Mongabay.co.id

Pilih Mana, Pupuk Kimia atau Pupuk Organik?

Tanah yang subur, lingkungan yang bersih, dan bebas dari polusi adalah idaman bagi semua orang di Indonesia. Begitu juga dengan petani yang biasa menanam berbagai tanaman hayati di seluruh Indonesia. Mereka semua mendambakan tanah yang diolah dengan ditanami berbagai tanaman, bisa memberikan manfaat seperti disebutkan di atas.

Adalah Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) yang paham dengan harapan petani tersebut. Lembaga riset Negara itu, dalam beberapa tahun terakhir fokus mengembangkan pupuk organik hayati (POH) untuk memberikan alternatif pupuk pertanian bagi para petani. Pupuk yang dikembangkan itu, diklaim lebih ramah lingkungan dan bisa menerapkan prinsip lingkungna berkelanjutan.

Deputi Bidang Jasa Ilmiah LIPI Mego Pinandito di Jakarta, belum lama ini mengatakan, POH adalah pupuk non axenic kultur Rizo-mikroba Pemacu Pertumbuhan (RPPT) yang memiliki biokatalis dalam menyediakan Nitrogen, Phosfat, Kalimum (NPK), zat pengatur tumbuh, dan asam-asam organik yang sangat bermanfaat bagi peningkatan produksi tanaman dan kesehatan tanah.

baca : Pertanian Organik, Untuk Mendukung Keberlanjutan Lingkungan

 

Pupuk beyonic seri fu, merupakan pupuk organik hayati (POH) yang dikembangkan oleh LIPI. Foto : LIPI

 

“Tahun ini adalah masalah stunting, gizi buruk. Itu jadi masalah jika terjadi pada satu generasi. Untuk itu kita wajib untuk menyediakan bahan pangan yang bergizi dan menghentikan stunting. Bagaimana caranya? Salah satunya melalui pengolahan tanah yang ramah lingkungan,” ujarnya.

Menurut Mego, bagaimana menyajikan bahan pangan yang aman dan nyaman untuk dikonsumsi masyarakat, khususnya generasi muda bangsa Indonesia, adalah dengan cara menyediakan yang bebas dari bahan pestisida. Selain itu, tanah yang diolah juga harus seha dan tidak tercemar.

“Lahan marginal atau tercemar juga semakin meningkat. Ini yang ikut memicu bahan pangan tidak sehat. Perambahan hutan juga ikut berperan di dalamnya,” tuturnya.

Peneliti Pusat Penelitian Biologi LIPI Sarjiya Antonius menyebut, dalam menyediakan bahan pangan yang sehat dan aman dikonsumsi, itu berkaitan erat dengan ekonomi, lingkungan, dan sosial yang ada di sekitar petani. Selain itu, pola pikir dari petani tentang penilaian terhadap pupuk yang aman untuk dipakai, juga sangat penting untuk dimiliki. Jangan sampai, demi menekan biaya produksi, pupuk dipilih yang asal dan tidak aman untuk kesehatan.

Menurut Anton, pola pikir petani yang menilai bahwa POH adalah mahal, selama ini berarti keliru. Mengingat, POH yang dikembangkan LIPI adalah pupuk yang aman dan terjangkau dari segi harga. Jadi, jika selama ini petani sangat bergantung pada pupuk jenis urea dan pupuk M51, tidak ada alasan untuk tetap bertahan dengan keduanya.

“Itu mencemari air tanah dan menyebabkan oksigen berkurang juga. Pestisida itu berdampak negatif untuk manusia dan makhluk hidup lainnya. Tujuan pestisida untuk mengendalikan hama, tapi penggunaannya sudah melebihi takaran dan menyebabkan resistensi,” paparnya.

baca : Ajak Warga Merauke Beralih ke Pupuk Organik dari Bahan di Sekitar

 

LIPI memperkenalkan pupuk organik hayati (POH) kepada perwakilan petani di Kudus, Jateng. POH ini lebih ramah lingkungan dan lebih murah dibanding pupuk kimiawi. Foto : LIPI

 

Mengingat saat ini petani semakin bergantung kepada pupuk kimia, Anton menghimbau kepada mereka untuk bisa memahami lebih jauh tentang dampak buruk yang ditimbulkan dari penggunaan pupuk tersebut. Jika masih terus bergantung, maka tanah yang diolah untuk ditanami akan dikendalikan sepenuhnya oleh bio katalis.

Anton menyebutkan, formula POH berbasis bahan atau substrat organik lokal mudah didapat oleh masyarakat dengan harga yang terjangkau. Adapun, bahan-bahan pembuatan pupuk tersebut, adalah tauge, gula merah, molase, air kelapa muda, agar-agar, tepung jagung, dan tepung ikan.

Selain bahan-bahan di atas, Anton mengatakan, pembuatan POH juga mengkombinasikan 10 isolat mikroba unggul yang didapatkan LIPI dari berbagai daerah di seluruh Indonesia. Penggunaan isolat tersebut, semakin menguatkan manfaat yang terkandung di dalam pupuk.

 

Manfaat

Lebih jauh Sarjiya Antonius menjelaskan, POH yang dikembangkan LIPI memiliki manfaat yang bisa mendorong pada peningkatan kesejahteraan petani. Manfaat itu, adalah peningkatan produksi pertanian secara signifikan, tanaman menjadi lebih tahan dari serangan hama penyakit, dan meningkatkan kualitas biokimia tanah pertanian.

Dengan segala manfaat tersebut, Anton sangat berharap para petani bisa memulai melepaskan ketergantungan mereka pada pupuk kimia. Apalagi, saat ini POH bisa didapatkan tidak hanya dengan dibeli dari toko pertanian, melainkan juga melalui proses diseminasi yang dilakukan senytdiri dan kini sudah disebarluaskan ke berbagai daerah di Indonesia.

“Lewat sosialisasi dan diseminasi, kita berharap itu bisa mengubah pola pikir petani akan ketergantungan penggunaan pupuk kimia dan mendorong untuk beralih ke pupuk organik. Dengan penggunaan pupuk organik hayati, maka keberlangsungan kesuburan lahan petanian di masa depan dapat terjaga dengan baik,” ujar dia.

Selain memiliki manfaat yang baik untuk prinsip keberlanjutan, Anton menambahkan, penggunaan pupuk organik hayati juga bisa meningkatkan kualitas dan kuantitas pangan. Dengan manfaat itu, diharapkan ke depan sosial dan ekonomi kerakyatan juga bisa mengalami peningkatan setelah menggunakan POH.

Dengan kata lain, Anton menegaskan, penggunaan pupuk organik hayati mampu menekan biaya produksi, pembuat produk pangan lebih bergizi, tidak mencemari lingkungan, dan tetap menjaga kesehatan serta kesuburan tanah. Jika itu dilakukan, maka di masa mendatang kestabilan produksi pangan nasional bisa diwujudkan.

baca : Yanir, Berkali Gagal Hingga Berhasil Kembangkan Pertanian Tanpa Bakar di Lahan Gambut

 

Panen padi di lahan yang menggunakan pupuk organik hayati (POH) di Kabupaten Ngawi, Jawa Timur. Foto : LIPI

 

Namun demikian, Anton mengatakan, di balik kelebihan yang dimiliki POH, masih ada kekurangan yang tidak bisa dilupakan, yaitu efek perlakuan pada tanaman tidak secepat pupuk kimia. Fakta tersebut, membuat petani sulit diyakinkan bahwa POH memiliki manfaat lebih baik dan hemat biaya.

