Mongabay.co.id

Beratnya Andalkan Energi Batubara, dari Subsidi sampai Biaya Kesehatan Tinggi

Ma’ani (40 ) dengan bayinya (6 bulan) di depan rumah yang ditutupi kain tebal untuk melindungi mereka dari debu batubara PLTU di dekatnya, Cilacap Jawa Tengah. Salah satu anaknya, Juniko Ade Putra meninggal pada usia 2,5 tahun Juni 2011 dari penyakit pernapasan diyakini karena debu batubara. Foto: dokumentasi Greenpeace/Kemal Jufri

 

 

Untuk kasus penyakit paru obstruktif kronis, di Jakarta, antara 2010-2014, biaya rata-rata terapi US$1.125 atau sekitar Rp16 juta per orang per tahun. Penyakit ini bikin penderita tak bisa bekerja selama setidaknya dua bulan setiap tahun untuk cuti sakit dan istirahat total. Praktis pendapatan hilang secara signifikan.

 

 

Batubara jadi sumber energi utama Indonesia membebani pemerintah ratusan juta dolar dalam bentuk subsidi dan dampak negatif bagi kesehatan warga. Subsidi batubara dapat menjebak Indonesia ke dalam situasi biaya listrik dan kesehatan tinggi pada masa depan.

“Ini dapat dicegah jika pemerintah berinvestasi pada sumber listrik terbarukan. Pemerintah harus mulai hentikan subsidi batubara dan berinvestasi pada kesehatan dan energi bersih,” kata Henny, peneliti The International Institute for Sustainable Development (IISD), dalam peluncuran laporan “Biaya Kesehatan dari Batubara di Indonesia”, minggu lalu di Jakarta.

Mengutip data WHO 2016, kata Henny, pada 2015 setidaknya ada 1,3 juta kematian karena penyakit tidak menular (PTM), yang menurut Health and Environment Alliance terutama karena polusi udara. Jumlah ini,  lebih dua pertiga dari total kematian di Indonesia pada tahun sama.

“Polusi udara akibat pembakaran batubara jadi penyumbang cukup besar PTM karena Indonesia merupakan satu dari lima negara produsen terbesar batubara di dunia, pengekspor kedua terbesar dan 60% listrik dari PLTU,” katanya.

Polusi udara mempengaruhi sistem pernapasan, kardiovaskular, saraf dan menyebabkan PTM serius seperti penyakit jantung iskemik, penyakit paru obstruktif kronik, infeksi saluran pernapasan bawah, penyakit kardiovaskular, infeksi saluran pernapasan bawah akut, asma serta kanker paru-paru.

Baca juga: Pesan buat Jokowi: Segera Revisi Pembangkit Listrik Batubara dalam Proyek 35.000 MW

Meski demikian, katanya, penelitian dampak langsung polusi udara dari batubara masih kurang. Pengukuran polutan udara dari pembakaran masih jarang di Indonesia.  Padahal, katanya,  setiap pembakaran batubara mengeluarkan NO2, SO2, PM, arsenik, cadmium, timbel, dan merkuri,

Pengukuran PM2.5 baru tersedia di Jakarta Pusat, daerah-daerah lain di Indonesia, tak ada. Pengukuran pada 2017, rata-rata PM2.5 di Jakarta Pusat 28,4 mikrogram per meter kubik. Angka ini 87% jauh di atas pedoman kualitas udara standar WHO, yakni 10 mikrogram per meter kubik.

Selain pengukuran masih jarang, standar emisi untuk pembangkit listrik batubara di Indonesia,  jauh lebih lemah dibandingkan negara-negara lain. Bahkan,  untuk PLTU baru tak punya standar untuk emisi merkuri.

“Berarti pembangkit listrik batubara di Indonesia jauh lebih polutif dibandingan di negara-negara tetangga.”

 

Ibu dan anak petani ikut aksi gerakan bebas batubara di Jakarta. Foto: Indra Nugraha

 

Beban kesehatan tinggi

Henny bilang, pada 2011, Indonesia mencatat kematian tertinggi karena emisi batubara dibandingkan negara tetangga lain. Diperkirakan sekitar 7.480 kematian tambahan per tahun karena pembakaran batubara. Angka ini, hampir dua kali lipat dari Vietnam dengan 4.250 kematian tambahan per tahun, atau hampir enam kali lipat Thailand, dengan 1.330 kematian per tahun.

Dengan rencana penambahan pembangunan PLTU baru beberapa tahun ke depan, kematian dini tambahan bisa naik 25.000 per tahun.

“Lebih tiga kali lipat dari 2011,” katanya sembari bilang penyakit utama adalah stroke dan jantung iskemik.

