Mongabay.co.id

Mengungkap Misteri Biodiversitas Laut Dalam di Perairan Jawa Bagian Selatan. Seperti Apa?

Dalam dua tahun ke depan, Indonesia bertekad sudah bisa memetakan segala potensi biodiversitas yang ada di perairan laut dalam di Laut Jawa bagian Selatan. Pemetaan tersebut menjadi yang pertama dalam sejarah penelitian biodiversitas laut di Indonesia. Untuk menyelesaikan penelitian tersebut, Indonesia bekerja sama dengan Singapura dengan menerjunkan masing-masing peneliti terbaiknya.

Dari Indonesia, pihak yang dilibatkan untuk bertugas di atas kapal penelitian Bharuna Jaya VIII tersebut, ditunjuk para peneliti dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI). Sementara, pihak yang terlibat dari Singapura, adalah para peneliti dari National University Singapore (NUS) yang dipimpin langsung Peter Ng.

Peneliti Senior Pusat Penelitian Oseanografi (P2O) LIPI Dwi Listyo Rahayu di Jakarta, akhir pekan lalu mengatakan, penelitian yang dilakukan dua negara itu, akan berfokus pada pencarian keragaman biota laut di bagian barat daya Pulau jawa. Penelitian difokuskan di kawasan itu, karena daerah tersebut selama ini tidak pernah dilibatkan dalam sebuah penelitian.

baca : Ekspedisi LIPI 2015 Ungkap Biodiversity Dan Biogeokimia Di Samudra Hindia

 

Salah satu koleksi satwa laut di pesisir Pantai Bangsring, Wongsorejo, Banyuwangi, Jawa Timur adalah hiu. Hiu dalam keramba ini disayangkan oleh berbagai pihak karena dinilai menyiksa satwa laut itu. Foto : M Ambari/Mongabay Indonesia

 

Untuk memetakan biodiversitas di laut dalam yang ada di kawasan tersebut, Dwi mengatakan, sebanyak 30 peneliti dari dua negara beserta para staf pendukung dari Indonesia akan ada di atas kapal dan melakukan aktivitas penelitian terhitung dari 23 Maret hingga 5 April 2018.

“Ini adalah eksplorasi biologis laut dalam terpadu pertama kali yang dilakukan di bagian laut Indonesia yang sebagian besar belum dijelajahi, khususnya di perairan Jawa,” ungkap Dwi.

Dwi melanjutkan, ekspedisi akan dimulai dari sekitar Selat Sunda ke arah timur menuju perairan Cilacap pada kedalaman 500 sampai 2.000 meter di bawah permukaan laut. Ekspedisi akan fokus untuk mengumpulkan sampel dari berbagai organisme laut alam yang biasanya sulit didapatkan seperti Crustacea (kepiting dan udang), Mollusca (kerang), Porifera (spons laut), Cnidaria (ubur-ubur), Polychaeta (cacing), Echinodermata (bintang laut dan bulu babi), dan ikan.

“Ekspedisi ini diharapkan menguak keanekaragaman jenis biota laut dalam di Palung Jawa, tidak hanya untuk ilmu kelautan tapi juga melihat potensi biota laut dalam untuk bahan pangan atau manfaat lainnya,” jelas Dwi.

baca : Punah, Sepertiga Megafauna Laut Tanpa Pernah Kita Ketahui

 

Zebra crab atau kepiting zebra, salah satu satwa laut unik yang ada di Selat Lembeh, Sulawesi Utara. Foto : Wisuda/Mongabay Indonesia

 

Tak hanya itu, Dwi berharapmelalui ekspedisi tersebut, peneliti-peneliti muda diharapkan bisa melatih dirinya sendiri bersama peneliti-peneliti dari negara lain dalam melakukan pekerjaan taksonomi morfologi.

Head of the Lee Kong Chian Natural History Museum of the National University of Singapore Peter Ng pada kesempatan yang sama mengungkapkan, pelaksanaan ekspedisi yang pertama kali dilakukan di laut dalam perairan Jawa bagian selatan, menjadi penanda hubungan bilateral yang terjalin antara Indonesia dengan Singapura dalam 50 tahun terakhir.

