Mongabay.co.id

Komitmen Lingkungan Para Cagub Sulsel Dipertanyakan. Kenapa?

Pemilihan Gubernur/Wakil Gubernur Sulawesi Selatan yang akan diselenggarakan 27 Juni 2018 mendatang diikuti oleh empat pasangan calon. Mereka antara lain Nurdin Halid–Azis Qahar Muzakkar, Agus Arifin Nu’mang–Tanribali Lamo, Nurdin Abdullah–Andi Sudirman Sulaiman dan Ichsan Yasin Limpo–Andi Mudzakkar.

Pada debat publik pertama yang diselenggarakan pada Rabu (28/3/2018) lalu mengangkat tema terkait pembangunan yang berwawasan lingkungan hidup dan berorientasi pada pemerataan ekonomi dan kesejahteraan rakyat.

Sejumlah aktivis lingkungan menilai sebagian besar isi debat tersebut justru tidak menyentuh masalah lingkungan. Bahkan komitmen lingkungan mereka dipertanyakan.

“Debat ini terlalu monoton, kaku, dan miskin perspektif, karena tema lingkungan hidup yang diangkat hanya sebagai kulit tanpa substansi. Agak lucu, ada pertanyaan tentang lingkungan, tetapi jawabannya justru bukan masalah lingkungan, tetapi justru masalah birokrasi,” ungkap Mustam Arif, Direktur Jurnalis Peduli Lingkungan Sulawesi (Jurnal Celebes), Kamis (29/3/2018).

baca : Suram, Potret Lingkungan Hidup 2017 di Sulsel

 

Debat pertama Pilgub Sulsel pada Rabu (28/3/2018) menggusung tema lingkungan hidup. Dalam paparannya keempat calon Gubernur/Wakil Gubernur dinilai belum menyinggung isu lingkungan hidup secara subtantif. Foto: Wahyu Chandra/Mongbaya Indonesia

 

Menurutnya, banyak masalah lingkungan hidup yang terkait dengan peran pemerintah daerah, namun justru tidak muncul dalam materi debat. Dicontohkan pada kasus reklamasi, inkonsistensi tata ruang, inkonsistensi regulasi terkait lingkungan, minimnya ruang terbuka hijau, tergerusnya keragaman hayati, dan capaian minim program pemerintah untuk perhutanan sosial di Sulsel.

“Mestinya ini dielaborasi menjadi topik debat, agar publik dapat menilai sejauh mana program-program calon gubernur ini bisa memberikan harapan dan menjawab ekspektasi publik,” tambah Mustam.

Kritikan yang sama juga disampaikan Asmar Exwar, Direktur Eksekutif Walhi Sulsel. Menurutnya, para calon tidak jeli mengaitkan antara visi misi mereka ke depan dan bagaimana mereka akan memainkan peran dalam menjaga kelestarian lingkungan serta menjamin keberlanjutan sumber daya alam kita yang terbatas.

Masyarakat dianggap perlu mendengar komitmen dan rencana-rencana para calon bagaimana mereka dapat memastikan kebijakan mereka akan lebih pro kepada masyarakat melalui tata kelola pemerintahan yang baik serta mewujudkan pengelolaan lingkungan yang lestari.

“Bagaimana para calon memastikan bahwa pengelolaan sumber daya alam lebih diarahkan untuk menopang terwujudnya kesejahteraan masyarakat Sulsel, bukan hanya untuk para pemodal atau investor,” ujarnya.

Terkait kebijakan pengelolaan hutan, agenda perhutanan sosial dan reforma agraria, pengelolaan sumber daya mineral atau pengelolaan wilayah pesisir dinilai Asmar juga tidak keluar secara spesifik dari debat.

baca : Terjadi Ketimpangan Struktur Agraria di Sulsel, Ini Tuntutan Aliansi Masyarakat Sipil

 

Hutan memiliki peran penting bagi masyarakat adat Kaluppini di Kecamatan Enrekang, Kabupaten Enrekang, Sulawesi Selatan sebagai ruang spiritual. Sejumlah hutan dikeramatkan karena memiliki beragam situs-situs penting, yang juga menjadi wilayah aktivitas bagi sejumlah aktivitas ritual adat dan keagamaan. Keberadaan sawit dikhawatirkan akan mengancam keberadaan situs-situs ini. Foto: Wahyu Chandra/Mongabay Indonesia

 

Pemaparan dan materi yang disampaikan para calon dinilai kurang menyentuh persoalan-persoalan lingkungan dan pengelolaan SDA yang aktual dan mendasar di Sulsel. Kebijakan pembangunan dan kelonggaran izin investasi telah banyak yang memberikan dampak negatif bagi lingkungan dan masyarakat.

“Bagaimana visi misi para calon menghadapi persoalan ini dan mencari jalan keluar penyelesaian permasalahan lingkungan atau konflik pengelolaan sumber daya alam, hal ini belum tereksplorasi lebih dalam,” tambahnya.

 

Visi Misi Maritim

Menurut Yusran Nurdin Massa, peneliti dari Blue Forest, pemimpin Sulsel ke depan haruslah mengerti laut serta paham dan punya visi kemaritiman. Ini adalah keniscayaan mengingat 75% wilayahnya merupakan pesisir dan laut.

Total 18 dari 24 kabupaten/kota di Sulsel adalah kabupaten pesisir. Diapit oleh Selat Makassar, Teluk Bone dan Laut Flores yang dikenal kaya akan sumber daya perikanan dan biodiversitas tinggi. 313 pulau tersebar di perairan ini.

“Ini jika dioptimalkan tata kelolanya, bisa mendorong kemandirian lokal dan kesejahteraan masyarakat,” katanya.

baca : ASP Menolak Raperda Zonasi Pesisir Sulsel. Ada Apakah?

 

Beberapa tahun terakhir hasil tangkapan ikan nelayan di Pulau Barrang Caddi, salah satu pulau di Kota Makassar, Sulawesi Selatan mulai berkurang. Dalam sehari mereka kadang hanya bisa menangkap beberapa ekor ikan dan bahkan kadang tidak ada tangkapan sama sekali. Foto: Wahyu Chandra.

 

Kejayaan maritim Sulsel bisa dibangkitkan bila Gubernur mendatang memiliki solusi dan strategi mengentaskan isu-isu pesisir dan laut Sulsel, seperti isu reklamasi, penambangan pasir laut, rendahnya produktivitas perikanan serta ancaman kerusakan pesisir dan limbah.

Saat ini geliat reklamasi di Sulsel menguat, baik yang digerakkan oleh pemerintah maupun swasta. Sebagian besar kota-kota di Sulsel mendorong pengembangan wilayah ke kawasan pesisir dengan cara mereklamasi.

“Sebagian besar tentu belum punya alas legal mengingat ‘tata ruang laut’ melalui RZWP3K belum ditetapkan. Belum lagi dampaknya bagi nelayan kecil dan ekosistem pesisir. Pionirnya justru Pemprov Sulsel bekerja sama dengan Yasmin Group dan Ciputra untuk pengembangan Central Point of Indonesia (CPI) seluas 157 ha,” kata Yusran.

Proyek reklamasi ini akan berkembang pada lahan seluas 4.500 ha di Kota Makassar sebagaimana tertuang dalam RTRW Kota Makassar. Kota lainnya adalah Bantaeng, Bulukumba (dengan konsep Water Front City) dan Palopo.

“Mirisnya karena sebagian besar bukan diperuntukkan bagi lahan publik tapi privat, jasa dan perdagangan. Bagaimana sikap balon Gubernur terkait ini, belum jelas terlihat.”

baca : Kontroversi di Balik Reklamasi Pantai Makassar, Antara Kepentingan Rakyat dan Pengembang

 

Pembangunan CPI, Makassar, Sulsel yang terus digugat Walhi karena dinilai tidak memiliki payung hukum yang jelas. Perda tentang Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (RZWP3K) sebagai perencanaan pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil belum ada, sementara AMDAL yang masih berupa addendum. Foto: Wahyu Chandra/Mongabay Indonesia

 

Isu lain adalah penambangan pasir, yang terkait erat dengan reklamasi. Reklamasi dalam hal ini membutuhkan material timbunan. Sementara material timbunan yang dianggap murah adalah pasir laut. Dua tahun terakhir terjadi polemik seputar tambang pasir laut di Takalar oleh 6 perusahaan. Aktivis menilai pemberian izin cacat hukum.

Masyarakat yang sebagian besar nelayan menolak dan melakukan aksi pengadangan. Ranperda RZWP3K mengakomodasi usaha ini dengan memberi ruang seluas 26.262,32 ha di 3 blok, yaitu blok Spermonde di sekitar perairan Takalar, Blok Laut Flores di perairan Jeneponto dan Bantaeng serta Blok Palopo di perairan Malangke dan Malangke Barat, Luwu Utara.

“Kajian mendalam tentang valuasi ekonomi, deposit dan dampak belum juga tuntas. Namun rencana sudah dibuat. Bicara dampak tentu sangat besar. Kita bisa melihatnya di Banyuwangi dan Banten yang sempat ditambang pasirnya. Ancaman abrasi, rusaknya ekosistem perairan dan menurunnya tangkapan nelayan misalnya,” jelas Yusran.

Menurutnya, perikanan Sulsel ditopang oleh keberadaan Wilayah Pengelolaan Perikanan (WPP) 713, yang meliputi Selat Makassar, Teluk Bone, Laut Flores dan Laut Bali. Potensi sumber daya ikan yang ada di WPP 713 hingga 929.700 ton per tahun.

Sektor budidaya jika didukung oleh sejumlah potensi lahan di 18 kota/kabupaten. Tentu ini potensi besar dan peluang ekspor produk perikanan melalui pintu Sulsel.

“Sayangnya potensi ini tidak ditopang oleh struktur armada yang memadai di mana masih didominasi oleh kapal berukuran kecil (< 5,5 GT).”

baca : Nurlina, Perjuangkan Kesamaan Hak bagi Perempuan Nelayan

 

Aktivitas pendaratan ikan di tempat pelelangan ikan Paotere, Makassar, Sulawesi Selatan. Kebijakan pemerintah pusat yang membatasi ruang dan alat tangkap dinilai berdampak pada lesunya sektor perikanan. Banyak pelaku industri perikanan yang terpaksa gulung tikar. Foto: Wahyu Chandra/Mongabay Indonesia

 

Perikanan budidaya juga mandeg akibat rendahnya produktivitas lahan akibat penyakit, daya dukung tambak rendah, biaya operasional tinggi, pasca panen rendah sampai permasalahan tata niaga yang belum menguntungkan petambak.

“Jika melirik kinerja ekspor perikanan Sulawesi Selatan dua tahun terakhir justru tidak pernah mencapai target yang ditetapkan. Ini juga seharusnya menjadi perhatian bagi para kontestan, bagaimana menyelesaikan berbagai problem ini.”

Terkait kerusakan pesisir, sampai sekarang Destructive Fishing Practice (DFP) masih marak terjadi. Tidak hanya di kawasan pemanfaatan atau zona penangkapan ikan, tapi juga di kawasan konservasi seperti TN Takabonerate, TWAL Kapoposang dan sejumlah KKPD di Sulsel.

“Perlu upaya mengintensifkan penanganan berbasis darat untuk memangkas suplai bahan baku DF dan juga penguatan sektor perikanan berkelanjutan bagi nelayan,” lanjut Yusran.

Pencemaran laut juga menjadi masalah besar. Limbah domestik maupun industri semuanya mengarah ke laut tanpa penanganan sebelumnya. Sebagai contoh, di Sulsel sedang banyak dibangun PLTU antara lain di Lampoko, Barru, Jeneponto, rencana di Ampekale, Maros dan lokasi lainnya. Semua diletakkan di pesisir.

“Kasus PLTU Jeneponto beberapa waktu lalu, dan laporan warga Desa Lampoko ke Gakum KLHK menunjukkan potensi ancaman pencemaran oleh PLTU ini.”

 

Exit mobile version