Mongabay.co.id

Digitalisasi Industri Akuakultur Mulai Diterapkan di Indonesia. Begini Ceritanya..

Transformasi industrialisasi akuakultur di Indonesia terus didorong mencapai sistem yang modern dan efisien. Dengan cara membuat inovasi sistem informasi berbasis digital yang berfungsi untuk menjamin konektivitas rantai sistem bisnis dalam industri akuakultur. Di Indonesia sekarang, teknologi berbasis digital belum dilakukan bersama.

Direktur Jenderal Perikanan Budidaya Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) Slamet Soebjakto menjelaskan transformasi itu dilaksanakan dengan mempertimbangkan orientasi pemanfaatan sumber daya alam (SDA) secara efisien, penciptaan nilai tambah dan produktivitas secara optimum.

Kemudian, mendorong keterampilan tenaga kerja melalui peningkatan kapasitas sumber daya manusia (SDM) terlatih, dan perlu juga upaya pembukaan akses pasar yang luas (hyperkoneksi), daya saing tinggi, dan efisiensi manajemen. Semua upaya transformasi itu, kata Slamet, saat ini banyak dilakukan oleh industri kecil yang baru tumbuh (start up).

“Banyak start up sekarang melakukan inovasi digital di bidang akuakultur,” tuturnya, pekan lalu di Jakarta.

baca : Menjawab Tantangan Pangan Global, Ini Teknologi Budidaya untuk Industri Akuakultur. Seperti Apa?

 

Proses pengolahan ikan menjadi produk ikan kaleng di salah satu industri pengalengan ikan di Banyuwangi. Foto: Petrus Riski/Mongabay Indonesia

 

Dalam menggerakkan semangat transformasi ke era digital, Slamet menyebutkan, KKP turut terlibat dalam melakukan modernisasi sistem informasi kegiatan akuakultur. Tujuannya untuk meningkatkan kualitas, ketepatan dan efisiensi waktu dalam setiap rantai bisnis akuakultur. Secara eksplisit, dia menyebut, digitalisasi akan menjadi jembatan modern bagi seluruh stakeholder perikanan budidaya.

“Dengan begitu akan terjamin konektivitas secara efisien diantara stakeholders. Dalam hal akses pasar, sistem ini akan mampu menjamin efisiensi rantai pasar, untuk kegiatan on farm akan lebih efisien waktu, tenaga dan proses,” paparnya.

Slamet mengatakan ada empat faktor transformasi menuju digitalisasi sistem informasi akuakultur yang harus diketahui oleh para stakeholder. Pertama, untuk mendorong peningkatan efesiensi dan daya saing bisnis akuakultur dengan fokus pada pengembangan komoditas unggulan.

Kedua, optimalisasi pemanfaatan potensi lahan budidaya berbasis daya dukung lingkungan. Ketiga, membangun rantai sistem produksi akuakultur dari hulu ke hilir secara menyeluruh. Dan terakhir, perlunya dilakukan integrasi kegiatan dan anggaran antara stakeholder terkait.

baca : Perikanan Indonesia Adopsi Teknologi Budidaya Canggih dari Norwegia, Seperti Apa?

 

Aktivitas pengolahan ikan di Pelabuhan Perikanan Sadeng, Gunung Kidul, Yogyakarta pada awal Desember 2015. Foto : Jay Fajar/Mongabay Indonesia

 

Inovasi Digital

Contoh inovasi digital yang sudah dilakukan dalam industri akuakultur adalah terciptanya Minapoli oleh seorang anak muda bernama Rully Setya Purnama. Inovasi tersebut berperan sebagai hub jaringan informasi dan bisnis perikanan. Menurut Rully, teknologi itu tujuan untuk memperluas dan memperkuat sekaligus sinergi jaringan industry perikanan.

Selain Minapoli, teknologi lain yang ikut meramaikan transformasi industri akuakultur di Indonesia, adalah E-fishery, Iwa-Ke, fisHby, Jala, InFishta dan Growpal. E-fishery adalah teknologi pintar yang berperan sebagai solusi pemberian pakan yang mudah dan efisien dan sekaligus mengintegrasikan pemberian pakan dengan metode continuous feeding untuk memenuhi pola makan udang yang terus menerus.

Kemudian, Iwa-Ke adalah start up aplikasi pemasaran beragam ikan seperti ikan nila merah, patin dan gurami. Adapun, sarana yang dipakai antara lain Go-Jek, Iwa-Ke Depot, dan mitra pembudidaya yang luasnya sudah mencapai lebih dari 60 hektare dan jaringan pembudidaya di berbagai provinsi.

Sementara, FisHby merupakan start up digital akuakultur untuk menggalang dana yang dibutuhkan pembudidaya kemudian menyalurkannya sesuai dengan perjanjian di awal. Kemudian, Jala adalah solusi bertambak udang yang menawarkan sistem manajemen terkini, dengan berbasis data, untuk membantu petambak untuk membuat keputusan manajemen yang tepat berdasarkan informasi aktual yang terjadi di tambak.

baca : Strategi Apa untuk Tingkatkan Produksi Perikanan Budidaya di 2018?

 

Tampilan laman minapoli, salah satu inovasi digital untuk hub jaringan informasi dan bisnis perikanan. KKP mendorong inovasi sistem informasi berbasis digital untuk industrialisasi akuakultur di Indonesia untuk menghubungkan rantai sistem bisnis dalam industri budidaya perikanan. Foto : laman minapoli/Mongabay Indonesia

 

Dalam hal investasi akuakultur, start up berbasis digital seperti InFishta membantu pencarian modal invertasi perikanan yang dapat berdampak sosial sehingga membantu pembudidaya ikan untuk mendapatkan sumber modal, sekaligus mendapatkan keuntungan. Kemudian, Growpal memberikan peluang untuk membuat perubahan secara sosial melalui penanaman investasi dengan keuntungan yang menjanjikan di sektor perikanan dan kelautan.

Koordinator Manajemen Program Digital Amoeba Telkom Fauzan Feisal mengatakan, untuk mendukung digitalisasi sektor-sektor ekonomi di Indonesia, salah satunya dimulai dari sektor agribisnis, Telkom memulai pembangunan jaringan kerja digitalisasi dengan industri perikanan budidaya. Upaya tersebut, bertujuan untuk mengangkat industri akuakultur menjadi lebih besar dan efisien.

Pemanfaatan teknologi digital sendiri, menurut Slamet Soebjakto, sudah diterapkan Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya (DJPB) seperti sistem perizinan online melalui aplikasi kegiatan usaha bisnis akuakultur (AKUBISA) yang meliputi izin pemasukan ikan hidup (SIAPIH), izin pengangkutan ikan hidup hasil budidaya (SIKPI), serta rekomendasi pembudidayaan ikan penanaman modal (RPIPM).

Kemudian, pemanfaatan teknologi informasi melalui inovasi teknologi untuk mendorong peningkatan produktivitas, efisiensi usaha perikanan budidaya dan meningkatan daya saing produksi melalui aplikasi pemanfaatan autofeeder, penerapan budidaya sistem bioflok, serta budidaya sistem keramba jaring apung (KJA) offshore yang berbasis pada teknologi digital.

baca : Sudah Saatnya Indonesia Fokus Bangun Sektor Perikanan Budidaya

 

Tampilan laman efishery, salah satu inovasi digital untuk pemberian pakan pada budidaya perikanan. KKP mendorong inovasi sistem informasi berbasis digital untuk industrialisasi akuakultur di Indonesia. Foto : laman efishery/Mongabay Indonesia

 

Teknologi

Slamet Soebjakto mengatakan, pada 2030 mendatang lembaga pangan dunia PBB (Food and Agriculture Organization/FAO) memprediksi kebutuhan dunia terhadap ikan akan meningkat hingga mencapai 172 juta ton. Dan sebanyak 58 persennya akan bergantung pada produk akuakultur. Jika prediksi dari hasil riset itu terbukti, maka Indonesia harus menyiapkan sedini mungkin dari sekarang.

Salah satu caranya, dengan menyiapkan strategi untuk mendorong suplai ikan konsumsi melalui penggunaan teknologi yang mengedepankan prinsip eko-efisiensi. Prinsip tersebut yakni mendorong produktivitas dengan mengandalkan input sumber daya yang efisien melalui penggunaan sumber daya air dan lahan.

Menurut Slamet, tantangan besar akuakultur saat ini adalah bagaimana meningkatkan produktivitas untuk suplai pangan, namun dengan penggunaan sumber air dan lahan yang lebih efisien. Penggunaan air tanah yang berlebihan, akan mengancam ketersediaan air dan menimbulkan konflik di kemudian hari. Oleh itu, usaha budidaya ikan yang dilakukan di darat akan didorong dengan memanfaatkan sumberdaya air terbatas.

“Atau bahkan dengan teknologi kita bisa tekan tanpa ada pergantian air sama sekali. Dalam akuakultur ini sangat mungkin dan telah dibuktikan,” jelasnya.

 

Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti didampingi Dirjen Perikanan Budidaya KKP Slamet Soebjakto melihat lokasi percontohan untuk teknologi resirculating aquaculture system (RAS) di desa wisata Bokasen, Cangkringan, Kabupaten Sleman, Yogyakarta pada awal Maret 2018. Foto : Foto: DJPB KKP/Mongabay Indonesia

 

Salah satu teknologi yang bisa menjawab tantangan saat ini, adalah Resirculating Aquaculture System (RAS). Teknologi tersebut sudah diterapkan dan membuahkan hasil yang bagus dalam industri perikanan budidaya. Selain RAS, teknologi lainnya yang dikembangkan adalah biofiltration system, budidaya lele sistem bioflok, dan penerapan sistem resirkulasi tertutup (closed recirculation system).

“Penerapan sistem RAS telah terbukti mampu mengefesiensikan penggunaan air hingga lebih 80 persen, namun menghasilkan output produktivitas ikan hingga 100 kali lipat dibanding sistem konvensional,” jelas Slamet.

baca : Apa Itu Teknologi RAS untuk Perikanan Budidaya?

Sementara, teknologi biofiltration system, saat ini juga mulai diterapkan di Indonesia. Teknologi tersebut, adalah pemanfaatan sistem filtrasi yang efektif dan akan menghasilkan kualitas air yang stabil dan memicu penggunaan air yang efisien bahkan bisa ditekan dengan tanpa dilakukan pergantian air.

Tak cukup dua teknologi tersebut, Slamet menambahkan, saat ini penerapan budidaya intensif lele dengan sistem bioflok juga telah dikenal luas di masyarakat. Penggunaan teknologi bioflok, juga mampu menghemat penggunaan air hingga lebih 80 persen, sementara outuput limbah budidaya dapat dimanfaatkan untuk menghasilkan nilai tambah yakni diintegrasikan dengan sistem aquaponik.

“Sistem ini juga mampu menggenjot produktivitas ikan hingga 10 kali lipat dibanding konvensional,” sebutnya.

baca : Seperti Apa Peran Teknologi Bioflok untuk Ketahanan Pangan Nasional?

 

Budidaya lele dengan menggunakan teknologi system bioflok yang sedang digalakkan oleh Dirjen Perikanan Budidaya KKP. Teknologi bioflok ini diyakin dapat meningkatkan produksi lele sampai tiga kali lipat. Foto : DJPB KKP/Mongabay Indonesia

 

Terakhir, Slamet menerangkan, teknologi yang sedang dikembangkan adalah sistem resirkulasi tertutup yang diterapkan pada budidaya di tambak. Teknologi tersebut, juga mampu menekan penggunaan air semaksimal mungkin, khususnya penggunaan air tawar.

Semua teknologi tersebut menjadi upaya menghadapi tantangan global ke depan, khususnya berkaitan dengan pemenuhan kebutuhan pangan di tengah krisis ekologi, utamanya keterbatasan sumber daya air. Ke depan, dia berharap paradigma pengelolaan akuakultur bisa lebih bijak dalam berfikir.

“Bahwa alam memiliki keterbatasan optimum dalam mendukung kehidupan, sehingga pengelolaan harus dilakukan secara bertanggungjawab,” tandasnya.

Slamet menambahkan, dari ulasan beberapa pakar di dunia, diketahui kalau pengembangan akuakultur akan memicu konflik berkaitan dengan pemanfaatan sumber daya air. Tetapi, jika digunakan teknologi yang tepat seperti dijabarkan di atas, pernyataan para pakar tersebut dapat dihindari.

“Melalui penerapan inovasi teknologi dan penerapan produksi bersih dalam proses budidaya, maka tantangan besar terkait krisis air dan ketahanan pangan mampu dihadapi dengan baik,” sebut dia.

 

Exit mobile version