“Selama ini belum pernah ada ahli biologi yang menjelajah di perairan tersebut. Oleh itu kami sangat bersemangat sekali untuk mengikuti ekspedisi ini dan mengungkap biota laut yang ada di dalamnya,” tutur dia.

Antusiasme yang sangat tinggi tersebut, menurut Ng, tidak lain karena dia yakin kalau Laut Jawa yang selama ini dikenal sebagai daerah tak berpenghuni manusia, memiliki kekayaan biodiversitas yang sangat tinggi. Tak hanya itu, dia yakin bahwa kekayaan itu hingga saat ini belum pernah dikaji dalam ilmu pengetahuan.

“Karenanya biodiversitas yang ada di dalamnya hingga saat ini masih belum banyak dikenal orang,” tandas dia.

baca : Inilah Satwa Laut yang Telah Punah

 

Bintang laut, salah satu spesies yang tumbuh di terumbu karang yang masih alami di Taman Nasional Laut Takabonerate, Sulawesi Selatan. Ada 17 titik penyelaman yang telah ditemukan khusus hanya di Takabonerate. Foto : Syamsu Rizal/Mongabay Indoonesia

 

Dengan segala misteri yang belum terpecahkan hingga sekarang, Ng menyebut bahwa mengungkap semuanya menjadi langkah yang penting dan itu bisa memahami kekayaan yang terkandung di dalamnya. Itu juga, sekaligus menjadi upaya untuk melindungi kekayaan yang ada dan mengeksplorasinya.

“Ini adalah pertama kalinya Singapura dan Indonesia menyelenggarakan ekspedisi keanekaragaman hayati laut dalam bersama-sama,” ucap dia.

 

Manfaat Ganda

Kepala P2O LIPI Dirhamsyah menjelaskan, ekspedisi laut dalam di perairan Jawa bagian Selatan tidak saja menjadi sejarah, tapi juga memberikan manfaat ganda bagi Indonesia. Selain untuk pengembangan ilmu kelautan, ekspedisi ini juga memberikan informasi kepada Pemerintah dan bangsa Indonesia tentang potensi sumber daya laut yang ada di sekitar perairan tersebut yang dapat dimanfaatkan.

“Ekspedisi ini merupakan ajang peningkatan kapasitas peneliti-peneliti muda Indonesia untuk memahami biota dan ekosistem laut dalam yang belum banyak diketahui oleh peneliti-peneliti Indonesia. Pada ekspedisi ini akan terlibat beberapa peneliti kelas dunia dari beberapa negara seperti Singapura, Perancis, dan Taiwan,” papar dia.

Secara garis besar, Dirhamsyah menjelaskan, ekspedisi akan dibagi dalam dua kegiatan besar. Pertama adalah kegiatan di atas kapal yang meliputi pengambilan sampel dengan peralatan seperti beam trawl dan epibhentic sledge, penanganan sampel, serta kompilasi data. Selanjutnya adalah kegiatan pasca ekspedisi yang meliputi penanganan lanjutan sampel, penyusunan laporan sementara, dan workshop.

Dalam melaksanakan proses pasca ekspedisi itu, Dirhamsyah menyebut, kedua negara memerlukan waktu sedikitnya selama dua tahun dan pada 2020 akan dilakukan diskusi dengan dunia berkaitan dengan hasil yang sudah didapat. Nantinya, akan ada lokakarya khusus yang mengungkap hasil penelitian dan membagikannya kepada dunia.

baca : Wow, Indahnya Keanekaragaman Hayati Bawah Laut Pulau Sumbawa

 

Para nelayan Kampung Laut tengah mencari ikan di Segara Anakan, Cilacap, Jawa Tengah. Foto : L Darmawan/Mongabay Indonesia

 

Samudera Hindia

Pada waktu hampir bersamaan, LIPI juga menggelar ekspedisi internasional bertajuk International Indian Ocean Expedition 2 (IIOE 2) dan dilakukan bersama negara-negara di Asia Pasifik. Penelitian tersebut untuk mengungkapkan kondisi iklim global yang ada di kawasan Samudera Hindia, termasuk di dalamnya adalah cuaca ekstrem.

