Mongabay.co.id

Terjerat Tudingan Komunis, Pegiat Lingkungan Banyuwangi Dituntut 7 Tahun Penjara

Pemandangan di lokasi pertambangan emas Tumpang Pitu, Banyuwangi.Foto: BaFFEL/ Mongabay Indonesia

“Saya berdiri di sini sebagai seorang ibu. Orang Pesanggaran bukan PKI. Orang Pesanggaran bukan komunis. Budi Pego, seorang ayah dituduh PKI karena menolak tambang. Saya pernah dituduh provokator. Kami berdiri di sini untuk Budi Pego yang dituduh komunis. Dengarkan jeritan hati orang Tumpang Pitu. Kami bukan komunis. Hidup tolak tambang. Allahu Akbar! Allahu Akbar!”

Begitu orasi Fitriyati, pengiat lingkungan dari Dusun Pancer, Desa Sumberagung, Kecamatan Pesanggaran, Banyuwangi, Banyuwangi. Fitriyati juga pernah dituduh menghasut warga pada aksi penolakan tambang emas Tumpang Pitu 18 November 2015, kini kasus masih kasasi.

Hari itu, Selasa, (9/1/18), Fitriyati bersama seratusan warga Pesanggaran, mendatangi Pengadilan Negeri Banyuwangi dengan 13 mobil. Mereka bergabung bersama barisan mahasiswa dan aktivis lingkungan Banyuwangi menuntut pembebasan Budi Pego. Budi Bego, pegiat lingkungan di Banyuwangi ini terjerat tudingan komunis. Pada Kamis, (4/1/18),   JPU, Budi Cahyono dan S. Ahmad, menuntut penjara Budi tujuh tahun.

Baca juga: Tambang Emas Tumpang Pitu dari Masa ke Masa (Bagian 3)

Aksi berjalan damai. Mereka orasi, baca puisi, sablon kaos gratis, menyanyi bersama-sama dan penggalangan tanda tangan penolakan tambang emas Tumpang Pitu. Warga Tumpang Pitu juga membagi-bagikan buah naga kepada para pengguna jalan.

Sebanyak lima kuintal buah naga dari Pesanggaran habis terbagi. Warga membawa buah naga sebagai wujud kekayakan alam dengan lahan nan subur, tak bisa tergantikan oleh perusahaan tambang emas. Aksi kala itu, bertepatan dengan pembacaan dan penyampaian pledoi atas tuntutan Jaksa Penuntut Umum (JPU).

Baca Juga: Kala Tolak Tambang Emas Banyuwangi Berbuntut Tudingan Komunis

Heri Budiawan, biasa disebut Budi Pego, masuk sidang didakwa melakukan kejahatan terhadap Negara. Tudingan itu berawal kala Budi, bersama warga sedang mempersiapkan aksi tolak tambang Tumpang Pitu, PT Bumi Suksesindo, dengan pasang spanduk. Ada tuduhan mereka pasang spanduk dengan logo komunis. Spanduk itu, terekam dalam video yang kemudian beredar luas.

Nota pembelaan atau pledoi dibacakan pada sidang ke-18, pada 9 Januari 2018. Budi, kecewa dengan tuntutan jaksa atas perbuatan yang tak pernah dilakukan.

 

Warga aksi damai berjalan kaki menuju PN Banywangi. Foto: Arie Restu, For Banyuwangi/ Mongabay Indonesia

 

Dalam pledoi, Budi mengatakan, mereka tak menerima upah atau bayaran dari siapapun. Dia meminta, semua bentuk kriminalisasi terhadap warga segera dihentikan.

“Penderitaan warga sudah sangat berat, jangan lagi ditambah dengan permasalahan yang masih tidak jelas kebenarannya,” katanya.

Pledoi berlangsung mulai pukul 11.00 hingga 15.00.

Di luar PN Banyuwangi, dukungan datang, barisan warga dan aktivis lingkungan di Banyuwangi, menggelar aksi.

Zainal Arifin, praktisi wisata di Pulau Merah, mengatakan, perusahaan pertambangan emas di Tumpang Pitu, sangat mengganggu. Lokasi itu, katanya, seharusnya tak layak buat tambang dan masuk hutan lindung.

Sayangnya, demi keperluan tambang hutan lindung turun status. Tambang Tumpang Pitu, katanya, selain dekat perumahan penduduk, juga berdekatan dengan pantai, hingga mengganggu wisata kelola warga.

Lahan pertanian warga sekitar lokasi, baik kebun buah-buahan dan tanaman pangan rawan terkena imbas pertambangan.

