Mongabay.co.id

Hutan Leuser yang Selalu di Hati Salman Panuri

Hutan Leuser pernah menjadi rumah saya, bertahun-tahun. Saya dan teman-teman pernah menjadikannya sebagai tempat menyelamatkan diri. Saya akan terus menjaga Leuser dan isinya, meski nyawa taruhannya.

Salman Panuri atau biasa dipanggil Ucil, mengungkapkan perasaannya itu April 2017 silam, di pinggir Sungai Alas, Desa Ketambe, Kecamatan Ketambe, Kabupaten Aceh Tenggara, Aceh. Waktu itu, dia masuk ke Stasiun Riset Ketambe yang berada di Taman Nasional Gunung Leuser untuk mendampingi teman-temannya mengikuti pelatihan Smart Patrol atau patroli pintar.

Lelaki yang lahir di Takengon, Kabupaten Aceh Tengah, Aceh, 1982 ini, memang sudah terbiasa menjelajah Leuser. Sebelum bergabung sebagai Ranger atau penjaga hutan di Forum Konservasi Leuser (FKL), Ucil merupakan salah satu komandan pasukan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) di Kabupaten Aceh Tenggara. Di hutan, Ucil dan pasukannya sering berpindah tempat mulai dari Gayo Lues, Aceh Selatan, hingga beberapa kabupaten lain.

Setelah perjanjian damai antara Republik Indonesia dengan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) ditandatangani di Helsinki, Finlandia pada 15 Agustus 2005, Ucil dan ribuan tentara GAM turun gunung. Berusaha hidup normal, sebagaimana masyarakat umumnya. Mereka bekerja apa saja. Ada yang menjadi politikus, pekerja LSM, pedagang, dan lainnya.

Namun, Ucil bersama beberapa mantan pasukannya memilih pekerjaan berbeda. Mereka tidak bisa meninggalkan Leuser begitu saja. Mereka memilih menjadi tim patroli, menjaga hutan Leuser agar tidak dirambah dan satwa-satwa yang dilindungi tetap aman.

“Setelah perjanjian damai, saya bergabung menjadi Ranger. Saya memilih berpatroli menjaga Leuser dan membersihkan jerat satwa yang dipasang pemburu,” ujar ayah tiga anak itu.

Baca: Ranger, Ujung Tombak Penyelamat Hutan dan Satwa Liar di Leuser

 

Salman Panuri atau Ucil dalam kenangan. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

Saban bulan, Ucil yang tingal di Desa Kutabatu, Kecamatan Lawe Alas, Kabupaten Aceh Tenggara, bersama tim Ranger berpatroli. Dia bersama rekannya juga mencatat semua kegiatan ilegal yang didapat, untuk kemudian diserahkan ke penegak hukum atau lembaga terkait.

“Setiap bulan, kami berpatroli 15 hari. Seru di hutan,” ujar Ucil yang sesekali mengeluarkan candaannya.

Ucil bersama empat Ranger lain, berjalan menyusuri hutan Leuser sejauh 40-60 kilometer. Secara keseluruhan, sebanyak 23 tim Ranger FKL pada 2017 telah melakukan 239 kali patroli. Jumlah harinya mencapai 3.285 hari dengan jarak tempuh perjalanan 13.413,69 kilometer.

“Ranger menemukan 1.894 temuan gangguan satwa dan 729 kasus perburuan. Tim juga menyita 814 unit jerat, menghancurkan 191 kamp liar, dan menghalau 65 pemburu,” ungkap Ibnu Hasyim, Manager Database Forum Konservasi Leuser (FKL).

Menurut Ibnu, Ucil atau Salman Panuri membantu tim Kompas Tiga, Dia diminta    ke tim tersebut karena baru dibentuk April 2017. Ucil berpatroli di dalam Taman Nasional Gunung Leuser bersama empat personil Ranger lain.

“Dari April sampai Desember 2017, tim Kompas Tiga telah menyusuri hutan Leuser sepanjang 455 kilometer atau berpatroli selama 1.044 jam. Ada 77 aktivitas ilegal ditemukan,” sebut Ibnu, Sabtu (19/5/2018).

Baca: Mereka Tidak Pernah Menyerah Menjaga Hutan Leuser

 

Ranger merupakan ujung tombak penjaga kelestarian dan penyelamat satwa liar di hutan Leuser. Profesi yang membuat Ucil bangga. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

Maut menjemput

Bagi Ucil, hutan Leuser adalah segalanya. Dia bersedia mempertaruhkan nyawa untuk menjaga paru-paru dunia ini tidak lagi dirusak oleh orang-orang tidak bertanggung jawab.

“Sampai mati saya akan menjaga hutan ini, warisan yang harus saya jaga. Leuser juga menjadi tempat berlindung saat saya bergabung menjadi GAM,” jelasnya lagi.