Kemudian, jika menggunakan POH, diperlukan tenaga untuk mengolahnya karena memerlukan waktu antara 1 hingga 2 minggu untuk bisa terlihat hasilnya. Hal itu berbeda dengan pupuk kimia yang sudah bisa dilihat hasilnya setelah tiga hari pemakaian.

Untuk saat ini, Anton menuturkan, penggunaan dan diseminasi POH hasil pengembangan LIPI sudah dipakai di 70 daerah. Selain itu, sudah ada dua perusahaan yang melakukan produksi secara massal dan menjualnya secara bebas. Dari data yang ada di LIPI, saat ini sudah ada 6.000 petani yang menggunakan POH sebagai pupuk pertanian mereka.

Adapun, daerah yang sudah mengadopsi POH sebagai pupuk pertanian, adalah Kabupaten Malinau (Kalimantan Utara), Kabupaten Wonogiri (Jawa Tengah), Kabupaten Ngawi (Jawa Timur), Kabupaten Bangka (Bangka Belitung), dan Kabupaten Sangihe (Sulawesi Utara).

“Produksi pupuk saat ini telah mencapai 14.000 liter dengan potensi aplikasi pada lahan seluas 600 hektar dalam satu musim,” jelasnya.

baca : ​Cerita dari Mentawai: Warga Desa Munte Mulai Bikin Pupuk Organik

 

Petani membajak sawah di Desa Pasawahan, Kecamatan Tarogong Kaler, Kabupaten Garut, Jabar. Foto: Donny Iqbal/Mongabay Indonesia

 

Kepala Dinas Pertanian Kabupaten Bangka Kemas Arfani Rahman di Jakarta, mengatakan, penggunaan teknologi POH yang dikembangkan LIPI sangat membantu daerahnya untuk mengembangkan pertanian dengan cara yang efisien dan sehat. POH yang diadopsi, terbukti mampu meningkatkan produksi pertanian yang dilakukan di Kabupaten Bangka.

“Daerah kita ini bukan penghasil pertanian. Jadi kita masih memulai. Produk pupuk organik hayati sangat membantu kami dalam proses percepatan itu,” jelas dia.

Menurut Kemas, tanah di Bangka sangat memprihatinkan karena miskin dari unsur hara, sifat atau tanah asam dengan Ph 4-5, dan mikrobiologi rendah akibat pertambangan timah di masa lalu. Karakteristik itu menjadi tantangan besar bagi masyarakat yang ingin bertani di Bangka. Beruntung, dia mengaku sejak 2016 daerahnya sudah mengadopsi teknologi POH yang dikembangkan LIPI.

Saat pertama kali menggunakan, Kemas memaparkan, pihaknya sukses melaksanakan panen padi sebanyak 3,5 ton untuk setiap hektare. Jumlah tersebut, pada saat itu dinilai sebagai keajaiban karena jika melihat karakteristik tanah di Bangka sangat tidak memungkinkan untuk menanam padi dan menghasilkan jumlah sebanyak itu.

“Setelah itu, kami mulai optimis bisa bertani di Bangka. Terakhir, pada 8 Mei lalu, kita mendapatkan panen hingga 4,28 ton per hektare. Hasil tersebut cukup memuaskan karena di Bangka saat panen padi itu rerata hanya sanggup 2,7 ton per hektare,” tuturnya.

Selain dirasakan oleh Pemkab Bangka, Kemas menyebutkan, teknologi yang dihasilkan LIPI tersebut juga sudah dirasakan oleh para petani di daerahnya. Dia menyebut, POH dirasakan petani memberi hasil memuaskan, seperti anakan pada tanaman padi lebih banyak, produksi yang meningkat, akar tanaman lebih kuat dan juga tahan dari serangan hama penyakit.

“Paling penting, penggunaan pupuk kimia juga menjadi berkurang dan itu bisa menekan biaya produksi menjadi lebih murah. Pupuk organik hayati ini menjadi solusi bagi kami untuk saat ini dan masa mendatang,” tandasnya.

 

Exit mobile version