Muara Tae yang Tidak Pernah Henti Diusik Masalah

 

 

Sejak 2010, kedamaian Kampung Muara Tae, Kecamatan Jempang, Kabupaten Kutai Barat (Kubar), Kalimantan Timur (Kaltim), terus terusik. Konflik antar-warga kerap terjadi, yang mengakibatkan intimidasi. Penyebabnya, sengketa tanah karena  masuknya korporasi.

Masrani Tran, mantan Kepala Kampung Muara Tae, adalah satu dari sekian banyak warga yang mempertahankan tanah adatnya. Bersama kelompoknya, Masrani menolak kehadiran PT. BSMJ (Borneo Surya Mining Jaya), perusahaan sawit yang beroperasi di Muara Tae.

Kerap diintimidasi warga pendukung perusahaan, Masrani tidak menyerah. Bahkan baru-baru ini, Masrani dan pamannya, Sedan, kembali diintimidasi karena menolak pembukaan jalan untuk kelompok tani dari perkebunan masyarakat. “Pasalnya, dengan pembukaan jalan tersebut, diduga akan mempermudah PT. BSMJ untuk kembali melakukan penyerobotan tanah.”

Dijelaskan Masrani, untuk mendapatkan tanah adat, pihak perusahaan kerap menciptakan konflik dengan trik adu domba. Warga yang pro perusahaan, diperalat dengan iming-iming kesejahteraan. Padahal, tapal batas tanah adat mereka sudah ada sejak nenek moyang, turun-temurun.

“Pada 2012 lalu, perusahaan membebaskan sebagian wilayah Muara Tae yang merupakan tanah kami, melalui warga kampung tetangga. Tanah kami diambil dengan cara mengubah batas kampung, didukung oleh SK Bupati Kubar yang mendukung perusahaan tersebut. Kami tidak pernah mendapat apapun, karena kami menolak PT. BSMJ. Kami tidak mau melepaskan hak kami,” paparnya, Senin (6/02/17).

Masrani menyesalkan keputusan Pemda Kubar yang lebih mendukung perusahaan. Bahkan, Pemda Kubar tegas memberhentikan jabatan untuk kepala kampung dan kepala adat jika menolak mendukung perusahaan. “Sebelumnya saya sebagai Kepala Kampung Muara Tae, tahun 2013 saya diberhentikan oleh Bupati Kubar atas tuduhan palsu.”

Tidak hanya dirinya, kepala adat Muara Tae terdahulu, Mimpin Berdama juga bernasib sama. Pada 2015, atas usulan warga yang membela perusahaan, Mimpin Berdama diberhentikan oleh Presdium Dewan Adat Kabupaten sebagai Kepala Adat. Sebab, Mimpin terang-terangan menolak PT. BSMJ dan memrotes perubahan tapal batas kampung.

Setelah berhasil melengserkan Kepala Kampung dan lembaga adat, warga yang pro perusahaan juga menggulingkan semua Ketua RT di Muara Tae yang menolak PT. BSMJ. Semua jabatan kosong tersebut, diduduki orang-orang yang mendukung perusahaan.

“Mereka menjual yang bukan miliknya, kami yang merasa dirugikan menolak PT BSMJ. Terjadi perlawanan warga yang menolak perusahaan tersebut,” tandasnya.

 

Buldozer yang digunakan oleh pihak perusahaan untuk membuka hutan adat di Muara Tae, Kutai Barat, Kalimantan Timur. Foto: Margaretha Beraan/AMAN Kaltim

 

Kerusakan lingkungan

Masrani menilai, Pemerintah Kubar tidak pernah mendukung perjuangannya bersama masyarakat untuk mempertahankan tanah adat Muara Tae. Padahal, hadirnya PT. BSMJ, mendatangkan kerugian yang ditanggung masyarakat.

Antara lain, hilangnya wilayah adat karena dimasukkan ke kampung orang, hilangnya tanah dan kebun sebagai sumber kehidupan, sumber obat tradisional lenyap, serta tercemarnya air sungai akibat limbah sawit dari hulu Sungai Nayan ke Sungai Melinau.

“Banyak kerugian yang harus ditanggung warga. Kasus seperti ini tidak hanya terjadi di Muara Tae, tapi juga di Kutai Barat. Dengan mengubah tapal batas wilayah kampung, perusahaan kemudian mempengaruhi kampung lain untuk melakukan penyerobotan tanah dan menjualnya.”

