Pemerintah Nyatakan Tak Perlu Bahas RUU Perkelapasawitan

 

Pemerintah bersikap, kalau tak perlu melanjutkan pembahasan Rancangan Undang-undang Perkelapasawitan yang diajukan beberapa orang di Badan Legislasi DPR.

Pernyataan ini disampaikan para menteri kala rapat kerja Baleg antara DPR dan pemerintah. Para menteri menilai, RUU belum perlu dan berpotensi tumpang tindih dengan UU atau aturan lain.

Baca juga: Kajian Soal RUU Perkelapasawitan, Bukan Untung, Malah Bisa Buntung

”Berdasarkan kajian komprehensif yang kami lakukan dan berkonsultasi pada pemangku kepentingan, pemerintah menyimpulkan belum dibutuhkan UU Perkelapasawitan,” kata Darmin Nasution, Menteri Koordinator Perekonomian pada raker Baleg, di Jakarta, Senin (17/7/17).

Pada raker membahas pengharmonisan RUU Perkelapasawitan itu, hadir juga Amran Sulaiman, Menteri Pertanian; Airlangga Hartanto, Menteri Perindustrian maupun perwakilan Kementerian Perdagangan dan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia.

Baca juga: Berikut Berbagai Alasan DPR Layak Hentikan Bahasan RUU Perkelapasawitan, Apakah Itu?

Darmin mengatakan, RUU Perkelapasawitan tumpang tindih dengan aturan yang sudah ada, seperti UU Nomor 39/2014 tentang Perkebunan, UU Nomor 3/2014 tentang Perindustrian, UU Nomor 19/1999 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani, UU Nomor 7/2014 tentang Perdagangan dan lain-lain.

Dari 17 Bab dan 116 pasal RUU Perkelapasawitan, hanya satu bab atau 6% substansi berbeda secara signifikan dengan UU yang ada dan dua bab atau 12% substansi sedikit berbeda.

”Sedang  14 bab lain atau 82% tak ada perbedaan signifikan,” katanya.

Dengan begitu, kata Darmin,  tak ada substansi baru yang perlu dituangkan dalam bentuk UU.

Baca juga: Susun UU Perkelapasawitan untuk Solusi Kebun Sawit Ilegal?

Dia contohkan, guna pelaksanaan UU Perkebunan, ada pembentukan Badan Pengelola Dana Perkebunan (BPDP). Ia bicara pendanaan sawit dari hulu ke hilir, dari peremajaan kebun hingga penggunaan sawit.

Dalam RUU Perkelapasawitan juga bahas pembentukan Badan Perkelapasawitan. ”Bukan hanya akan overlap, akan mengambil fungsi BPDP, bahkan skema pendanaan yang diusulkan akan mengambil fungsi BPDP,” katanya.

Begitu juga, berpotensi tumpang tindih kewenangan di beberapa instansi, seperti Kementerian Pertanian, Kementerian Perindustrian dan kementerian dan lembaga terkait lain.

Baca juga: Ada UU Perkebunan, Sebenarnya Mau Atur Apalagi RUU Perkelapasawitan

Dia bilang, ada desakan soal perlu perbaikan aturan dalam industri perkelapasawitan dan akan diakomodasi dengan produk peraturan di bawah UU, tak mendesak untuk bikin UU baru.

“Kita punya UU sudah banyak, kita tak melihat ada kekosongan dalam peraturan.”

Senada dikatakan Airlangga, Menteri Perindustrian. Dia bilang, RUU Perkelapasawitan tak perlu lanjut meski ada kekurangan implementasi atas UU yang ada.

Amran, Menteri Pertanian juga berpendapat sama. Dia mengatakan, substansi peraturan yang ada sudah dianggap cukup komprehensif mengatur perkebunan dari hulu ke hilir. ”Memang masih lemah penegakan hukum. Kami berkomitmen segera menyelesaikan peraturan pelaksana berupa PP dan permen,” katanya.

Karyanto Suprih, Sekretaris Jenderal Kementerian Perdagangan mengemukakan, lima alasan tak perlu bahas RUU Perkelapasawitan.

Pertama, materi muatan RUU berpotensi tumpang tindih dengan peraturan yang ada. Kedua, RUU minim norma baru maupun lex spesialis, ketiga, tak ada kekosongan hukum. Keempat, terlalu banyak delegasi ke aturan lebih rendah, kelima, seharusnya ada aturan jelas soal pembatasan lahan.  