Lantas apa saja biaya kesehatan akibat polusi pembakaran batubara di Indonesia?

PTM oleh polusi udara dari batubara bikin beban signifikan bagi pengeluaran penduduk Indonesia baik keluarga maupun nasional.

Mengutip penelitian oleh Harvard T. Chan School of Public dan the World Economic Forum, diperkirakan,  penyakit pernapasan di Indonesia membebani sampai US$805 miliar atau setara Rp11.250 triliun, antara 2012-2030.

Beberapa PTM seperti penyakit paru obstruktif kronis, asma atau darah tinggi memerlukan penanganan seumur hidup dan membebani keuangan rumah tangga baik langsung maupun tidak.

Biaya langsung dikeluarkan pasien PTM untuk rumah sakit, klinik, dan fasilitas kesehatan lain baik diagnosis dan rawat inap. Untuk asma, biaya ini mencapai rata-rata  US$54, atau Rp755.100 per bulan.

“Ini lebih dari separuh pendapatan per kapita per bulan rata-rata kelas menengah bawah di Indonesia. Lebih dari separuh untuk obat perawatan.”

Untuk kasus penyakit paru obstruktif kronis, di Jakarta, antara 2010-2014, biaya rata-rata terapi US$1.125 atau sekitar Rp16 juta per orang per tahun. Penyakit ini bikin penderita tak bisa bekerja selama setidaknya dua bulan setiap tahun cuti sakit dan istirahat total. Praktis pendapatan hilang secara signifikan.

Menurut Bank Dunia, 8,6% penduduk hidup di bawah garis kemiskinan dengan pendapatan kurang US$2 per hari. Data Kementerian Kesehatan,  tahun lalu menyebut,  sepertiga penduduk Indonesia belum punya jaminan kesehatan nasional.

Artinya, biaya penyakit karena polusi udara ditanggung rumah tangga paling tidak mampu mengeluarkan biaya kesehatan.

“Biaya kesehatan akibat PTM dapat menghabiskan hingga seluruh belanja rumah tangga Indonesia berpendapatan rendah.”

 

Sumber: Greenpeace

 

Subsidi batubara

Hal lain yang disoroti laporan ini, sejumlah besar porsi APBN Indonesia untuk mendukung industri batubara.

Setidaknya,  ada belasan kebijakan yang memberikan subsidi kepada batubara, antara lain, dukungan pemerintah untuk jaminan pinjaman, dana jaminan pembangunan infrastruktur (Indonesia Infrastructure Guarantee Fund) untuk proyek berkaitan batubara, pembebasan pajak ekspor. Lalu, mengeluarkan tarif impor untuk peralatan canggih tertentu, mengenakan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) untuk barang dan jasa yang dibeli perusahaan pertambangan batubara, dan lain-lain. Dari seluruh kebijakan ini, hanya tujuh dapat dikuantifikasi.

Tahun 2013,  pemerintah membelanjakan US$31 miliar atau Rp433 triliun untuk subsidi bahan bakar fosil. Pada tahun sama anggaran kesehatan publik US$10 miliar atau Rp140 triliun. Ttotal dengan belanja kesehatan swasta US$27 miliar atau sekitar Rp377 triliun.

“Jumlah ini (subsudi batubara) tiga kali lipat belanja publik untuk kesehatan,” kata Henny.

Begitu juga 2014, subsidi produksi batubara membebani pemerintah US$946 juta atau Rp12,4 triliun.

Sasaran utama subsidi ini, katanya, mengurangi harga listrik bagi konsumen. Data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) 2017, biaya pembangkit listrik pada 2016 adalah US$75 per megawatt hour (MWh).

Dibandingkan negara-negara lain, India,  misal, proyek tenaga surya baru-baru ini berhasil menjual listrik US$40 per MWh. Di Meksiko, berhasil turun sampai US$21 per MWh.

“Ini berarti produksi listrik dari sumber terbarukan jauh lebih murah dibandingkan listrik batubara.”

 

Dampak yang ditimbulkan batubara, antara kondisi saat ini dan perkiraan masa depan kala pembangkit batubara proyek 35.000 mW terealisasi. Sumber: Greenpeace

 

Setop subdisi batubara

Untuk itu, IISD meminta pemerintah Indonesia setop menyubsidi batubara dan mengalihkan subsidi ke kesehatan dan sumber energi bersih.

“Jika pemerintah tetap memberi subsisi pada batubara dan bahan bakar fosil lain, berarti menyubsidi polusi udara bagi masyarakat Indonesia.”

Investasi kesehatan, katanya,  bisa dengan memperkuat stasiun-stasiun mengukur dan memonitor polusi udara terutama di kota-kota dan daerah yang berdekatan dengan PLTU.

Penyakit karena polusi udara harus dilaporkan berkala dan Kementerian Kesehatan harus segera menganalisis dampak aktual yang timbul.

Menanggapi laporan ini, Sekretaris Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE) KESDM, Wawan Supriadna mengakui kontribusi batubara harus ditekan semaksimal mungkin hingga menurun.

Dalam Kebijakan Energi Nasional juga sudah ditetapkan target bauran energi 2% dengan memafaatkan potensi eneri terbarukan yang melimpah.

KESDM,  katanya, tetap berpegang pada dua skema penurunan target National Determined Contribution (NDC) pada Kesepakatan Paris yakni 29% dengan anggaran sendiri dan 41% dengan bantuan internasional.

Untuk itu, katanya, pemerintah telah pemetaan wilayah semua potensi energi terbarukan, kecuali nuklir. Nuklir, katanya, akan dimanfaatkan setelah semua potensi lain diberdayakan.

“Ini baru pengukuran analisis potensi belum sampai pada hitungan pembangunan.”

Hingga kini, pembangunan energi terbarukan masih terkendala investasi besar dan keekonomian belum terjangkau oleh masyarakat.

“Energi arus laut masih butuh investasi besar. Keekonomian energi arus, gelombang, dan termal masih belum bagus.”

Mengenai ambang batas polusi udara akibat pembakaran PLTU, kata Wawan, pemerintah sudah punya ketentuan ambang batas polutan.

Selain itu, pemerintah fokus pada penggunaan kualitas batubara. Batubara lebih 5500 kkal dinilai lebih bersih, meski sebagian besar produksi batubara nasional di bawah standar ini.

 

PLTU batubara memberikan dampak penurunan kualitas kesehatan masyarakat baik karena debu maupun asap pembakaran batubara yang mengandung logam berat dan beracun. Foto: Tommy Apriando/ Mongabay Indonesia

 

Juru Kampanye Greenpeace Indonesia, Hindun Mulaika menilai, regulasi nilai ambang batas polutan di Indonesia lemah. Untuk NOx saja,  misal, tujuh kali lebih rendah dibanding negara lain.

Saat ditanya apa saja upaya pemerintah mengurangi dampak kesehatan akibat polusi energi fosil, Wawan menjelaskan, Menteri ESDM Ignasius Jonan sudah mencanangkan mengurangi penggunaan pembangkit listrik tenaga diesel (PLTD) yang berkontribusi hampir 2% dalam pemenuhan energi nasional, diganti biodiesel (B20).

Pemerintah, katanya,  juga tengah menggodok aturan mengenai penggunaan listrik surya atap, agar dapat mengurangi ketergantungan dengan PLTU dan terjangkau bagi masyarakat.

“Kita memang jangan menunggu masyarakat  sakit dulu tapi harus berusaha kembangkan energi bersih.”

Wawan tetap menggarisbawahi, jika pembangkit dan jaringan yang dibangun tak sesuai ekonomi masyarakat, pemerintah akan tetap menilai itu belum affordable.

“Di ujungnya kita memang masih membatasi bagaimana masyarakat bisa beli.”

Zainal Ilyas Nampira,  Kepala Balai Besar Teknik Kesehatan Lingkungan dan Pengendalian Penyakit (BBTKLPP) Kementerian Kesehatan, menilai,  penanganan masalah polusi udara harus berubah.

“Jika dulu kita berpikir di hilir, bagaimana orang sakit disembuhkan, sekarang kita berbicara hulunya. Ada 16 kementerian dan lembaga harus terlibat dalam masalah ini,” katanya.

Negara, katanya,  tekor biaya Jaminan Kesehatan Nasional karena tak fokus menyelesaikan masalah di hulu, yakni,  polusi udara.

Mengenai biaya Jamkesmas, Sudi Astono, Staf Direktorat Jenderal Pengawasan Norma Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) Kementerian Ketenagakerjaan,  menilai ada yang salah  dengan cara masyarakat gunakan kartu jaminan kesehatan untuk penyakit dampak kerja.

Penyakit karena kerja punya karakteristik sendiri, misal, pekerja batubara rentan terkena black lung desease, semacam kerutan pada paru-paru yang terdeteksi dalam waktu jangka panjang. Penyakit ini karena debu reaktif seperti debu silika. Debu silika ada pada batubara, bahan baku semen, asbes dan plafon.

Dia bilang, hal ini berbeda dengan kecelakaan kerja. Sudi mencontohkan,  rentetan proyek infrastruktur ambruk beberapa waktu lalu mengakibatkan pekerja sakit atau meninggal termasuk kecelakaan kerja.

Kecelakaan kerja, katanya,  cenderung terjadi karena perusahaan tak penuhi syarat K3 sesuai UU No 1/1970 tentang Keamanan dan Keselamatan Kerja yang mengamanatkan, setiap perusahaan minimal punya P2K3 dengan dokter K3. Dokter K3, katanya,  harus paham penyakit akibat kerja, dampak K3 terhadap kesehatan pekerja.

Jika merujuk data BPJS, rasio penyakit karena kerja dan kecelakaan kerja cukup jauh. Sudi menyebut, antara 1.050 dan 50.

Soal pekerja batubara, katanya, harus ada efektivitas dan efisiensi bahan baku untuk mengurangi sakit.

“Harus diukur ambang batas, misal,  debu batubara dalam ambang batas tak boleh dilanggar di sekitar lingkungan kerja,” katanya.

Untuk di luar lingkungan kerja, baku mutu lingkungan harus jadi perhatian perusahaan.

“K3 ini sangat berkorelasi dengan dampang lingkungan,” katanya.

Jika bahan baku efektif, pekerja cenderung sehat dan kecelakaan kerja minim. Sebaliknya,  tanpa K3, misal, penggunaan bahan kimia banyak praktis mencemari lingkungan lebih banyak.

 

Masalah di daerah pengerukan batubara. Rahmawati, ibunda Raihan, memegang foto anaknya, yang tewas di kolam tambang. Hingga kini, kasus tak ada kejelasan. Foto: Tommy Apriando

 

 

Inisiatif masyarakat

Sisi lain masyarakat mandiri berusaha mengurangi ketergantungan listrik melalui PLN yang masih dominan gunakan batubara.

Bambang Sumaryo Hadi, Ketua Perhimpunan Pengguna Listrik Surya Atap (PPLSA) mengatakan,  kebutuhan listrik skala rumah tangga di Indonesia sebenarnya bisa dipenuhi mandiri dengan listrik surya atap (rooftop).

Luasan rumah rata-rata penduduk Indonesia dan sinar matahari sekitar 3-4 jam per hari cukup memenuhi kebutuhan masak dan barang elektronik di rumah.

Bagi masyarakat tinggal di apartemen atau rumah susun sekalipun, bisa tetap memenuhi kebutuhan energi mandiri dengan menyewa kebun atau lahan orang lain.

“PPLSA pada 2015 dibentuk, saat itu diresmikan Menteri Sudirman Said, kita mencoba kebutuhan listrik yang kita pakai sendiri, kita bangkitkan sendiri,” kata Bambang.

Saat ini, untuk skala kecil di Jakarta, masih bisa terhubung dengan PLN. Namun, katanya, belum banyak masyarakat tahu dan sadar potensi ini.

“Belum semua daerah, PLN bisa dan mau bekerjasama dengan  baik untuk menerima listrik PV. Daerah masih kesulitan.”

Pengurus Harian Yayasan Lembanga Konsumen Indonesia (YLKI) Sudaryatmo kembali mengingatkan, konsumen berhak atas lingkungan hidup sehat. Konsumen, katanya,  berhak mendapatkan informasi tentang udara yang mereka hirup.

“Kita tahu Jakarta masih unhealthy. Siapa yang wajib menyediakan informasi itu?” katanya.

Saat ini,  data real time kondisi udara Jakarta baru bisa didapat dari Kedutaan Amerika Serikat. Publik, katanya, bisa menuntut ini kepada Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Kemenkes dan Pemerintah Jakarta.

“Untuk risiko polusi udara masyarakat berhak dapat ganti rugi kesehatan. Ke lembaga mana kita minta ganti rugi? Ke pemerintah atau perusahaan pembangkit?”

YLKI menilai,  perlu ada tekanan publik menuntut pemerintah berhenti menggunakan energi yang menyebabkan polusi.

Penting juga, katanya,  menyampaikan pesan kepada perusahaan pembangkit listrik bahwa mereka juga bertanggungjawab terhadap korban pencemaran.

 

Keterangan foto utama: Ma’ani (40 ) dengan bayinya (6 bulan) di depan rumah yang ditutupi kain tebal untuk melindungi mereka dari debu batubara PLTU di dekatnya, Cilacap Jawa Tengah. Salah satu anaknya, Juniko Ade Putra meninggal pada usia 2,5 tahun Juni 2011 dari penyakit pernapasan diyakini karena debu batubara. Foto: dokumentasi Greenpeace/Kemal Jufri

Batubara ciptakan masalah dari hulu ke hilir., dari tambang hingga penggunaan seperti buat pembangkit listrik Foto: Tommy Apriando/ Mongabay Indonesia

 

Exit mobile version