Saat ini, kata Masrani, sudah 30 kepala keluarga yang tanahnya digusur PT. BSMJ. “Warga yang lain tetap menolak walau belum kena gusur,” ungkapnya.

 

Lahan dan hutan Masyarakat Muara Tae sudah dikepung perkebunaan dan pertambangan sejak 1971. Foto: Erma Woelandari

 

Kejahatan korporasi

Margaretha Setting Beraan, Koordinator Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Kalimantan Timur (AMAN Kaltim) mengatakan, dalam kasus intimidasi yang terjadi di Muara Tae, pihaknya melihat adanya kepentinggan korporasi. Perusahaan sengaja mendatangkan konflik internal antar-warga agar mudah mendapatkan keinginannya.

“Pihak PT. BSMJ telanjur mendatangkan konflik internal sesama warga. Konflik belum terselesaikan, malah melanjutkan operasional perusahaan.”

Margaretha meminta PT. BSMJ menghentikan rencana pembangunan jalan tersebut. Selain itu, Kepolisian harus memastikan pengamanan di tingkat komunitas.

“Konflik penyerobotan oleh PT. BSMJ, terjadi sejak 2010. Sebenarnya hanya ada lima keluarga yang memihak perusahaan. Namun, mereka memegang peran penting dalam pemerintahan kampung.”

Terkait pembukaan jalan yang menjadi sumber masalah, AMAN Kaltim melihat, ada trik adu domba dari pihak perusahaan. Sesuai keterangan Masrani, Pak Andik dan Pak Igoq, diperalat perusahaan untuk mengorganisir masyarakat membuat usulan pembuatan jalan.

Padahal, yang sebenarnya adalah kepentingan perusahaan itu sendiri. Selama ini, tidak ada kelompok tani di lokasi tersebut yang akan dibuatkan jalan. Para petani ladang tidak pernah mengeluh dengan akses yang ada. Sehingga, warga heran ketika tiba-tiba ada rencana pembuatan jalan oleh Pak Igok, yang kerap membebaskan lahan warga.

“Sekitar pukul 10.30 Wita, 4 Februari 2017, Pak Masrani dan rekannya telah melaporkan Pak Andik yang melakukan pemukulan pada Pak Sedan, ke Polsek Jempang. Dari kantor polisi, mereka menuju puskemas untuk mendapat visum sebagai syarat laporan. Namun, kasus ini tidak bisa langsung diproses karena masih menunggu penyidik yang masih berada di Polres,” jelasnya.

AMAN Kaltim menuntut keadilan bagi Pak Sedan yang menjadi korban pemukulan.  AMAN juga meminta pelaku kriminal dihukum setimpal. “Pak Andik harus diproses secara hukum. Selain itu, PT. BSMJ harus menghentikan provokasi terhadap masyarakat dalam upaya menghubungkan jalan antara Kampung Muara Tae dengan perusahaan. Pihak kepolisian juga harus netral, karena akan ada proses panjang dalam kasus ini,” tandas Margaretha.

 

Tanggapan Perusahaan

Indah Permata Soegyarto, Corporate Communication Manager First Resources Group, induk  PT. Borneo Surya Mining Jaya (PT.BSMJ), dalam keterangan surat elekroniknya yang dikirimkan ke Mongabay Indonesia memberikan klarifikasi atas kejadian tersebut, Selasa (28/2/17).

Indah menuliskan, ada empat poin penting terkait konflik yang berlangsung 4 Februari 2017 itu. Pertama, PT. Borneo Surya Mining Jaya (PT. BSMJ) tidak terkait dan atau terlibat dalam kejadian pemukulan Bapak Matius Sedan yang terjadi pada tanggal 4 Februari 2017 di Kantor Petinggi Muara Tae, Kecamatan Jempang, Kabupaten Kutai Barat, Kalimantan Timur.

Kedua, PT. BSMJ tidak terlibat dan tidak mengetahui adanya rapat musyawarah pembukaan jalan Jengan/Jalan Kelompok Tani dan Perkebunan Masyarakat dari Kampung Muara Tae menuju PT BSMJ. Ketiga, dalam berinvestasi di bidang perkebunan, PT. BSMJ sudah memenuhi aturan yang berlaku. Keempat, PT. BSMJ menghormati keputusan RSPO (yang telah melalui mekanisme penyelesaian multi-pihak), terkait permasalahan Kampung Muara Tae.

 

Catatan redaksi: Artikel ini telah diperbarui pada tanggal 28 Februari 2017

 

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , ,