,

Meski Dikritisi, Bupati Lutra Tetap Lanjutkan Pembangunan PLTA Seko. Kenapa?

Pemerintah Daerah Luwu Utara (Lutra), Sulawesi Selatan, bakal mengizinkan PT Seko Power Prima melanjutkan pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) di Kecamatan Seko. Tetapi masyarakat dan sejumlah aktivis LSM di Sulsel menolak. Apalagi ada indikasi kriminalisasi dan kekerasan dari Pemda dan TNI/Polri untuk meredam pihak yang menolak pembangunan PLTA tersebut.

Melihat hal tersebut, masyarakat dan LSM yang menolak pembangunan PLTA tergabung dalam Aliansi Seko Menggugat (ASM) dalam rapat koordinasi mereka di Makassar, pertengahan Juni menyatakan mendesak Pemprov Sulsel dan Pemkab Lutra meninjau kembali izin pembangunan PLTA tersebut. Mereka juga meminta PT Seko Power Prima menghentikan kegiatan survey di wilayah masyarakat adat Seko.

Selain itu, aparat Pemda ataupun aparat TNI/Polisi didesak untuk menghentikan segala aktivitas survey perusahaan dan  mendesak Pemprov Sulsel untuk mempertahankan fungsi kawasan hutan dan perlindungan wilayah adat.

ASM sendiri merupakan koalisi dari Perkumpulan Wallacea, WALHI Sulsel, Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Makassar, Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Tana Luwu, AMAN Sulawesi Selatan, Kontras Sulawesi, Jurnal Celebes, YBS Palopo dan Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Azasi Indonesia (PBHI) Sulsel.

Direktur WALHI Sulsel, Asmar Exwar dalam rapat tersebut mengatakan Pemprov Sulsel seharusnya memprioritaskan perlindungan kawasan hutan tersisa termasuk wilayah adat, dengan tidak memberikan izin pertambangan.

Pemprov juga harus mengevaluasi izin pertambangan yang ada, termasuk izin pembangunan infrastruktur yang menunjang industri pertambangan seperti PLTA. Dia melihat keterkaitan antara investasi energi dan pertambangan yang berpotensi mengancam kawasan hutan maupun wilayah masyarakat adat.

Dari data, saat ini terdapat 10 perusahaan tambang berizin eksplorasi dari Bupati Lutra sejak 2011, dimana 6 diantaranya berlokasi di Kecamatan Seko seluas 121.390,22 hektar. Juga ada izin HGU perkebunan, yaitu PT. Seko Fajar, dan rencana pembangunan PLTA yang akan dibangun oleh PT. Seko Power Prima dan PT. Seko Power Prada.

Menurut Ketua Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Tana Luwu, Bata Manurun, mereka tidak pernah mendapatkan informasi yang detil dan transparan tentang dampak beroperasinya PLTA.

Bahkan masyarakat belum pernah diberitahu atau dimintai persetujuannya terkait izin pembangunan PLTA tersebut. Warga baru mengetahuinya setelah perusahaan memasang papan pengumuman penyusunan AMDAL.

“Proses konsultasi dan sosialisasi yang dilakukan pemerintah dan perusahaan tidak pernah dilakukan di wilayah dampak, lokasi pembangunan PLTA, sehingga masyarakat tidak mendapatkan informasi yang jelas atas apa yang akan dibangun oleh perusahaan.“

Pemkab Lutra harusnya menghargai keberadaan dan hak masyarakat adat Seko atas tanahnya. Apalagi ada Perda No.300/2004 tentang Keberadaan Masyarakat Adat Seko dan SK Bupati No 12 tahun 2004. Harusnya penerbitan izin perusahaan berlandaskan kedua peraturan tersebut.

“Kedua peraturan itu jelas menenegaskan segala bentuk pembangunan yang masuk ke Seko harus sepengatahuan dan izin dari masyarakat adat Seko.”

Masyarakat adat di Seko, Luwu Utara, Sulsel menolak rencana pembangunan PLTA berkapasitas 480 MW oleh PT Seko Power Prima. Pemkab Luwu Utara sendiri mengklaim sebanyak 85 persen masyarakat Seko telah menerima keberadaan PLTA tersebut. Foto: AMAN Tana Luwu
Masyarakat adat di Seko, Luwu Utara, Sulsel menolak rencana pembangunan PLTA berkapasitas 480 MW oleh PT Seko Power Prima. Pemkab Luwu Utara sendiri mengklaim sebanyak 85 persen masyarakat Seko telah menerima keberadaan PLTA tersebut. Foto: AMAN Tana Luwu

Bata menambahkan Pemkab Lutra seharusnya terbuka kepada masyarakat adat Seko, peruntukan PLTA berkapasitas 480 MW karena jauh dari kebutuhan masyarakat setempat.