Perkataan Ucil untuk menjaga Leuser meski nyawa taruhannya, dibuktikan pada 10 Mei 2018. Saat berpatroli di TNGL, Ucil terseret arus Sungai Bengkung, yang berhulu ke Sungai Alas, sejauh tujuh kilometer. Jenazahnya baru ditemukan pada 15 Mei 2018.

Baca: Mukhtar, Bukan Ranger Biasa

 

Jerat yang dipasang pemburu adalah ancaman utama yang seringkali ditemukan para Ranger. Dalam sebulan, Ranger akan patroli di Leuser selama 15 hari. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

FKL dalam pernyataan tertulis mengatakan,   Salman Panuri merupakan salah satu Ranger terbaik, berani, cerdas, dan berdedikasi tinggi. FKL sangat kehilangan atas musibah ini.

“Salman Panuri hanyut saat menyeberangi Sungai Bengkung. Saat menyeberang, airnya deras. Tim Ranger sudah mencari tiga hari, tapi tidak ketemu. Empat rekan Salman, kemudian meminta FKL membentuk tim pencari,” terang Field Manager FKL di Aceh Tenggara, Faisal.

Faisal mengatakan, pada 13 Mei 2018, FKL dan Balai Besar Taman Nasional Gunung Leuser (BBTNGL) langsung membentuk tim pencari, menuju lokasi kejadian di Lawe (sungai) Bengkung. Sekaligus menjemput empat Ranger yang selamat.

“Pada 14 Mei 2018, FKL berkoordinasi dengan Basarnas dan pihak kepolisian untuk membentuk tim pencari yang akan bergerak dari Kutacane, Aceh Tenggara.   Jenazah Salman ditemukan pada 15 Mei 2018,” jelasnya.

Baca juga: Ranger Purba yang Tetap Semangat Menjaga Hutan Aceh Jaya

 

Tampak kerangka gajah sumatera yang mati akibat terkena jerat pemburu. Tanpa lelah, Ranger akan membersihkan seluruh jerat yang bertebaran itu. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

Kehilangan

Direktur FKL, Rudi Putra sangat kehilangan salah satu Ranger terbaik, yang pernah bekerja bersamanya. Meski berbadan kecil, namun Ucil sangat gesit menjelajah hutan. Tidak kenal takut, bahkan bersedia patroli meski bekal tidak cukup.

“Ucil bergabung dengan Ranger setelah perjanjian damai di Aceh, dia telah berjalan ribuan kilometer untuk menjaga Leuser,” kenang Rudi Putra.

Rudi menyimpan kenangan tidak terlupakan pada Ucil, pada 2007, ketika dana untuk patroli Leuser tidak memadai. Sementara informasi yang diterima, menunjukkan kegiatan ilegal khususnya perburuan satwa marak.

“Saya meminta Ucil patroli. Tanpa membantah, dia menjalankan tugasnya,” terangnya.

 

Bukan pekerjaan mudah menjadi Ranger yang harus keluar masuk hutan dengan kondisi medan yang menantang. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

Kesetiaan Ucil terhadap kelestarian hutan Leuser sungguh tiada banding. Dia menjalankan itu semua dengan ceria, tanpa membantah apalagi membuat masalah. Saat berkumpul, banyak cerita lucu yang disampaikan sehingga mengundang gelak tawa. Dia pejuang tangguh.

“Pilihanmu kembali menjaga Leuser adalah takdir bagi jasadmu agar bersemayam di bumi Leuser, bumi yang kau jaga. Belasan tahun kau jaga, dan nafas terakhirmu kau hembuskan di air dari hutan yang kau lindungi. Jasadmu kaku, tapi jiwamu tidak akan pernah berhenti tersenyum. Hingga akhir hayatmu, engkau masih menjaga air yang kami minum, udara bersih yang kami hirup. Selamat jalan kawan. Kami yakin Tuhan akan membalas jasamu sebagai seorang syahid. Engkau gugur untuk melindungi Leuser, demi melindungi bangsamu,” tambah Rudi melalui tulisannya.

 

Menjadi Ranger adalah pilihan hidup membanggakan untuk menjaga kelestarian hutan demi masa depan. Salman Panuri (Ucil) membuktikan dedikasinya menjaga Leuser meski ajal menjemputnya. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

Kehilangan sosok Ucil yang bekerja melindungi hutan Leuser juga dirasakan oleh Balai Besar Taman Nasional Gunung Leuser (BBTNGL). Kabid Teknis BBTNGL, Adhi Nurul Hadi mengaku sangat kehilangan sosok yang menjaga hutan Leuser dengan sepenuh hati. Duka cita kepergian Ucil saat menjalankan tugas menjaga Leuser juga disampaikan oleh Dirjen KSDAE Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.

“Kami kehilangan orang yang sepenuh hati bekerja di lapangan. Ucil itu Ranger FKL, tapi kerjanya sangat membantu kami di BBTGNL,” tandas Adhi.

Selamat jalan, kawan!

 

 

Exit mobile version