Mongabay.co.id

Ketika Siswa Hong Kong Belajar Penyu di Minahasa

Billy Gustafianto Lolowang menggelar poster bergambar penyu di pantai Kawis, desa Tulap, kabupaten Minahasa, Sulawesi Utara. Billy adalah Manager Wlidlife Rescue & Endangered Species Pusat Penyelamatan Satwa Tasikoki (PPST). Dihadapannya, puluhan siswa-siswi dari Victoria Sanghai Academy, Hong Kong, memperhatikan dengan serius.

Sore itu, Senin (5/6/2018), Billy menceritakan bahwa di kawasan Indopasifik terdapat 5 jenis penyu, dan tiga diantaranya sering bertelur di pantai Kawis. Tiga jenis yaitu penyu lekang (Lepidochelys Imbricata olivacea), penyu sisik (Eretmochelys imbricata) dan penyu hijau (Chelonia mydas).

Dijelaskannya, penyu adalah satwa yang sekali bertelur bisa mencapai ratusan. Namun hanya puluhan yang bisa bertahan hidup hingga dewasa. Intervensi manusia disebut-sebut sebagai biang keterancaman populasi satwa penjelajah samudera ini.

“Misalnya karena polusi limbah pabrik dan sampah plastik. Penyu sering memakan plastik dan tidak bisa dicerna, sehingga mereka mati kelaparan karena tidak ada nilai nutrisinya. Kadang ada juga yang tercekik atau melilit dan masuk kehidung penyu,” ujar Billy.

baca : Ini Dia Relawan Pecinta Penyu dari Sulawesi Utara

 

Billy Gustafianto, Manager Wlidlife Rescue & Endangered Species PPST Tasikoki menjelaskan tentang spesies penyu kepada siswa-siswi Victoria Shanghai Academy Hongkong, di pantai Kawis, desa Tulap, Minahasa, Sulut. Foto : Themmy Doaly/Mongabay Indonesia

 

Siswa-siswi itu dijelaskan bahwa di pesisir timur Minahasa, keterancaman penyu juga terbilang tinggi. Bagi sebagian orang, musim bertelur berarti musim berburu.

Nyaris tiap malam ada orang yang membawa senjata tajam untuk memburu penyu yang akan bertelur, mengambil daging, karapas juga telur untuk dikonsumsi. Padahal, telur dan daging penyu mengandung logam berat yang cukup tinggi. Sehingga, mengkonsumsinya bisa berbahaya bagi kesehatan manusia.

“Tapi tidak banyak yang tahu. Dampaknya juga tidak secara langsung, tapi akumulatif,” ujar Billy.

 

baca : Hati-hati! Konsumsi Penyu Berbahaya, Berikut Ini Penjelasannya…

 

Satu jam setelah mendengar penjelasan, siswa-siswi itu bersiap menyaksikan proses pemindahan telur. Mereka nampak tidak sabar namun harus menahan diri untuk mendengar arahan dari tim PPST.

“Tidak disarankan memegang telur penyu, karena khawatir kontaminasi bakteri dari tangan manusia ke telur, maupun sebaliknya,” jelasnya.

Sehingga, proses pemindahan telur dari pantai ke hatchery hanya boleh dilakukan oleh orang yang terlatih. Tanpa kemampuan dan pengetahuan khusus, pemindahan telur dikhawatirkan merusak embrio yang akan jadi tukik dan penyu dewasa.

Puluhan siswa-siswi itu menyanggupi permintaan itu. Mereka kemudian menempuh jarak sekitar 100 meter dari lokasi awal, dan berhenti ketika seseorang menunjuk jejak kaki penyu dan mengatakan bahwa mereka telah di lokasi bertelur.

baca : Inilah Penyelamatan Penyu Hijau di Tengah Bentang Laut Sulu Sulawesi

 

Siswa-siswi Victoria Shanghai Academy Hongkong, menyaksikan proses pemindahan telur penyu di pantai Kawis, desa Tulap, Minahasa, Sulut. Foto : Themmy Doaly/Mongabay Indonesia

 

Diketahui, jenis penyu yang bertelur di sana adalah penyu lekang. Ketika proses pemindahan telur berlangsung, siswa-siswi menyambutnya dengan saling tebak jumlah. Mereka menghitung tiap kali telur dari dalam pasir dipindahkan pada sebuah ember, lalu terkejut ketika tiba pada angka 118.

“Kita akan memindahkan telur ini ke hatchery untuk mengamankannya dari ancaman predator alami maupun manusia,” jelas Billy.

Siswa-siswi menurut, lalu berjalan menuju hatchery yang tidak jauh dari lokasi penggalian telur penyu. Namun, tak satupun di antara mereka diperbolehkan masuk. Meski begitu, kebahagiaan mereka bertambah ketika menyaksikan beberapa tukik telah menetas dari telur.

Menyaksikan itu, siswa-siswi diminta untuk tidak menyalakan senter ataupun cahaya ponsel. Karena, cahaya senter dianggap mengganggu orientasi dan dapat melukai mata penyu. Mereka hanya diperbolehkan menyalakan cahaya berwarna merah.

“Sebenarnya, tanpa cahaya pun tukik sudah bisa menuju ke laut. Mata mereka sensitif dan bisa mengenali cahaya di laut. Di banyak tempat, polusi cahaya jadi masalah. Karena tukik sering menuju ke sumber cahaya buatan, misalnya lampu jalan, dan kehabisan energi,” lanjut Billy.

baca : Miris.. Orang Ini Unggah Foto dan Makan Hasil Berburu Penyu

 

Lokasi hatchery di pesisir pantai Kawis, desa Tulap, Minahasa, Sulut, tercatat tanggal jumlah telur dan jenis penyu. Foto Themmy Doaly/Mongabay Indonesia

 

Florianht, seorang siswa bercerita kepada Mongabay, mengaku gembira bisa belajar dan melihat langsung proses pemindahan telur. Sebab, kunjungan ke pantai Kawis adalah perjumpaan pertamanya dengan penyu.

“Ini keren. Saya belum pernah melihat hal serupa sebelumnya. Kami belajar tentang penyu, lihat langsung penangkaran, juga telurnya. Ini luar biasa, mungkin bukan buat saya saja, tapi untuk kami semua,” kata Florianht bersemangat.

“Kami tidak hanya belajar tentang Manado atau Sulut, tapi kami juga belajar tentang penyu, dan alasan melibatkan diri untuk penyelamatan spesies ini,” tambahnya. “Saya akan menceritakan ini kepada teman-teman yang lain. Manusia harus punya tanggungjawab untuk terlibat dalam perlindungan planet ini.”

Yahya Laode, CEO Yayasan Masarang menjelaskan, kegiatan ini merupakan bagian dari program kerjasama antara Yayasan Masarang dengan Victoria Sanghai Academy. Sejak 2013, nyaris tiap tahun mereka belajar tentang konservasi dan penyelamatan satwa liar di Sulut.

Selama 4-8 Mei 2018, siswa-siswi mengikuti sejumlah kegiatan. Dimulai dari PPST untuk mempelajari konservasi dan penyelamatan satwa, kunjungan ke salah satu SMA di Bitung, belajar tentang penyu di pantai Kawis, serta mengunjungi pabrik gula aren yang ramah lingkungan. 

“Kegiatan ini adalah bagian kepedulian Yayasan Masarang terkait pendidikan. Kami menganggap, pendidikan konservasi harus bisa ditanamkan sejak dini. Kedepan, kami berharap lebih banyak sekolah lokal untuk terlibat,” terang Yahya.

baca : Miris… Penyu Ini Dipotong dan Dijual di Pasar Amurang

 

Ilustrasi. Tukik penyu Lekang baru menetas, dipindahkan dari bak pasir ke kolam sementara di TCEC Serangan, Bali. Foto: Luh De Suriyani/Mongabay Indonesia

 

Ancaman Penyu

Melky Kansil, warga desa Toloun yang ditemui di pantai Kawis mengatakan, tiap malam pihaknya melakukan patroli untuk mengamankan penyu dari ancaman predator seperti biawak, anjing, elang atau abrasi pantai.

Selain itu, pernyu terancam perburuan. Nyaris tiap malam selalu ada orang yang berusaha memburu penyu atau telur-telurnya. Bahkan, sempat terjadi konflik antara pemburu dengan tim patroli.

“Di sini masih banyak perburuan penyu, di darat maupun laut. Sebagai catatan, untuk tahun ini saja, kami menemukan 10 kasus perburuan penyu di laut. Sedangkan, di darat hampir tiap malam,” terangnya.

Sedangkan Billy menilai, perlu lebih banyak lokasi perlindungan penyu seperti di pantai Kawis. Dia mengatakan, sepanjang pesisir timur Minahasa merupakan kawasan ekosistem esensial, tempat habitat bertelur penyu

Namun, upaya melindungi penyu belum merata. Padahal, keterlibatan berbagai pihak diyakini membuka peluang ekowisata. Sebab, tidak banyak orang bisa melihat langsung proses bertelurnya penyu.

“Jadi perlu kerjasama berbagai pihak untuk menjaga habitat penyu. Kalau dipromosikan dengan baik, kawasan ini bisa jadi destinasi wisata untuk ekowisata penyu. Masyarakat lokal bisa terbantu dan mendapat manfaat dari pelestarian penyu,” kata Billy.

Sementara Yahya berharap pemerintah kabupaten lebih gencar mensosialisasikan peraturan tentang perlindungan penyu. Dia mencontohkan, beberapa pemerintah desa yang ditemuinya mengetahui bahwa penyu merupakan satwa dilindungi, tetapi tidak tahu aturan hukumnya.

“Saya kira, dari kenyataan yang didapat, kedepan kami akan programkan sosialisasi perlindungan penyu ke aparatur pemerintah desa,” pungkasnya.

 

Exit mobile version