Mongabay.co.id

Suram, Potret Lingkungan Hidup 2017 di Sulsel

Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Sulawesi Selatan merilis laporan kondisi lingkungan hidup sepanjang tahun 2017. Beragam kasus yang sempat muncul di pemukaan belum terselesaikan dengan baik. Termasuk kasus reklamasi Centerpoint of Indonesia (CPI). Meski proses hukum terus berjalan, reklamasi juga tetap berlanjut.

“Suram,” ujar Asmar Exwar, Direktur Walhi Sulsel, dalam paparannya di diskusi Resolusi Lingkungan Hidup 2018, di M Kofee, Makassar, awal Januari 2018 lalu,

baca : WALHI Bakal Ajukan Banding Putusan Sidang Terkait Reklamasi CPI Makassar

Kasus lain, yang masih terkait dengan reklamasi adalah tambang pasir laut di perairan Galesong di Kabupaten Takalar. Kasus ini juga tengah dalam penanganan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan dan belum ada kejelasan hingga saat ini.

Ada juga kasus penambangan dan pengolahan asphalt di Kabupaten Enrekang. “Ini juga berada dalam penanganan KLHK, meski kita lihat belum menunjukkan hasil yang signifikan,” tambahnya.

baca : KKP Surati Gubernur Sulsel, Minta Tambang Pasir di Takalar Dihentikan

 

Dalam diskusi tentang Resolusi Lingkungan hidup 2018 yang dilaksanakan Walhi Sulsel dipaparkan sejumlah kasus lingkungan yang terjadi sepanjang tahun 2017. Walhi Sulsel dalam diskusi ini juga memberi usulan sebagai resolusi penanganan lingkungan untuk tahun 2018 dan tahun-tahun mendatang. Foto: Wahyu Chandra/Mongabay-Indonesia.

 

Kasus lainnya yaitu dugaan pencemaran pesisir Mallasoro, Bangkala, Kabupaten Jeneponto, yang menyebabkan sejumlah warga keracunan tude atau kerang. Lalu ada juga kasus perambahan kawasan hutan untuk kegiatan non kehutanan, pencemaran dan pengelolaan IPAL di Makassar, dan kasus pencurian terumbu karang hidup di Kabupaten Pangkep.

“Kasus lainnya adalah pembangunan PLTA Seko yang penanganannnya hingga saat ini belum ada kejelasan, baik dari pemerintah daerah ataupun penegak hukum. Lalu ada juga kasus terkait pembangunan infrastruktur pabrik semen PT. Conch di Kabupaten Barru. Semuanya dalam proses meski belum ada kepastian keberlanjutannya.”

baca : Meski Dikritisi, Bupati Lutra Tetap Lanjutkan Pembangunan PLTA Seko. Kenapa?

Walhi Sulsel juga menyoroti penguasaan lahan yang dilakukan oleh PTPN XIV. Antara lain di Kabupaten Luwu Timur, Pabrik Gula di Kabupaten Bone, Pabrik Gula di Kabupaten Takalar, Kebun kapas di Kabupaten Jeneponto, Kebun Kopi di Kabupaten Enrekang dan perkebunan Sawit di Kecamatan Mappideceng Kabupaten Luwu Utara. Total penguasaan lahan di Sulawesi Selatan oleh PTPN XIV adalah 64.912,75 Hektar.

“Sebagian besar ini masih bermasalah hingga sekarang,” tambah Asmar.

Untuk perizinan tambang terus mengalami peningkatan dalam dua tahun terakhir, 2016-2017. Pada tahun 2016 terdapat 414 IUP dan hingga tahun 2017 diperkirakan terjadi peningkatan secara signifikan. Kasus-kasus pertambangan yang menonjol melingkupi beberapa kabupaten, seperti Gowa, Maros, Barru dan Luwu Utara.

WALHI Sulsel juga mencatat adanya kriminalisasi warga dan aktivis lingkungan. Misalnya, penangkapan 14 orang dan menjalani masa tahanan di Masamba, Kabupaten Luwu Utara terkait protes mereka terhadap pembangunan proyek PLTA di kawasan adat Seko.

baca : Cerita dari Persidangan Amisandi yang Terjerat Hukum Gegara Tolak PLTA Seko

 

Masyarakat adat di Seko, Luwu Utara, Sulsel menolak rencana pembangunan PLTA berkapasitas 480 MW oleh PT Seko Power Prima. Pemkab Luwu Utara sendiri mengklaim sebanyak 85 persen masyarakat Seko telah menerima keberadaan PLTA tersebut. Foto: AMAN Tana Luwu

 

Di Tinggi Moncong, Kabupaten Gowa, sebanyak 11 orang dengan diperiksa Polres Gowa dengan tuduhan penyerobotan dan pengrusakan lahan. Sebelumnya terdapat 2 orang warga Gowa juga mengalami kriminalisasi terkait pengelolaan hutan. Dugaan kriminalisasi juga terjadi pada 4 orang petani di Desa Umpungeng, Kabupaten Soppeng, terkait pengelolaan hutan Laposo Niniconang.

Terkait aktor perusak lingkungan, WALHI Sulsel mencatat bahwa aktor perusak lingkungan didominasi oleh pihak korporasi, terutama yang berinvestasi di sektor tambang dan perkebunan. Disusul oleh aktor pemerintah, lalu kombinasi antara korporasi dan pemerintah, dalam hal ini terkait reklamasi. Masyarakat juga kerap menjadi aktor perusakan lingkungan, meski tak sebesar aktor korporasi dan pemerintah.

Dengan berbagai kasus tersebut, menurut Asmar, harus ada langkah-langkah konkrit dan optimisme dilakukan bersama di tahun 2018 dan tahun-tahun mendatang. Sejumlah usulan WALHI Sulsel antara lain, perlunya dibangun desa atau kampung ekologis.

“Ini bertujuan untuk mempertahankan serta mengembangkan model pertanian dan perkebunan yang ramah lingkungan, mempertahankan kelestarian bentang alam.”

Tindakan lain adalah perlunya dukungan dan promosi model wilayah kelola rakyat, versus industri ekstraktif maupun energi kotor. Selain itu, juga perlu adanya kebijakan pro lingkungan dan masyarakat, penyelamatan kawasan ekosistem esensial, moratorium permanen izin pertambangan dan perkebunan skala luas, serta pemulihan lingkungan dam penegakan hukum.

baca : Terjadi Ketimpangan Struktur Agraria di Sulsel, Ini Tuntutan Aliansi Masyarakat Sipil

Asmar juga mendesak pemerintah untuk menjalankan agenda reforma agraria, memberikan hak atas penguasaan, akses dan kontrol rakyat dan komunitas atas pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan   hidup, serta melakukan peninjauan kembali kebijakan privatisasi perusahaan-perusahaan negara yang menguasai hajat hidup orang banyak.

“Tak kalah pentingnya adalah memastikan perlindungan dan pemenuhan layanan sosial dasar rakyat oleh negara,” tambahnya.

 

Warga memperlihatkan tanahnya yang berkonflik dengan PTPN XIV. Konflik antara warga Takalar, Sulsel dengan pihak PTPN XIV telah berlangsung sejak 2007 silam ketika HGU pabrik gula ini berakhir. Sejumlah lahan warga yang telah ditanami dibongkar paksa menggunakan alat berat. Foto: Wahyu Chandra/Mongabay Indonesia

 

WALHI Sulsel juga mendesak pemerintah untuk melakukan penegakan hukum terhadap kejahatan korporasi yang selama ini terus dilindungi oleh negara. Lalu membangun kemandirian ekonomi bangsa yang berbasiskan pada ekonomi rakyat dan melepaskan diri dari jebakan utang luar negeri dan memastikan pelibatan bermakna warga negara dalam setiap kebijakan ekonomi dan pembangunan bangsa dari tingkat pusat hingga di tingkat desa.

Terkait pengakuan dan perlindungan Wilayah Kelola Rakyat, Asmar menjelaskan bahwa terdapat empat tatanan atau konsep wilayah kelola rakyat yakni tata kuasa, tata kelola, tata produksi dan tata konsumsi termanifestasikan dalam kedaulatan rakyat atas ruang, berdaulat atas ekonomi, berdaulat atas air, tanah, pesisir dan laut, energi dan berdaulat secara budaya dan politik.

“Wilayah Kelola Rakyat dibangun dengan nilai komunalitas dan hak asal usul, kebersamaan, nilai keadilan sosial, berbasis pada sumber daya yang ada di masyarakat itu sendiri, potensi dan kekuatan dan itulah yang harus di gali dan kembangkan menjadi sumber kehidupan yang adil dan lestari,” tambahnya.

Ia juga menilai pentingnya memberikan pengakuan dan perlindungan terhadap Wilayah Kelola Rakyat oleh negara dari berbagai ancaman industri ekstraktif antara lain industri tambang, perkebunan besar kelapa sawit, kebun kayu maupun pembangunan infrastruktur skala besar dan kebijakan kehutanan maupun lainnya yang mengancam wilayah kelola rakyat dan sumber-sumber kehidupan rakyat.

 

Sekitar 100-an perahu jolloro dari Galesong Kabupaten Takalar, Sulsel, menduduki kawasan CPI. Membentangkan spanduk penolakan tambang pasir. Mereka mulai berangkat dari Kampung Beru, Galesong Utara, sejak pukul 06.00 dan tiba di Pantai Losari sektar pukul 07.30. Foto: Wahyu Chandra

 

Komisi Amdal

Musmahendra, anggota Komisi Amdal Sulsel, menyoroti tata kelola ruang yang tidak didasari oleh hasil studi yang memadai sehingga pembangunan kemudian dilakukan tidak berdasar pada daya lingkungan.

“Contohnya di kampung halaman saya, di Kabupaten Enrekang di mana hampir semua daerah yang ketinggiannya 200 mdpl dan kemiringan 60-70 persen hampir tidak didapatkan adanya vegetasi yang sifatnya suistainable. Justru yang banyak adalah vegetasi musiman seperti jagung dan kacang.”

Di bagian lain, Musmahendra menyoroti ruang kewenangan Komisi Amdal yang masih terbatas, sebagian besar hanya bisa memberi opini namun tidak memiliki ruang yang besar dalam proses terbitnya izin Amdal.

“Terkait dengan amdal, saya jelaskan bahwa dari tahun 2009 saya salah satu komisi yang menyampaikan ke kementerian KLHK bahwa tolong ditingkatkan kewenangan anggota komisi Amdal.”

Musmahendra menjelaskan bahwa sejak bergabung di Komisi Amdal Sulsel, dari tahun 2009 hingga sekarang, ia tidak pernah melihat rapat anggota komisi yang memiliki kekuatan untuk mengatakan bahwa Amdal sebuah korporasi bermasalah dan tak bisa dikeluarkan isu lingkungannya.

“Itu tak ada,” katanya sambil menjelaskan bahwa kewenangan terbitnya perizinan Amdal tersebut sepenuhnya ada di SKPD atau bupati setempat atau gubernur.

Abdul Azis, Tim Ahli Hukum Walhi dalam sejumlah kasus lingkungan, menyoroti berbagai tantangan penegakan hukum kasus lingkungan di Indonesia.

“Sebenarnya masih banyak kendala dalam penegakan hukum lingkungan dan ini menjadi tantangan kita. Ini terkait paradigm pembangunan negara kita yang lebih fokus pada pertumbuhan. Ini mendorong lahirnya banyak investasi yang di sisi lain menomorduakan persoalan-persoalan lingkungan.”

 

Exit mobile version