Mongabay.co.id

Pengunjung Kawasan Konservasi, Jadi Penyelamat Sekaligus Perusak. Bagaimana Mengaturnya?

Perilaku pengunjung dan pengawasan dinilai jadi masalah serius dalam pengelolaan kawasan konservasi, di darat maupun laut. Apa yang harus dilakukan pengunjung untuk memastikan tak merusak sekaligus ikut terlibat mengawasi?

Sejumlah anak muda dan pengelola kawasan mendiskusikan bagaimana mengampanyekan perilaku dan etika jalan-jalan di alam pada diskusi bertajuk Praktik Cerdas Wisata yang dilaksanakan komunitas Marine Buddies dan WWF di Denpasar, Bali pada pertengahan Mei lalu.

Taman Nasional Bali Barat (TNBB) mendapat penghargaan ‘Best Top 100 Destination’ dalam ajang pameran wisata Internationale Tourismus Borse (ITB) Berlin di Jerman pada Maret lalu. Dalam kategori Best of the Planet – Asia Pacific 2018, bersama Pegunungan Pamirs di Tajikistan.

baca : Bukan Penebangan Liar, Sampah Ternyata Jadi Masalah Berat di TN Bali Barat

 

Kawanan rusa beristirahat dalam kawasan Taman Nasional Bali Barat (TNBB) dan sangat mudah dijumpai. Foto: Luh De Suriyani/Mongabay Indonesia

 

Putu Gede Arya Kusdyana, Bagian Konservasi, Pemanfaatan, dan Kerjasama TNBB menyebut masalah menonjol adalah sampah pengunjung dan sampah dari laut. Kalau sampah rumah tangga bisa didampingi, tapi kalau dari laut sulit dikendalikan. Walau bukan taman nasional laut, dalam kawasan TNBB ada potensi panorama laut yang ramai dikunjungi untuk snorkeling dan diving. Selain pengendalian sampah, juga hama terumbu karang seperti mahkota berduri.

Jumlah sampah di TNBB pada 2017 mencapai sekitar 11 ton. Sementara sampai Mei 2018 sudah mencapai 7 ton. Paling banyak sampah dari laut.

Video-video dan foto viral soal akumulasi sampah di laut di perairan Bali makin banyak. Terutama ketika musim angin mengarah ke daratan. Membuat pengelola kawasan kelimpungan. Terakhir ada video yang viral dari sejumlah Pari Manta berenang di antara sampah anorganik di Manta Point, Nusa Penida.

Nyoman Karyawan, Kepala UPT Kawasan Konservasi Perairan (KKP) Daerah Nusa Penida menyebut sampah di Manta Point kalau musim hujan terlihat terakumulasi, juga perairan sekitar lainnya. Setelah video sampah tersebar, keesokan harinya sejumlah pihak langsung ke lokasi dan sampah sudah tak terlihat.

baca : Ini Hasil Pemantauan Sampah Plastik di Nusa Penida Setelah Viral Video Penyelam Inggris

 

Sedikitnya 9,1 ton sampah anorganik terangkut dari kawasan TNBB selama hampir 5 bulan sampai Juni lalu. Foto: Arsip TNBB/Mongabay Indonesia

 

Sejumlah pelanggaran yang pernah terjadi oleh turis misalnya pengambilan karang, vandalism mencoret karang, pengeboman ikan dengan potasium sehingga banyak karang mati, dan perilaku wisata sembarangan seperti menaiki pari manta naik bak cowboy.

Ia berharap ada penelitian soal daya dukung KKP Nusa Penida karena destinasi wisata tak tersebar merata dan berisiko jika terlalu padat hanya di satu titik. “Belum ada aturan daya dukungnya. Kami sudah menjalin kerjasama dengan pengusaha untuk buat kesepakatan kalau satu titik terlalu padat akan bermasalah,” ujarnya.