Kementerian Hukum dan HAM menilai, antara satu aturan atau UU, mesti sejalan, tak tumpang tindih apalagi bertentangan. Karena ia merupakan sistem hukum di Indonesia.

Pertemuan harmonisasi kebijakan ini, belum final. Darmin bilang, pemerintah masih akan membahas dengan kementerian terkait, seperti Kementerian Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan dan Kementerian Hukum dan HAM.

Firman Soebagyo, Wakil Ketua Baleg, pengusung  RUU ini sejak awal mengatakan, RUU ini bersifat lex spesialis, mengatur jelas tentang sawit. ”Perlu ada UU yang memberikan kepastian hukum karena sawit adalah sumber pendapatan negara,” katanya.

Dia beranggapan, perlu ada peta jalan (roadmap) jelas tentang pembangunan perkelapasawitan. “Mungkin ini bisa menjawab masalah simpang siur lahan perhutanan kita,” katanya.

Anggota Baleg sebagian besar ingin melanjutkan pembahasan RUU ini. Dia bilang, pembahasan belum final dan akan tetap lanjut. ”Kami akan mengundang gubernur di wilayah banyak sawit. RUU ini tidak berhenti disini, karena inisiatif dari anggota.”

 

Sawit di lahan sawit yang terbakar pada 2015 di Kalimantan Tengah. Foto: Sapariah Saturi

 

Sudin, anggota Komisi IV DPR berbeda pandang dengan Firman. Menurut dia, perlu ada kajian komprehensif terhadap RUU Perkelapasawitan. ”Bukan saya menolak, harus ada kajian lebih termasuk kajian akademik,” katanya.

Terlebih, Komisi IV tak pernah diajak berbicara soal RUU ini, padahal mereka jadi bagian dalam penyelesaian masalah perkebunan.

Dia mengusulkan, implementasi penegakan hukum lebih tegas. ”Masa’ pengusaha memakai lahan rakyat untuk sawit, hukuman cuma sanksi administrasif.”

Pada awal pembukaan raker, Firman mengemukakan, sembilan landasan pokok urgensi RUU Perkelapasawitan

Pertama, sawit komoditi utama ekspor Indonesia dengan sumbangan devisa tertinggi. Kedua, industri padat karya dengan penyerapan tenaga kerja lebih 5,4 juta orang dari 120,2 juta angkatan kerja nasional 2014.

Ketiga, sawit memiliki peran penting sebagai bahan baku nabati, adapun produk olahan potensial dari sawit, misal untuk pangan, oleokimia, farmasi atau kosmetik dan energi.

Keempat, mengurangi ketimpangan pembangunan regional. ”Kalau kita bisa melahirkan di kawasan timur, komoditas tertentu, apakah tebu atau jagung, barangkali akan lebih seimbang lagi.”

Kelima, produktivitas lahan sawit paling tinggi dan harga terjangkau dibandingkan minyak nabati lain. Keenam, perlu kebijakan yang mengatur pengembangan lahan dan dampak terhadap lingkungan.

Ketujuh, perlu kerangka kebijakan mengatasi hambatan perdagangan internasional. Kedelapan, perlu perkuat pola kemitraan antara petani plasma dengan perusahaan perkebunan(inti) yang memberikan keuntungan bagi kedua pihak.

Kesembilan, belum ada wujud konkrit pemerintah dalam mendukung industri sawit sebagai sebagai industri strategis nasional.

“Apa yang sudah diatur di UU yang sudah ada sekarang dan apa yang sudah dilaksanakan pemerintah baik dari segi on farm maupun off farm sudah mencakup sembilan pertimbangan inti yang tadi disampaikan Baleg,” kata Airlangga.

Baca juga: Ketika Menteri Sekretaris Negara Surati Mentan soal RUU Perkelapasawitan

RUU Perkelapasawitan sudah menerima kritisi dari berbagai kalangan baik organisasi masyarakat sipil maupun akademisi. Mereka memberikan berbagai catatan dan alasan soal ketidakperluan UU ini. Bahkan, koalisi masyarakat sipil sudah kirim surat ke Presiden Joko Widodo.

Akhir Juni lalu, Menteri Sekretaris Negara, Pratikno, mengirimkan surat kepada Menteri Pertanian, soal catatan-catatan koalisi akan menjadi pertimbangan.

 

 

 

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , , , , , , , ,