2015 mengungkapkan, terdapat 18.203 titik api dalam 909 konsesi sawit. Dari jumlah itu, 42% sebaran di gambut.

“Sebagai komoditas unggulan, pengembangan sektor sawit nasional tak harus menghancurkan hutan hujan dan gambut tersisa,” katanya.

Untuk itu, ucap Annisa, yang perlu sekarang bagaimana hukum tegas tegak atas perusahaan-perusahaan nakal perusak hutan yang lalai menjaga konsesi.

“Penegakan hukum salah satu syarat agar perusahaan jera dan berhenti merampas hak warga untuk lingkungan hidup yang bersih.”

 

Pembukaan gambut buat kanal di konsesi PT PP Lonsum Kedang Makmur, Kalimantan Timur. Foto: Aidenvironment diambil Mei 2015

 

 

Suara dari Papua

Surat penolakan pembahasan RUU Perkelapasawitan kepada Presiden, tak hanya dari koalisi organisasi masyarakat sipil di Jakarta. Pada 23 Mei 2017, Koalisi Korban Sawit Papua juga mengirim surat ke Presiden Joko Widodo agar membatalkan pembahasan RUU Perkelapasawitan.

Koalisi ini terdiri dari Dewan Adat Meepago, LBH Papua, Suku Besar Yerisiam, KPKC Fransiskan Papua, Dewan Adat Keerom, Yapemasda Papua  dan Tiki Papua.

Pada 22 Juni 2017, Pratikno Menteri Sekretaris Negara menyurati Menteri Pertanian perihal penyampaian permohonan untuk menghentikan pembahasan RUU Perkelapasawitan.

“Demi kepentingan masyarakat adat Papua, kami mendukung upaya Menteri Sekretaris Negara ini,” kata John Gobay, Ketua Dewan Adat Meepago.

Di Papua, pemerintah menargetkan perluasan kebun sawit hingga empat juta hektar. Sampai 2014, pemerintah pusat dan daerah di Papua telah mengeluarkan izin-izin prinsip kepada 85 perusahaan perkebunan sawit seluas 2.153.484 hektar.  Berbagai persoalan muncul di lokasi-lokasi perkebunan ini.

“Bagi kami di Papua, terpenting harus dilakukan negara bukan bikin UU Perkelapasawitan, tetapi negara harus dapat menyelesaikan konflik dan tuntutan masyarakat Arso, Suku Yerisiam, Marind, Suku Moy di Sorong dan Lereh, yang sampai hari ini belum diselesaikan,” katanya.

Di Arso, terjadi konflik antara warga dan PTPN II, merupakan perkebunan sawit pertama di Papua.

Masyarakat menuntut pengembalian tanah adat seluas 50.000 hektar dan kompensasi penggunaan lahan sejak 1982 hingga sekarang Rp7 triliun.

Suku Yerisiam di Nabire menuntut PT Nabire Baru menyelesaikan kompensasi penggunaan tanah dan ganti rugi kayu tebangan, menolak perusahaan menambah areal serta menghitung ulang lahan sawit agar dapat dipastikan ruang hidup masyarakat adat. Kondisi tak jauh beda di Sorong, Merauke dan Jayapura.

Koalisi menyebutkan, konflik sawit di Papua, karena tak ada prinsisp Free, Prior, Informed Consent (FPIC) dalam rencana investasi dan pembebasan lahan.

Selama ini, katanya, pemilik tanah tak dilibatkan dalam pembicaraan kontrak kerja dan keberlangsungan hidup mereka. “Masyarakat hanya diberi ganti rugi yang tak sebanding kerugian mereka alami dengan keberlanjutan hidupnya,” katanya.

Dalam pelepasan lahan, katanya, tak ada informasi dan sosialisasi baik. “Yang ada hanyalah janji manis dan iming-iming bisa jadi kaya dengan perkebunan sawit. Padahal,  masyarakat Adat di Papua rata-rata belum terbiasa jadi petani sawit.”

Perlindungan hak masyarakat adat Papua termuat dalam UU Otonomi Khusus Papua tetapi minim impelementasi.

Perintah UU Otonomi Khusus, katanya, perlu partisipasi penuh masyarakat melalui musyawarah dan pembicaan tentang kompensasi tepat, namun tak terealisasi.

“Yang terjadi pelepasan tanah oleh satu dua orang tanpa musyawarah, pelepasan tanah terjadi di bawah todongan senjata, pelepasan tanah dengan modus penipuan. Semua itu dibenarkan demi investasi sawit.”

Birokrat dan pemimpin lokal berbasis partai politik di Papua juga dinilai masih mengutamakan kepentingan korporasi ketimbang menyelesaikan masalah masyarakat, seperti tuntutan ganti rugi dan hak atas ruang hidup maupun sumberdaya alam.

John contohkan, kasus masyarakat Yerisiam berhadapan dengan PT. Nabire Baru. Izin lingkungan sudah ada dari 2008, sedang analisis mengenai dampak lingkungan (amdal) baru 2013.

Belum lagi soal amdal rawan manipulasi padahal dokumen ini prasyarat izin lingkungan. Menuru dia, kalau amdal yang baik,  mestinya tempat keramat dan dusun sagu tak dirusak.

“Amdal ideal pasti memperhatikan aspek sosial dan lingkungan. Praktiknya, ada perusahaan sawit beroperasi tanpa memperhatikan lokasi-lokasi penting milik masyarakat.”

Praktik-praktik licik perusahaan juga terjadi, misal awalnya perusahaan mendapat izin pengolahan kayu (IPK). Tak lama, di lahan sama perusahaan juga ajukan lagi izin sawit atau menjual izin itu ke perusahaan lain kala tak tertarik investasi sawit.

Belum lagi jika di lokasi izin ada potensi tambang. Tidak jelas kemudian tambang milik siapa. Sedang pemerintah tak pernah terbuka memberitahukan potensi tambang kepada masyarakat hingga perusahaan bisa saja memiliki. Modusnya, dengan meminta izin cukup luas. “Hal-hal seperti ini seringkali jadi sumber konflik dengan masyarakat adat pemilik ulayat.”

Dalam RUU Perkelapasawitan, katanya, ada berbagai ketentuan yang jelas menguntungkan perusahaan seperti pengurangan keringanan sanksi pidana atas kejahatan lingkungan korporasi.

RUU ini, kata John,  juga tak mendefenisikan masyarakat hukum adat sebagai pemilik ekosistem yang punya keterikatan hidup dengan lingkungan, termasuk hutan.

Meski tertulis perihal tanah ulayat, bahwa perusahaan harus musyawarah dengan masyarakat adat, tetapi tak ada ketentuan mengatur tegas bahwa masyarakat adat dapat menolak jika tak ingin lahan jadi kebun sawit.

Untuk itu, Koalisi menyampaikan beberapa peryataan sikap antara lain, pertama meminta DPR dan pemerintah menghentikan pembahasan RUU Perkelapasawitan yang diduga kuat titipan para pengusaha sawit.

Kedua, mendesak pemerintah Papua serius menyelesaikan tuntutan masyarakat adat Keerom dan Suku Yerisiam, serta Suku Marind Anim di Merauke. Ketiga, mendesak pemerintah menterjemahkan FPIC dalam sebuah regulasi agar jadi dasar hukum perlindungan hak masyarakat.

Koalisi juga mendesak, pemerintah mengesahkan RUU Pengakuan dan Perlindungan Hak Masyarakat Adat. “Ini jauh lebih penting dibanding bahas RUU Perkelapasawitan.”

 

Protes warga pada PT Nabire Baru di Papua. Foto: Yayasan Pusaka

 

 

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , , , , , ,