Mongabay.co.id

Ini Tempat Hidup Puluhan Ekor Buaya, Seperti Apa?

Iring-iringan mobil itu sampai di sebuah gang kecil di Desa Dawuhan Kulon, Kecamatan Kedungbanteng, Banyumas, Jawa Tengah pada Kamis (15/2/2018) lalu. Hanya satu kendaraan yang masuk ke gang sempit. Di bak terbuka kendaraan, ada dua ekor buaya. Satu ekor berjenis buaya sapit (Tomistoma schlegelii) dan seekor buaya muara (Crocodylus porosus).

Untuk buaya sapit ukurannya cukup besar karena panjangnya 3,5 meter dan bobot hingga 200 kg. Buaya berjenis kelamin betina itu dimasukkan ke dalam kandang besi. Sedangkan satu ekor lainnya, yakni buaya muara berjenis kelamin jantan memiliki panjang 2,4 meter dengan berat 85 kg. Kedua ekor buaya merupakan hasil penyerahan dari warga Desa Rowosari, Kecamatan Weleri, Kabupaten Kendal.

baca : BKSDA Jateng Evakuasi Buaya Muara dari Hotel

 

Sejumlah petugas BKSDA Jateng mengangkut buaya yang dimasukkan ke dalam kandang untuk selanjutnya dibawa ke penangkaran di Desa Dawuhan Kulon, Kedungbanteng, Banyumas, Jateng, Kamis (15/2/2018). Foto : L Darmawan/Mongabay Indonesia

 

Tidak hanya dua ekor buaya yang besar, ada juga enam ekor buaya muara yang merupakan hasil penyerahan msyarakat Yogyakarta ke Balai Konservasi Sumberdaya Alam (BKSDA) Yogyakarta. Oleh BKSDA Yogyakarta diserahkan ke BKSDA Jateng karena di Yogyakarta tidak ada tempat penitipan resmi. Enam ekor buaya tersebut relatif masih kecil, berukuran panjang antara 1-1,5 meter berbobot antara 7-12 kg.

Kedelapan buaya tersebut masuk ke sebuah areal penangkaran di desa setempat yang dimiliki oleh Fatah Arif Suyanto. Sejak 2016 lalu, Suyanto mendapatkan izin sebagai pengelola Unit Penangkaran Buaya di Desa Dawuhan Kulon, melalui Surat Keputusan (SK) Kepala BKSDA Jateng No.SK.262/IV-K.11/KKH/2016 tanggal 30 Desember 2016 tentang Pemberian Izin Penangkaran Jenis Reptil Dilindungi UU Generasi Kedua (F2).

baca : Buaya Muara Dievakuasi dari Rumah Warga di Banyumas, Lalu?

 

Penyerahan seekor buaya sapit (Tomistoma schlegelii) dari BKSDA Jateng ke penangkaran buaya di Desa Dawuhan Kulon, Kedungbanteng, Banyumas, Jateng, Kamis (15/2/2018). Foto : L Darmawan/Mongabay Indonesia

 

Kepala BKSDA Jateng Suharman mengatakan bahwa delapan ekor buaya yang dibawa ke Unit Penangkaran Reptil untuk dititiprawatkan. “Dua ekor buaya yang sudah besar dari Kendal itu ada yang sudah dipelihara selama 19 tahun. Dalam perkembangannya, pemelihara menyerahkan ke BKSDA Jateng. Akhirnya kami menitiprawatkan di Unit Penangkaran Buaya di Desa Dawuhan Kulon ini. Karena penangkaran di sini merupakan satu-satunya yang berizin di Jateng,” kata Suharman.

“Meski sudah berada di sini, namun buaya-buaya ini tetaplah milik negara. Kalau nanti dikembangbiakkan sampai keturunan kedua atau punya ‘cucu’, maka akan menjadi milik Pak Suyanto. Jadi sifatnya saat sekarang baru dititiprawatkan,” jelasnya.

Suharman menduga sebetulnya masih ada masyarakat di Jateng yang masih memelihara buaya. Padahal satwa tersebut merupakan hewan yang dilindungi UU dan PP No.7/1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa.

“Memang kalau memelihara buaya tidak mudah diketahui oleh tetangga. Sehingga umumnya, penyerahan dilakukan atas kesadaran sendiri. Seperti tahun lalu, ada Pondok Pesantren di Demak yang menyerahkan buaya peliharaan mereka ke kami. Kemudian, kami titiprawatkan juga di sini,” kata Suharman.

baca : Panjang Capai 4 Meter, Akhirnya Pemilik Serahkan Buaya Muara ke BKSDA

 

Dua ekor buaya muara (Crocodylus porosus) yang masih kecil siap dimasukkan ke dalam kandang penangkaran di Desa Dawuhan Kulon, Kedungbanteng, Banyumas, Jateng, Kamis (15/2/2018). Foto : L Darmawan/Mongabay Indonesia

 

Menurutnya, BKSDA Jateng menitiprawatkan ke penangkaran karena tidak memungkinkan dilepasliarkan ke habitatnya. Maka pilihannya adalah melakukan upaya penyelamatan dan mengembangbiakkan. “Di sisi lain, khususnya di Jateng, masih ada juga laporan masyarakat yang melihat buaya tidak jauh dari pemukiman penduduk. Misalnya dari Kebumen, sudah ada laporan adanya buaya dua kali di sungai Luk Ulo. Padahal di Kebumen, tidak ada sejarah Luk Ulo sebagai habitat buaya. Kami menduga, itu adalah buaya milik warga yang terlepas atau dilepas,”ungkapnya.

Karena itu, lanjut Suharman, memang butuh kesadaran untuk menyerahkan satwa dilindungi termasuk buaya. Kalau sudah berada di penangkaran seperti yang ada di Dawuhan Kulon ini bakal lebih terkontrol, apalagi tempat penangkarannya cukup representatif.

“Mengenai penangkaran, sesuai dengan Peraturan Menteri Kehutanan No.P.19/Menhut-II/2005 pada pasal 1 menyebutkan kalau penangkaran adalah upaya perbanyakan melalui pengembangbiakan dan pembesaran tumbuhan dan satwa liar dengan tetap mempertahankan kemurnian jenisnya. Unit penangkaran adalah suatu usaha penangkaran tumbuhan dan atau satwa yang hasilnya untuk diperjualbelikan atau untuk dijadikan obyek yang dapat menghasilkan keuntungan secara komersial yang berhubungan dengan penangkaran tumbuhan dan satwa liar yang meliputi kegiatan penangkaran, pengolahan sampai dengan pemasaran hasil penangkaran sehingga kegiatan penangkaran dapat dijadikan sarana edukasi/peragaan,” paparnya.

baca : Ngeri! Diduga Mangsa Warga, Dua Ekor Buaya Dibunuh di Aceh Singkil

 

Seekor buaya masuk ke dalam kolam yang merupakan kandang penangkaran di Desa Dawuhan Kulon, Kedungbanteng, Banyumas, Jateng, Kamis (15/2/2018). Buaya tersebut dievakuasi ke tempat penangkaran yang representatif. Foto : L Darmawan/Mongabay Indonesia

 

Pemilik Unit Penangkaran Buaya di Desa Dawuhan Kulon, Fatah Arif Suyanto, mengatakan sampai sekarang ada 21 ekor buaya, delapan di antaranya merupakan penitipan pada Kamis (15/2/2018). “Dari 21 ekor buaya tersebut, 17 ekor di antaranya adalah buaya muara yang merupakan buaya terganas. Sisanya adalah jenis buaya sapit dan satunya lagi buaya air tawar Papua (Crocodylus novaguinae). Kalau di Indonesia sebetulnya ada tujuh jenis, tetapi yang masuk ke penangkaran di sini baru tiga jenis. Sebagian besar berjenis kelamin betina,” jelasnya.

Untuk sementara, kata Suyanto, buaya-buaya tersebut menempati kandang penangkaran di areal sekitar 500 m2. Namun demikian, bisa saja nantinya areal dikembangkan lebih luas lagi. “Tidak seluruh buaya yang ada di sini merupakan penitipan dari BKSDA, melainkan juga ada milik saya. Biasanya, saya membeli F2. Saya siap untuk memelihara dan mengembangbiakkan buaya di sini,”ujarnya.

Ia tidak mau merinci berapa biaya yang dikeluarkan untuk memelihara buaya-buaya tersebut. Padahal, setiap harinya buaya harus diberi makan. “Yang penting saya punya niat untuk memelihara dan mengembangbiakkan buaya. Apalagi, secara ekonomi saya akan mendapatkan manfaat kalau buaya sudah memiliki ‘cucu’ atau sampai F2. Saat sekarang fokus pada breeding. Saya mempekerjakan empat orang untuk mengurusi buaya,”ungkap Suyanto.

baca : Gunakan Buaya untuk Berjualan, Pedagang Obat Ditangkap

 

Seekor buaya di kandang penangkaran buaya di Desa Dawuhan Kulon, Kecamatan Kedungbanteng, Banyumas, Jawa Tengah sedang melahap ayam yang diberikan. Foto : L Darmawan/Mongabay Indonesia

 

Di lokasi penangkaran, Suyanto telah membangun sejumlah kolam yag digunakan untuk memelihara buaya. Kolam-kolam tersebut dilengkapi dengan pagar besi sebagai pengaman kolam. Selain itu, di sekeliling unit penangkaran telah dibangun tembok keliling dengan seng yang memiliki ketinggian sekitar dua meter. “Tempat ini memang difokuskan sebagai penangkaran, untuk memelihara dan mengembangbiakkan buaya di sini. Kalau ada usulan sebagai tempat wisata, rasanya belum. Karena fokusnya masih sebagai penangkaran,”jelas dia.

Suyanto mengatakan itu, karena sebelumnya ada usulan sejumlah pihak bahwa lokasi setempat diharapkan sebagai obyek wisata. Namun, bagi Suyanto, dirinya masih belum berpikir jauh, karena prioritas saat sekarang adalah bagaimana mengembangbiakkan buaya di unit penangkaran itu.

 

Exit mobile version