Mongabay.co.id

Begini Dedikasi Noel Janetski untuk Rehabilitasi Terumbu Karang Pulau Badi

Namanya Noel Janetski. Umurnya 66 tahun. Meski telah berusia lanjut, secara fisik ia terlihat kuat dan lebih muda dari usianya. Hampir setiap minggu ia punya aktivitas rutin diving beberapa jam, sebagai bagian dari aktivitasnya sebagai Direktur Marine Sustainability Program Mars Indonesia.

Di sebuah Café di Makassar, sore itu, Selasa (22/5/2018), Noel bercerita tentang aktivitas dan kegairahannya terhadap rehabilitasi terumbu karang, serta harapannya terhadap keberlanjutan ekosistem laut dan pesisir, khususnya di Indonesia.

Dengan Bahasa Indonesia yang lancar, pria kelahiran Australia ini menceritakan keterlibatannya dalam rehabilitasi terumbu karang. Bermula ketika pada 2006, ia ditugaskan oleh Frank Mars, salah satu pemilik Mars Incorporated, sebuah perusahaan dari AS, untuk membuat sebuah program rehabilitasi terumbu karang di Indonesia. Saat itu ia masih menjabat sebagai Presiden Direktur Mars Indonesia.

“Ini bermula dari dorongan keluarga Mars. Mereka tidak ingin perusahaan hanya sekedar berpikir tentang keuntungan saja namun juga tentang masa depan, bukan hanya 5-10 tahun ke depan. Bagaimana generasi ke depan,” ungkap Noel.

baca : Begini Pesan Penyelamatan Terumbu Karang dalam HUT ke-72 RI di Pulau Samalona

 

Sebagian besar aktivitas Noel Janetski (66) didedikasikan untuk rehabilitasi terumbu karang di Pulau Bontosua Kabupaten Pangkep, Sulawesi Selatan. Hampir setiap minggu diving melakukan pengawasan program rehabilitas terumbu karang yang pelaksanaannya dimulai sejak tahun lalu di Pulau Bontosua. Foto: Wahyu Chandra/Mongabay Indonesia.

 

Menurutnya, selama ini berbagai program keberlanjutan lebih banyak dilaksanakan di darat, seperti di bidang pertanian, karena gampang dilihat. Beda dengan laut. Padahal laut juga penting, di mana 70 persen oksigen diproduksi di sana.

“Dunia ini tergantung pada kondisi laut,” tambahnya.

Dari tahun 2006, berbagai upaya dilakukan untuk mendukung pelaksanaan program ini, termasuk menyelenggarakan seminar yang mengundang ahli-ahli kelautan dari berbagai negara. Tujuannya merumuskan solusi terbaik yang bisa mereka tawarkan dalam perbaikan ekosistem laut di Indonesia.

Marine Sustainability Program pun ditawarkan dengan sasaran awal perbaikan ekonomi masyarakat di wilayah sasaran program, yaitu di Pulau Badi, Kabupaten Pangkep. Seiring dengan waktu, program rehabilitasi terumbu karang mulai didorong sebagai program utama.

Ketika pensiun di tahun 2012, ia memutuskan untuk tetap melanjutkan aktivitasnya dalam Marine Sustainability Program ini, dan malah semakin fokus.

baca : Kelompok Ini Sukses Tumbuhkan Kembali Terumbu Karang. Bagaimana Ceritanya?

 

Program rehabilitasi terumbu karang di Pulau Bontosua dilakukan dengan melibatkan partisipasi masyarakat dengan harapan mereka akan ikut menjaga. Di pulau ini nantinya akan ditanam puluhan ribu bibit karang yang diikat dalam media yang disebut spider berjumlah sekitar 13 ribu spider. Foto: Foto: Wahyu Chandra/Mongabay Indonesia

 

Pilihan untuk tetap bertahan dalam program rehabilitasi ini diakuinya didasari oleh sebuah idealisme tersendiri. Tidak sekedar untuk tetap bekerja di lingkup perusahaan, tetapi keinginan untuk memberi pengabdian kepada masyarakat.

“Kalau umur segini seharusnya bisa istirahat, tetapi kalau saya kembali ke Australia bikin apa di sana? Tidak ada kemungkinan saya bisa memberi dampak terhadap masalah-masalah di sekitar saya. Di Indonesia, saya merasa masih bisa berperan dan membawa dampak terhadap masalah-masalah generasi mendatang, walaupun tidak gampang. Kalau bukan saya siapa lagi, kalau bukan sekarang, kapan lagi?”

Noel juga merasa dalam pengabdiannya untuk masyarakat ini memberinya kepuasan tersendiri.

“Ketika melihat petani kakao atau nelayan di pulau terberdayakan dan menjadi jauh lebih baik, ada kepuasan tersendiri bagi saya,” katanya.

Upaya yang dilakukan Noel tidak sia-sia. Meski melalui proses panjang, trial and error berbagai metode rehabilitasi dilakukan, timnya kemudian berhasil mengembangkan metode yang disebut spider atau rangka laba-laba.

Metode ini secara luas digunakan di Pulau Badi di lahan seluas 2 hektar menggunakan 11 ribu spider, yang kemudian dilanjutkan di Pulau Bontosua dengan skala yang lebih luas, dengan 13 ribu spider.

“Mungkin ini termasuk program rehabilitasi terumbu karang terbesar yang pernah dilakukan,” katanya.

Metode spider ini terbukti efektif sebagai media tanam terumbu karang. Hasilnya sudah bisa dilihat dalam beberapa tahun.

“Metode ini juga sudah digunakan di tempat lain, seperti di Taman Nasional Takabonerate dan di Bali. Kami selalu membuka ruang untuk kerja sama dengan pihak lain.”

baca : Ketika Terumbu Karang Tumbuh Kembali di Pulau Badi

 

Proses transplantasi terumbu karang di Pulau Baddi Pangkep Sulsel ini melibatkan masyarakat dan pemerintah desa setempat. Meski demikian proram ini masih mendapat sedikit penolakan dari warga yang merasa terganggu. Foto: PT Mars Symbioscience Indonesia/Mongabay Indonesia

 

Menyoroti kondisi terumbu karang di Indonesia selama ini, Noel merasa kondisinya akan susah diperbaiki jika praktik bom dan bius masih terus berlanjut. Perlu ada ketegasan dan pengawasan yang ketat pemerintah terkait hal ini.

“Saya sepakat dan mendukung kebijakan Bu Susi (Menteri Kelautan dan Perikanan, Susi Pudjiastuti) dalam menghalau praktik pencurian ikan yang dilakukan oleh kapal-kapal asing yang besar. Memang ada dampak yang signifikan. Namun itu tidak cukup. Kalau kapal besar bisa dengan mudah dipantau dengan satelit. Justru yang perlu mendapat perhatian adalah praktik-praktik bom dan bius yang dilakukan secara sembunyi-sembunyi oleh nelayan-nelayan kecil.”

Para pelaku destructive fishing ini biasa bekerja di malam hari dengan alasan memancing atau menombak ikan, namun kemudian banyak di antara mereka yang membius dan bom, membunuh terumbu karang yang ada. Prosesnya mesti perlahan, namun kemudian akan berdampak kerusakan secara meluas.

“Ini yang haus kita hadapi melalui pengawasan yang ketat. Di Indonesia ini praktik lama juga masih ada. Ini harus dimengerti masalahnya, dan mesti ada tindakan yang tegas,” ujarnya.

Menurut Noel, masih maraknya praktik ini dijalankan masyarakat adalah faktor kebiasaan dari masa lalu serta adanya penyokong dari pihak-pihak yang berkepentingan.

Penyebab lain adalah faktor pengetahuan masyarakat akibat kurangnya pendidikan yang memadai untuk masyarakat di pulau-pulau. Sistem pendidikan di darat dengan fasilitas yang memadai jauh lebih baik di banding di pulau-pulau.

“Harus diperhatikan kondisi pendidikan. Sistem pendidikan di darat lebih baik dibanding di pulau-pulau. Jarang guru yang mau mengajar di pulau. Ini berdampak pada rendahnya pengetahuan akan pentingnya ekosistem laut dan pesisir.”

baca : Menata Kembali Terumbu Karang dan Kehidupan Ekonomi Masyarakat Pulau Bontosua

 

Kondisi karang di Pulau Badi, Pangkep, Sulsel yang rusak karena faktor eksploitasi dan pembiusan untuk penangkapan ikan. Foto: PT Mars Symbioscience Indonesia/Mongabay Indonesia

 

Ia mencontohkan di Pulau Badi, Kabupaten Pangkep, di mana hanya sekitar 5 persen saja warganya yang tahu apa yang ada di dalam laut. Mereka tahu ada terumbu karang, namun tak tahu manfaat dan hubungannya dengan kehidupan mereka, karena tak pernah dilihat.

“Mereka yang paling tahu tentang terumbu karang biasanya warga-warga yang pernah bom dan bius. Mereka tidak mengerti dampak yang ditimbulkan dengan rusaknya terumbu karang.”

Dengan kondisi tersebut, pendidikan tentang ekosistem laut perlu diberikan kepada generasi-generasi muda sejak dini.

“Kalau untuk yang dewasa masanya sudah lewat. Kalau untuk dewasa tidak sekedar pengetahuan saja, namun juga pengawasan.”

Tindakan penting lainnya yang bisa dilakukan pemerintah adalah mencegah suplai bahan peledak dan racun (bius) yang biasanya berasal dari bandar atau oknum tertentu yang menyokong usaha mereka.

“Ini jauh lebih susah diawasi dibanding kapal besar, meski dua-duanya penting.”

Masyarakat juga perlu diedukasi terkait pentingnya lamun sebagai ekosistem yang mendukung eksistensi pulau. Selama ini masyarakat pulau tidak paham dengan kegunaan lamun selain sebagai rumput yang dimakan ikan. Padahal keberadaan lamun penting untuk menjaga agar tidak terjadi degradasi pantai.

“Kalau tidak ada lamun maka akan menggerus pulau. Mereka membuang sampah ke laut membunuh lamun-lamun. ini terjadi setiap hari sedikit demi sedikit.”

baca : Terumbu Karang Pesisir Makassar Rusak Parah. Dampak Reklamasi?

 

Pulau Badi di Kabupaten Pangkep, Sulsel menjadi salah satu lokasi kawasan transplantasi karang yang dilaksnakan oleh PT Mars Symbioscience Indonesia sejak 2011 lalu. Foto: PT Mars Symbioscience Indonesia/Mongabay Indonesia

 

Terkait pendidikan ini, salah satu bagian dari pelaksanaan Marine suistainable program Mars di Pulau Badi adalah membangun learning center. Dibangun di sekitar dermaga pulau.

“Di Pulau Badi kami membangun learning center, ada perpustakaan dengan fasilitas buku dan internet. Kami mendanai sebuah LSM yang melakukan pendidikan tentang laut kepada anak-anak di pulau selama dua tahun. Sekarang kami serahkan pengelolaannya kepada sekolah yang bisa menggunakan fasilitas ini sebagai tempat belajar. Cuma memang selama persoalan guru masih terbatas ini akan susah.”

Noel sendiri datang ke Indonesia sejak tahun 1995 ketika ia ditugaskan mendirikan perusahaan Mars Indonesia di Makassar, yang lahir setahun kemudian, yaitu tahun 1996. Ia menjabat sebagai Presiden Direktur hingga pensiun di tahun 2012.

 

Exit mobile version