Misalnya saja, turis Cina saat wisata air snorkeling, banana boat, dan lainnya dalam satu ponton bisa 1000 orang. Bayangkan jika ada beberapa kapal di satu titik dalam waktu bersamaan. Salah satu kesepakatan adalah kapal akan jaga jarak. Siapa duluan tiba, dia turun. Mooring buoy untuk parkir boat juga terbatas jadi harus menunggu boat keluar dari parkir.

Saat musim sepi (low season) jumlah pengunjung ke KKP Nusa Penida disebut antara 7000-10 ribu orang sementara jika musim ramai (high season) bisa dua kali lipat lebih banyak. “Bayangkan crowded-nya jika numpuk di satu titik perairan,” urai pria yang bekerja sejak 2015 ini.

baca : Banyak Kecelakaan Wisata Laut di Nusa Penida Bali. Ada Apa?

 

Sampah di tepi pantai TN Bali Barat. Sampah dari laut umumnya terbawa oleh arus laut. Foto: Luh De Suriyani/ Mongabay Indonesia

 

Saat ini kewenangan pengelolaan pesisir dikembalikan ke provinsi dari kabupaten, sedang proses penghitungan daya dukung agar ada sanksi jika ada pelanggaran. Dalam model ekowisata pun jika ada peningkatan turis, menurut Karyawan, pasti berdampak pada kerusakan. Tiap operator diwajibkan mengikuti kode perilaku saat menyelam atau berinteraksi dengan manta dan mola-mola, dua satwa laut yang menjadi ikon perairan Nusa Penida. Saat ini menurutnya, kapal-kapal sering membawa kantong plastik untuk mengambil sampah di laut jika bisa ditampung.

Ada dua ritual yang dinilai berdampak pada pemulihan ekosistem laut di KKP Nusa Penida. Pertama, Nyepi Segara adalah merehatkan laut sekitar dari aktivitas perairan hanya di sekitar Nusa Penida, Kabupaten Klungkung. Kedua, Hari Raya Nyepi pergantian tahun Saka dalam Hindu, seluruh kegiatan juga berhenti selama 24 jam di darat, laut, dan udara. Ini untuk keseluruhan di Bali.

baca : Nyepi Segara, Ketika Laut Rehat di Bali

 

Sebuah jukung nelayan ditambatkan di karang saat Nyepi Segara. Foto Luh De Suriyani/Mongabay Indonesia

 

Aturan Perilaku

Dwi Aryo Tjiptohandono WWF-Indonesia Marine and Fishery Campaign Coordinator mengingat salah satu perintis usaha wisata selam di Raja Ampat, Papua, Max Ammer membuat destinasi ini makin ramai. Namun pengunjung yang dia bawa harus ikut kaidah. “Bagaimana memastikan dibukanya banyak trip ke kawasan tak berdampak pada ekosistem?” tanyanya.

Pertama, pastikan ada pengelolanya, misalnya balai/UPT dari Pemda. Kemudian ada aturan perilaku (code of conduct), dan pengawasan dari publik termasuk ke kawasan terpencil. “Kita minta traveller isi peringatan dan pesan konservasi jika berbagi foto. Sensitivitas muncul dalam informasi. Karena wisatawan punya dua sisi, penyelamat dan perusak,” sebut Dwi.

Menurutnya baru 10-15% KKP dari 19 juta hektar di Indonesia yang dikelola baik. Minimal saat masuk kawasan ada pengelola dan informasi. Yang tak dikelola tanpa pengawasan bisa disebut kawasan konsevasi di atas kertas. Tanpa pengelolaan dan pengawasan, risiko kerusakan makin tinggi.

WWF-Indonesia membuat aplikasi Marine Buddies sebagai alat membuat penilaian dan pengawasan apa yang dilihatnya dalam kawasan konservasi. Ratih, relawan muda WWF membagi pengalamannya saat masuk TNBB dan ingin memberi penilaian di aplikasi Marine Buddies, tapi tak bisa digunakan karena tak ada sinyal. Rheva, pengguna aplikasi lainnya menilai pemanfaatakan aplikasi ini bisa lebih efektif saat kunjungan bersama. Jika salah satu tak dapat sinyal internet bisa sharing koneksi.

baca : Jadilah Teman Taman Laut dari Sekarang

 

Aplikasi android Marine Buddies yang dibuat oleh WWF-Indonesia untuk penilaian dan pengawasan sebuah kawasan konservasi laut. Tetapi aplikasi tersebut mempunyai kelemahan bakal tidak berfungsi bila tidak ada sinyal telepon. Foto: Luh De Suriyani/Mongabay Indonesia

 

Dwi mengakui tantangan aplikasi ini adalah koneksi atau sinyal internet di dalam kawasan. Pihaknya sedang membuat update mengatasi situasi ini. Pengguna memang hanya bisa memberi penilaian saat geo location on dalam kawasan. Kalau sudah di luar kawasan, pengguna aplikasi tak bisa lagi memberi penilaian dan pelaporan. Tujuannya menghindari laporan palsu dan menjatuhkan kawasan.

Hingga 2016 ada 165 KKP dan menurutnya harus ada yang mengawasi. Aplikasi berbasis lokasi ini merekap penilaian dan akan diteruskan ke otoritas.

Diskusi ini merangkum wisata bahari yang bertanggungjawab paling mendasar adalah tak buang sampah sembarangan, take nothing but pictures, dan tak pegang, sentuh, injak terumbu karang. Kemudian berani larang atau menegur pihak lain yang melakukan, dan menggunakan akomodasi ramah lingkungan.

baca : Miris.. Perusakan Karang Akibat Ponton Kapal Wisata di KKP Nusa Penida

 

Salah satu kapal wisata yang ada di Nusa Lembongan, Klungkung, Bali. Nusa Lembongan merupakan salah satu destinasi wisata di selatan Pulau Bali. Foto : Anton Wisuda/Mongabay Indonesia

 

Best Environmental Equitable Practices (BEEP) atau Seri Panduan Praktis Operasional Kapal Rekreasi yang Bertanggung Jawab disusun oleh tim Program Pariwisata Bahari yang Bertanggung Jawab (Responsible Marine Tourism Program) WWF-Indonesia, didukung Jaringan Kapal Rekreasi Indonesia (JANGKAR) dan akademisi.

Disebutkan berwisata dengan kapal rekreasi atau liveaboard seringkali menyasar untuk bepergian ke daerah-daerah yang masih terpencil, terproteksi, jauh dari pantauan pemerintah, minim fasilitas dan infrastruktur. Secara ekologis, lokasi yang dituju biasanya penting bagi satwa maupun ekosistem tertentu.

Tata kelola wisata kapal rekreasi yang baik tak hanya penting untuk memastikan keselamatan kegiatan wisata itu sendiri, tetapi juga untuk menjaga kelestarian dan keasrian daerah tujuan. Berwisata dengan kapal rekreasi berarti memindahkan segala jenis kegiatan wisata yang biasa dilakukan di darat menjadi di atas air.

Berbagai masalah sering timbul dan dalam pengoperasian kapal rekreasi ini, dan membawa dampak pada ekosistem sekitar. Menurut data Sustainable Travel Internasional tahun 2010, dalam konteks transportasi laut untuk tujuan rekreasi, sejumlah penelitian menunjukkan dampak lingkungan.

baca : Ekowisata, Bentuk Upaya Pelibatan Warga Untuk Jaga Kawasan TN Bali Barat

 

Kapal berjejer di pantai Nusa Lembongan, Klungkung, Bali. Foto : Wisuda/Mongabay Indonesia

Misalnya, polusi akibat sisa minyak mesin, sampah yang diproduksi oleh kru atau penumpang kapal, limbah air yang bersumber dari penggunaan di kapal dan mengandung detergen, serta polusi udara akibat suara mesin.

Sejumlah praktik baik yang dianjurkan panduan ini adalah sediakan tempat pembuangan sampah yang cukup untuk sampah Bahan Berbahaya dan Beracun (B3), organik, dan non organik secara terpisah sehingga memungkinan untuk disimpan hingga kapal kembali ke pelabuhan. Kelola limbah di kapal dengan baik.

 

Exit mobile version