Mongabay.co.id

Rencana TNI Bangun Markas Ancam Wilayah Adat Muara Tae

Masrani (berbaju biru) dan ayahnya di tengah-tengah hutan yang terbabat untuk perusahaan sawit. Foto: Tomasz Johnson/Environmental Investigation Agency

 

Komunitas adat Muara Tae, Kecamatan Jempang, Kabupaten Kutai Barat, Kalimantan Timur, belum lepas dari keterancaman. Sejak puluhan tahun berkonflik dengan perusahaan sawit dan batubara, kini komunitas adat ini harus berhadapan dengan TNI Angkatan Darat yang berencana bangun markas batalyon seluas 5.000 hektar!

Melalui pesan singkat, warga adat Muara Tae, Masrani,  meminta pertolongan. Dia menceritakan, ketakutan komunitas adat di Muara Tae karena khawatir wilayah adat hilang atas rencana pembangunan markas batalyon milik TNI-AD seluas 5.000 hektar.

Baca juga: Muara Tae, Tak Pernah Henti Diusik Masalah

Menurut dia, pada 3 Juni 2018, TNI menemui Kepala Adat Muara Tae,  sekadar memberitahukan kehadiran mereka dan rencana pembangunan markas batalyon. Pembangunan itu berdiri di wilayah adat yang jadi konsesi perusahaan tambang PT Gunung Bayan. Bersama Bupati Kutai Barat, seluruh konsesi diserahkan pada TNI-AD untuk mendirikan markas baru.

Pada 4 Juni 2018, Masrani beserta warga adat lain menggelar konsolidasi di rumah Kepala Adat Muara Tae menolak pembangunan markas batalyon. Meski petinggi Muara Tae dan Pemkab Kubar,  sudah menyerahkan wilayah itu pada TNI-AD, namun mereka gigih menolak.

Baca juga: Muara Tae, Bara Konflik Itu Masih Tetap Menyala (Bagian 1)

Komunitas adat Muara Tae,  bahkan akan menggelar ritual adat besar menolak dan menyumpah orang-orang yang memanipulasi dan penyerahan wilayah adat Muara Tae.

“Kondisi kami masih baik-baik saja, tapi kami tidak bisa tidur lelap karena wilayah adat terancam hilang. Wilayah kami sudah diserahkan pada TNI, katanya dari area bekas tambang bahkan area yang belum tersentuh tambang. Di situ, tanah-tanah warga juga masuk kawasan militer itu,” katanya, pada 5 Juni.

Selama ini, katanya,  TNI tak pernah sosialisasi pada warga adat di Muara Tae. Tiba-tiba, berdiri plang bertuliskan wilayah adat Muara Tae adalah milik TNI dan rencana bangun markas batalyon.

 

Buldoser yang digunakan oleh pihak perusahaan untuk menebang hutan adat di Muara Tae, Kutai Barat, kalimantan Timur. Foto: Margaretha Beraan/AMAN Kaltim

 

Warga juga tidak tahu sejak kapan ada plang itu dan siapa pemasangnya, namun pada 3 Juni lalu, warga ribut dengan kehadiran perwakilan TNI ke rumah kepala adat.

“Selama ini,  kita tidak tahu apa-apa. Sudah kenyang kami melawan sawit dan tambang di wilayah kami. Jungkir balik mempertahankan wilayah adat, tiba-tiba saat ini kami dihadapkan pada militer.”

“Kami gelisah sekali, karena wilayah kami ini pasti hilang. Apapun yang terjadi, kami mempertahankan tanah kami. Komunitas adat Muara Tae akan bersatu mempertahankan wilayah adat sendiri.”

Selama ini,  katanya, Pemda Kubar tak pernah terbuka mengenai status konsesi lahan tambang milik PT Gunung Bayan.

Tak ada pengakuan dan perlindungan hak dari pemerintah terhadap wilayah adat Muara Tae, menyebabkan, mereka berada dalam keterancaman berbagai hal, dari sasaran berbagai bisnis ekstraktif dari sawit hingga tambang, sampai pembangunan infrastruktur maupun fasilitas, seperti markas batalyon itu.

Konflik lahan Komunitas Muara Tae dengan bisnis ekstraktif sejak puluhan tahun silam. Pada 1990-an, konflik dengan PT London Sumatera, memanas sampai warga menduduki camp perusahaan dan pembakaran aset perusahaan. Polisi datang. Ada yang disiksa, ada yang melarikan diri ke hutan, salah satu Petrus Asuy, ayah Masrani.

Perusahaan lain masuk. Pada 2011, PT Munte Waniq Jaya Perkasa (MWJP), anak usaha perkebunan sawit asal Malaysia,  TSH Resources,  mengirim buldoser ke hutan adat Muara Tae. MWJP tak sendiri, menyusul perusahaan lain, PT Borneo Surya Mining Jaya (BSMJ),  anak usaha First Resources Ltd,  perusahaan sawit Singapura, pada 2012.

Wilayah adat Muara Tae juga tumpang tindih dengan perusahaan tambang lain, PT Gunung Bayan—belakangan santer terdengar konsesi tambang mereka malah mau jadi maskas batalyon TNI-AD.

 

Petrus Asuy, ayah Masrani,  saat menerima penghargaan Equator Prize atas upaya melindungi dan memulihkan hutan adat Muara Tae. Foto: AMAN Kalimantan Timur

 

***

Pada plang itu tertulis, milik TNI AD, pembangunan markas batalyon seluas 5.000 hektar. Luasan ini merupakan seluruh konsesi tambang milik Gunung Bayan, dari yang sudah digali dan berbentuk lubang tambang hingga kawasan hutan yang belum tergali. Pada hutan yang belum tergali itu masuk wilayah adat Muara Tae.

Masrani menduga,  ada upaya cuci tangan dari Gunung Bayan,  agar tak mereklamasi lubang-lubang tambang miliknya. Jadi, lokasi itu kemudian menjadi garapan baru untuk pembangunan markas TNI AD.

“Mungkin ini upaya perusahaan cuci tangan dari reklamasi. Tanah itu juga tidak mau dikembalikan pada masyarakat adat Muara Tae, mereka memilih menyerahkan pada militer agar terbebas dari kewajiban,” katanya.

Pemkab Kubar, kata Masrani,  juga tak ada kejelasan dan semua keputusan tanpa sosialisasi atau pemberitahuan pada warga Muara Tae.

Dia bilang, kalau markas batalyon terbangun, wilayah adat Muara Tae,  akan makin menyempit. Mereka tak akan memiliki lahan bertani dan berladang. Bahkan, katanya, mereka tidak bisa memiliki hutan adat yang jadi tempat hidup mereka dari berburu, bahan pangan, obat-obatan sampai budaya mereka.

“Meski mereka bilang tidak akan mengganggu wilayah kami, itu tidak mungkin. Wilayah kami itu pasti hilang, karena dari perusahaan tambang Gunung Bayan saja, sudah mengambil wilayah kami.”

“Kami hanya disisakan pemukiman. Di mana kami akan bertani dan berladang?  Kami tidak mungkin berburu lagi dan kehilangan hutan. Dari mana kami mau bertahan hidup?” katanya.

Kini, warga memang belum melawan terbuka tetapi mereka sedang menyiapkan ritual adat besar. Setelah ritual adat, komunitas Muara Tae,  akan mendatangi Pemkab Kubar, Pemprov Kalimantan Timur, hingga ke Pusat.

“Kami tak mau ada pembangunan markas batalyon, karena itu akan merebut tanah dan hak-hak kami sebagai komunitas adat Muara Tae.”

Margaretha Setting Beraan, Ketua PB Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Kaltim, menilai, ketakutan warga adat Muara Tae,  imbas traumatik dihadapkan pada perebutan wilayah dari perusahaan tambang dan sawit,  dulu.

Konflik-konflik terdahulu, katanya, perusahaan jadikan militer tameng melawan warga. Tak jarang, intimidasi dan kekerasan fisik dialami warga. Hal itulah, katanya,  yang menyebabkan warga kian gelisah saat tahu mereka bakal berhadapan dengan militer atas rencana pembangunan markas batalyon itu.

“Mereka sudah mempertahankan wilayah adat dari perusahaan-perusahaan tambang dan sawit. Saat ini, yang mereka hadapi militer,” katanya.

Warga adat Muara Tae, katanya,  hanya tahu ada kesepakatan dan pertemuan antara Gubernur Kaltim bersama TNI tetapi tak ada sosialisasi atau konsultasi publik soal apa.

Padahal, katanya,  berdasar aturan, masyarakat harus tahu kalau ada rencana pembangunan kawasan militer. “Bayangkan, wilayah adat Muara Tae jadi konsentrasi militer.”

Dalam kasus ini, kata Setting, seharusnya merujuk pada free, prior, informed and concent (FPIC). Dengan FPIC, masyarakat adat mendapatkan informasi utuh dan berhak menentukan untuk menerima atau menolak suatu proyek di wilayah mereka. Mereka,  juga dapat mengajukan syarat melalui musyawarah adat. “Rencana pembangunan itu seharusnya terbuka, masyarakat wajib tahu. FPIC harus diterapkan.”

Dia menilai, dukungan dari Pemda Kubar untuk wilayah adat Muara Tae,  sangat kurang. Masyarakat, katanya,  kesulitan mengajukan hutan adat, karena belum ada surat keputusan dari bupati.

 

Baru rencana?

Letnan Kolonel Kavaleri Dino Martino,  Kepala Penerangan Kodam (Kapendam) VI Mulawarman, menjelaskan, pembangunan di Kutai Barat itu buat Markas Batalyon 612 TNI-AD.

Pembangunan itu, katanya,  baru rencana, bisa disetujui atau tidak. “Itu baru rencana, itupun baru mau masuk rencana strategis 2020 hingga 2024. Itu belum ada sama sekali, kan baru rencana,” katanya.

Dino mengatakan, rencana pembangunan markas tidak mungkin berjalan begitu saja. Jika sudah disetujui, katanya, TNI pasti sosialisasi dengan warga, pertemuan di wilayah adat bahkan Dandim akan terjun ke masyarakat dulu.

“Kemudian tim pusat juga datang, jadi tidak asal bangun saja.”

Dia bilang, segala pembiayaan tergantung pemerintah. Kalau tidak masuk dalam rencana strategis 2020-2024, tidak ada pembangunan markas baru.

“Tidak mungkin TNI mau membangun markas tanpa sepengetahuan publik. Pembangunan itu baru rencana. Plan (rencana) itu harus disetujui. Itu rencana saja lho ya, belum disetujui yang lain-lain.”

 

Keterangan foto utama: Masrani (berbaju biru) dan ayahnya di tengah-tengah hutan yang terbabat untuk perusahaan sawit. Foto: Tomasz Johnson/Environmental Investigation Agency

 

Buldozer PT. BSMJ membabat 3 hektar wilayah tanah adat masyarakat Muara Tae di dekat Sungai Merayo, Juni 2014. Foto: AMAN Kaltim

 

Exit mobile version