Zainal Arifin, biasa dipanggil Ari. pemuda Banyuwangi, pada 17 November 2016 aksi ‘tapa pendem’ sebagai upaya perlawanan menolak pemasangan tiang listrik di halaman rumah warga untuk keperluan pertambangan.

Warga Desa Ringintelu Kecamatan Bangorejo ini nekat masuk dalam lubang galian di depan masjid Al Huda. Kala Ari bersedia mengakhiri aksi setelah perangkat desa menjanjikan mediasi antara perusahaan dan masyarakat. Jarak antara Desa Ringintelu dengan pertambangan kurang sekitar 15-20 km.

Setelah aksi tapa pendem Ari, runtutan aksi penolakan pemasangan kabel dan tiang listrik untuk kebutuhan tambang terus berlangsung. Puncaknya pada 10 Maret 2017, ketika barisan ibu-ibu masuk lubang galian menghalau alat berat perusahaan pertambangan.

“Kita harus belajar dari pengalaman. Kami orang desa tahu, pertambangan itu tak layak. Kenapa Bupati Banyuwangi tetap saja mengizinkan? Bahkan sulap hutan lindung jadi pertambangan,” kata Ari.

Setiap hujan turun deras, lokasi sekitar Tumpang Pitu, banjir lumpur. Genangan lumpur cokelat dan hitam memenuhi Pantai Pulau Merah. Air laut yang bersih jadi kecoklatan dan kotor.

Kondisi ini, katanya, berimbas bagi pariwisata di sana. Perbukitan Tumpang Pitu gundul untuk infrastruktur perusahaan menyebabkan penyerapan air tak maksimal. Airpun mengalir menggenangi lokasi sekitar mulai pemukiman warga hingga ke Pulau Merah.

 

Dari kiri ke kanan, Abdul. Wahid Habibulloh (lawyer), Hari Kurniawan (lawyer), Hari Budiawan (terdakwa), Achmad Zakkyi Qhufron (lawyer), Tedjo Achmad Rifai (lawyer). Foto: Forbanyuwangi/ Mongabay Indonesia

 

Pada sidang kelima, 10 Oktober 2017, Bambang Wijanarko, Manajer Eksternal Affairs PT. Bumi Suksesindo (BSI), perusahaan pertambangan emas di Tumpang Pitu, Desa Sumberagung, Kecamatan Pesanggaran, hadir sebagai saksi pelapor. Dia pernah diperiksa penyidik Polres Banyuwangi.

Sebagai Eksternal Affairs, Bambang wajib melaporkan segala bentuk aksi warga kepada direktur perusahaan bernama Arif. Laporan itu telah berkoordinasi dengan Forum Pimpinan Kecamatan (Forpimka) terdiri atas camat, kapolsek, dan koramil Pesanggaran. Mereka menyarankan, laporan segera ditindaklanjuti.

Bambang mengaku mengetahui langsung aksi demontrasi pada 4 April 2017 dari depan kantor BSI. Dia melihat sekitar 30 orang dari dekat.

Selama ini, katanya, sering aksi penolakan perusahaan pertambangan tetapi baru kali ini melihat ada yang beda. Dia melihat ada simbol palu arit di salah satu spanduk di depan kantor. Jarakn sekitar tiga atau empat meter dari dalam mobil dia.

Spanduk itu dibentangkan sekitar empat orang. “Karyawan BSI Dilarang Lewat.” Begitu tulisan spanduk. Simbol palu arit terletak di pojok bawah. Dia bilang, spanduk terbentang di bahu jalan. Selain pasang spanduk, warga juga orasi dan menyanyi.

Setelah melihat aksi, Bambang langsung melaporkan pada atasan. Kemudian disarankan melaporkan kepada aparat keamanan dengan pertimbangan BSI merupakan obyek vital nasional.

 

Kekhawatiran warga terjadi dengan kehadiran tambang. Muara penuh lumpur. Dokumentasi 16 Agustus 2016 oleh Pokmas Pariwisata Pulau Merah/ Yogi Turnando

 

Bambang mengaku pernah diperlihatkan video rekaman dan foto aksi tersebut oleh Hari, rekan kerja di perusahaan. Tetapi tak tahu dari mana video dan foto-foto berasal.

Saat lapor Bambang tidak pernah menyertakan video sebagai barang bukti.

Berbeda dengan keterangan T. Mufizar Mahmud, Corporate Communications Manager BSI. Kala Mongabay konfirmasi pada 10 Januari 2018, dia mengatakan, perusahaan tak pernah lapor pihak berwajib soal muncul spanduk bergambar palu arit dalam aksi.

Selama ini, perusahaan fokus pada peningkatan kesejahteraan masyarakat melalui berbagai macam program, seperti pendidikan, kesehatan, sosial kemasyarakatan hingga infrastruktur.

Dengan penetapan BSI jadi obyek vital nasional pada Februari 2016, BSI merupakan aset nasional milik Banyuwangi.

 

***

Pada sidang putaran ketujuh 24 Oktober 2017, Syamsul Arifin, wartawan Times Banyuwangi hadir sebagai salah satu saksi. Times Banyuwangi adalah media online pertama yang memuat berita aksi warga Pesanggaran dengan koordinator Budiawan.

Dalam kesaksian itu, Syamsul menulis berita setelah mendapatkan informasi di salah satu group Whatsapp. Syamsul tak liputan langsung ke lapangan. Dia segera mengkonfirmasi kepada salah satu wartawan yang saat itu peliputan di lapangan. Syamsul menuju ke rumah Sidik Bintoro, salah satu wartawan. Sidik, wartawan Banyuwangi 1 TV, adalah wartawan yang merekam untuk video medianya.

Di sana, Syamsul memutar video rekaman dan melihat ada logo palu arit di salah satu spanduk yang dipakai aksi warga. Saat itu, dia segera meminta konfirmasi kepada Kapolres dan Komandan Kodim Banyuwangi.

Dia sempat memindahkan rekaman video ke flaskdisk. Rekaman video itu hanya diberikan kepada Wakil Ketua PCNU Banyuwangi, Nanang Nur Achmadi. Syamsul mengaku tak tahu ketika flashdisk sampai disita penyidik.

Pada sidang putaran kedelapan, 31 Oktober 2017, Sidik hadir sebagai saksi. Sidik mengaku, langsung berangkat ke lokasi begitu mendapatkan informasi aksi warga Desa Sumberagung.

 

 

Selama mengambil video, dia tak sendiri. Sidik ditemani tiga wartawan lain. Ketika mengambil video pakai handycam, dia melihat langsung logo palu arit. Logo berada di spanduk. Dia membenarkan jika video rekaman diminta wartawan lain, dari komputernya, dan disimpan di flashdisk.

Video rekaman diputar di ruang sidang, disaksikan majelis jakim, JPU, penasihat hukum dan para pengunjung.

Dalam rekaman video terlihat ada massa aksi menolak tambang. Awalnya, mereka memasang satu spanduk terikat pada pohon terletak di depan kantor Kecamatan Pesanggaran. Setelah itu, warga membentangkan spanduk lain empat lembar.

Warga melanjutkan aksi berjalan kaki dari depan Kecamatan Pesanggaran menuju simpang tiga. Sebagian massa ada berjalan kaki, sebagian naik sepeda motor dan mobil. Mereka juga membentangkan spanduk bertuliskan tolak tambang emas.

Saat berjalan itulah, ada dua spanduk terdapat logo palu arit. Logo itu terpasang melintang di sebelah kiri, berwarna merah.

Ahmad Rifa’i, penasihat hukum terdakwa, mengatakan, keterangan saksi Sidik tak ada yang memberatkan Budi. Budi belum bisa disebut menyebarkan ajaran komunisme, marxisme atau leninisme, seperti dalam Pasal 107 huruf a UU Nomor 27/1999 tentang Perubahan KUHP yang berkaitan dengan kejahatan terhadap keamanan negara.

Agnes Deva Risda Kusuma, koordinator Forum Rakyat Banyuwangi, mengatakan, tuntutan penjara tujuh tahun sangat berlebihan. Budi belum masuk perbuatan mengembangkan atau menyebarkan paham komunisme.

Dalam aksi, katanya, Budi tak pernah membuat untuk mendukung atau mengajak orang mendukung komunisme. Dia juga tak menyuruh orang memasang spanduk bergambar palu arit.

Spanduk itu, katanya, juga tak bisa dihadirkan sebagai barang bukti dalam sidang. Dia menganggap, kasus ini dipaksakan dan bentuk kriminalisasi warga yang memperjuangkan ruang hidup dan lingkungan mereka.  Keterangan: foto utama: BaFFEL

 

Kondisi lahan di wilayah pertambangan sedang dalam konstruksi. Foto: BaFFEL

 

Aksi warga Banyuwangi protes tamabng emas Tumpang Pitu di Kantor PN Banyuwangi. Foto: Arie Restu, For Banyuwangi/ Mongabay Indonesia

 

 

Exit mobile version