Bagi dunia, Samudera Hindia tak hanya memegang peranan kunci dalam menentukan kondisi iklim secara global, namun juga memegang peranan besar dalam menyuplai sumber daya hayati dan non hayati yang jumlahnya sangat melimpah. Oleh itu, melalui riset yang dilakukan dalam ekspedisi, diharapkan bisa dipahami interaksi antara aspek oseanografi fisika, kimia dan biologi, serta biologi.

Dengan fakta tersebut, Deputi Bidang Ilmu Pengetahuan Kebumian LIPI Zainal Arifin mengharapkan, apa yang ada di Samudera Hindia bisa dimanfaatkan secara baik untuk pembangunan berkelanjutan di masa depan dan mendukung program ekonomi biru (blue economy). Apalagi, jauh sebelumnya, tepatnya pada 50 tahun lalu, inisiatif riset serupa sudah digelar dan bisa memberikan manfaat untuk kehidupan bagi negara di Samudera Hindia, dan umumnya negara di dunia.

Adapun, untuk kegiatan ekspedisi tersebut, secara berkala dilakukan pertemuan rutin yang melibatkan semua negara di Samudera Hindia. Untuk tahun ini, pertemuan dilaksanakan di Indonesia pada 19-23 Maret lalu. Sebagai tuan rumah, Indonesia diwakili LIPI dan Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG).

Zainal Arifin menjelaskan, dalam IIOE 2 dilibatkan para peneliti asing yang bersama-sama melakukan penelitian di bidang oseanografi dan atmosfer dari lingkungan wilayah pesisir sampai dengan laut. Melalui kegiatan tersbeut, peneliti bisa berinteraksi dan berkontribusi untuk riset Samudera Hindia sekaligus mewujudkan peran Indonesia sebagai poros maritim dunia.

baca : Seperti Apa Indeks Kesehatan Mangrove dan Lamun di Indonesia?

 

Sebuah kapal nelayan berjuang untuk berlabuh di perairan Cilacap, Jawa Tengah, pada Selasa (28/11/2017). Akibat siklon tropis Cempaka, maka nelayan hanya berani melaut tidak jauh dari pantai. Foto : L Darmawan/Mongabay Indonesia

 

Salah satu tujuan penelitian yang dilakukan dalam IIOE-2, menurut Zainal, adalah untuk mendapatkan informasi mengenai aktivitas di Samudra Hindia seperti arus laut ataupun pengaruhnya terhadap iklim dan ekosistem lautnya. Selain itu, juga untuk memahami tentang oseanografi dan biologi lautan serta interaksi antara iklim laut ataupun atmosfer untuk jangka pendek maupun jangka panjang.

“Bumi ini hampir 70 persen adalah permukaan laut, itu artinya kehidupan manusia bergantung pada laut,” tutur dia.

Laut memiliki peranan penting, kata Zainal, karena di dalamnya bisa menjadi sumber makanan protein manusia dan berperan sebagai penggerak denyut nadi perekonomian secara global dan nasional. Indonesia sebagai bagian di dalamnya, juga memiliki ketergantungan yang sama dan karenanya penelitian terkait kelautan sangat penting dilakukan.

“Samudera dapat diibaratkan semangkok bakso dimana kuah adalah kondisi kolom air, mie dan bakso adalah sumber daya hati, serta mangkok bakso adalah kondisi geologi Samudera Hindia. Kita harus memahami interaksi antara masing-masing komponen ini tidak lupa juga menyiapkan mitigasi bencana yang mungkin ditimbulkan seperti gempa bumi, cuaca ekstrem dan tsunami,” terang dia.

Sementara itu, Kepala P2O LIPI Dirhamsyah menjelaskan, program IIOE -2 ini merupakan komponen penting untuk layanan maritim, pengelolaan lingkungan, prediksi iklim dan ketahanan pangan dan energi. Berkaita dengan itu, P2O telah melakukan penelitian sejak 2015 dengan menggunakan kapal Riset K/R Baruna Jaya VIII dalam ekspedisi penelitian Widya Nusantara di Mentawai, Enggano dan Aceh.

 

Exit mobile version