Menurut Ketua AMAN Sulsel, Sardi Razak  masyarakat Seko akan terdampak secara sosial ekonomi dan budaya, dengan terancamnya hutan, sawah, kebun, pengembalaan, dan sungai yang merupakan sumber penghidupan mereka.

“Secara budaya, akan terjadi perubahan tatanan sosial dari masyarakat yang mengutamakan kebersamaan dan kegotong-royongan menjadi individualis dan materialistik. Lebih jauh ditakutkan bisa terjadi konflik sosial antar masyarakat karena adanya pro-kontra terhadap keberadaan beragam investasi tersebut. Hal ini akan berdampak pada pudarnya kearifan adat dan budaya masyarakat adat Seko.”

Bendungan PLTA di Amballong bakal menghilangkan 25 hektar sawah produktif masyarakat di Sae, sehingga dikhawatirkan berdampak pada krisis pangan di daerah tersebut.

Sedangkan Firmansyah, dari LBH Makassar, mengatakan intimidasi aparat pemerintah dan TNI/Polri masih berlangsung. Ini tidak mencerminkan pembangunan pro masyarakat, karena diawali dengan pelanggaran HAM.

Tetap dilanjukan demi kepastian investasi

PT Seko Power Prima dikabarkan melanjutkan survey lokasi, meski sempat terhenti karena penolakan masyarakat,  Aksi penolakan sendiri berakhir dengan ditangkapnya dua aktivis warga Seko dan ditahan selama 20 jam oleh Polres Lutra.

Bupati Luwu Utara, Indah Putri Indriani kepada Mongabay pada awal Juni menyatakan tetap melanjutkan pembangunan PLTA karena semua persyaratan telah terpenuhi dan bahkan telah diverfikasi oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Ia bersikap tegas melanjutkan pembangunan PLTA demi kepastian investasi.“Kita tak bisa menggantung siapapun yang ingin membangun daerah kita. Izin ini kan masih lanjut walaupun izin ini bukan dari kami karena semuanya sudah diambil alih. Tapi kita lihat izinnnya masih berlaku. Jadi kami persilahkan mereka untuk berkomunikasi langsung dengan masyarakat.”

Mengenai penolakan warga, Indah menilai hal itu wajar sebagai dan dinamika dari proses pembangunan. Indah bahkan mengklaim sebanyak 85 persen warga Seko telah bersedia menerima keberadaan PLTA tersebut.

“Saya yakin tidak ada kebijakan 100 persen yang diterima masyarakat dengan berbagai alasan, tetapi kita tak bisa mengorbankan yang banyak untuk yang sedikit menolak ini.”

Aksi warga Seko, Luwu Utara, Sulsel menolak pembangunan PLTA Seko masih berlanjut hingga sekarang. Aksi ini kerap disikapi Pemda dan aparat TNI/Polri dengan tindakan kekerasan dan kriminalisasi terhadap warga. Foto: AMAN Tana Luwu
Aksi warga Seko, Luwu Utara, Sulsel menolak pembangunan PLTA Seko masih berlanjut hingga sekarang. Aksi ini kerap disikapi Pemda dan aparat TNI/Polri dengan tindakan kekerasan dan kriminalisasi terhadap warga. Foto: AMAN Tana Luwu

Pembangunan PLTA ini, menurut Indah, tidak bisa menunggu seluruh warga setuju karena terkait batasan waktu. Indah mengakui sempat mengusulkan diadakannya referendum untuk mengetahui persepsi yang sebenarnya dari masyarakat terkait pembangunan PLTA tersebut.

Indah juga menilai penolakan warga selama ini hanya karena informasi keliru yang mereka terima, yang tidak berdasarkan kondisi yang sebenarnya.

“Setelah kami tanya langsung ke masyarakat, ternyata selama ini mereka mendapatkan informasi yang keliru tentang PLTA ini. Misalnya lahan mereka akan diambil dan digenangi dan akan dibangun bendungan di atas di ketinggian 100 atau 500 meter. Ini kan informasi yang tidak benar.”

Indah juga membantah pembangunan PLTA ini terkait adanya rencana masuknya investasi tambang di daerah tersebut, karena Seko sama sekali tidak memiliki potensi tambang dan tak pernah ada izin terkait hal tersebut. Pembangunan PLTA semata demi memenuhi kebutuhan listrik masyarakat sebagai bagian dari program nasional pemenuhan target 35 ribu MW.

“Dengan adanya PLTA ini maka masyarakat lah yang akan merasakan. Tidak mungkin 480 mw ini hanya untuk warga Seko saja tapi juga untuk daerah lain sekitarnya. Di Lutra ini ada potensi hingga 1000 MW dari izin yang sudah kita keluarkan. Tidak mungkin untuk warga Lutra saja tetapi dari Lutra kita harapkan bisa menjadi terang Indonesia.”

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , ,