Mongabay.co.id

KPU: Calon Presiden Penting Punya Arah Jelas Perlindungan Lingkungan

Hutan rusak jadi kebun sawit di Aceh. Foto: Junaidi Hanafiah/ Mongabay Indonesia

Kini, Indonesia, memasuki tahun politik untuk pemilihan presiden. Para calon seharusnya dapat menujukkan arah jelas dan komitmen kuat mereka dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan, termasuk hutan di negeri ini.

Baca juga: Tahun Politik Rawan Bagi-bagi Izin, Ancaman buat Lingkungan dan Warga

Wahyu Setiawan, Komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) mengatakan, selalu ada kaitan antara politik kebijakan pemerintah dengan lingkungan hidup. Salah satu episentrum perilaku koruptif penyelenggara negara, katanya,  berkaitan dengan isu lingkungan hidup, pengelolaan sumber daya alam, termasuk perizinan.

“Memang perlu perhatian, bagaimana isu lingkungan jadi arus utama. Betapa mengerikan jika presiden terpilih nanti tidak punya arah jelas soal pengelolaan lingkungan,” katanya, pekan lalu di Jakarta.

Dia mengatakan, isu-isu besar usungan organisasi-organisasi lingkungan hidup juga perlu menginjak bumi hingga tidak elitis. Dengan begitu, katanya, rakyat, bisa paham dengan isu lingkungan.

“Salah satu tema utama materi debat [capres] adalah isu lingkungan. Kira-kira isu lingkungan apa yang relevan dengan lima tahun ke depan kepemimpinan politik? Saat pilkada kemarin isu lingkungan juga jadi salah satu materi debat. Kami ingin tahu apa komitmen mereka?” katanya.

KPU, katanya,  punya komitmen kuat mengarusutamakan isu lingkungan dalam pilkada maupun pilpres. Alasan itulah, katanya, yang membuat KPU memunculkan isu lingkungan.

“Tapi tentu kita tidak bisa mengatur apakah dalam visi misi kandidat itu mereka memasukkan isu lingkungan atau tidak. Karena kepentingan KPU, kita ingin memberitahukan ke masyarakat, kandidat ini perhatian ke isu lingkungan kaya’ gimana? Debat itu juga salah satu bagian dari kampanye. Kepentingan KPU adalah memberikan kesempatan ke kandidat menjelaskan gimana visi misi programnya.”

 

 

Komitmen kepala daerah lemah

Bercermin dari pemilihan kepala daerah akhir Juni lalu, memperlihatkan, para kepala daerah yang terpilih minim komitmen lingkungan. Yayasan Madani Berkelanjutan,  melakukan riset bertajuk “Laporan Terkini: Hutan Indonesia dalam Pemilu 2019” berisi hasil pemantauan berdasarkan hasil pilkada serentak lalu.

Hasilnya memperlihatkan, gubernur dan wakil terpilih dalam pilkada serentak, belum memiliki komitmen kuat dalam penyelamatan hutan alam dan ekosistem gambut. Pengakuan hak-hak masyarakat adat atau lokal juga lemah. Kondisi ini menyebabkan, 61,6 juta hektar hutan alam (69% dari total hutan alam tersisa), terancam tak mendapatkan perlindungan di masa depan.

M Teguh Surya, Direktur Eksekutif Yayasan Madani Berkelanjutan di Jakarta, pekan lalu menyayangkan, kontestasi politik 2019 hanya berisi huru hara perebutan kekuasaan. Tidak jelas apa yang diperjuangkan selain perebutan kekuasaan.

“Yang terjadi hanya saling membongkar keburukan dan aib. Sementara kita ingin ada capres pemimpin yang memiliki itikad baik dan inisiatif-inisiatif membangun bangsa ini ke depan. Seharusnya,  punya langkah ke depan dan ngerti betul mau ngapain. Salah satu, tertuang tegas dan jelas komitmen mereka menegakkan hak konstitusional, hak atas lingkungan hidup yang bersih dan sehat,” katanya.

Luas kawasan hutan di 17 provinsi yang baru-baru ini memilih pemimpin baru mencapai 78,8 juta hektar dari luas kawasan hutan Indonesia. Tutupan hutan 61,6 juta hektar ditambah 4,5 juta hektar hutan tanaman.

Laju hilang hutan alam pada 17 provinsi 2015-2016–termasuk Kalimantan Utara kala masih bagian Kalimantan Timur–adalah 395.227 hektar atau 83% dari laju deforestasi nasional Indonesia pada 2017. Jumlah ini, katanya, bisa jadi jauh lebih tinggi jika memasukkan kabupaten-kabupaten di luar ke-17 provinsi itu.

Menurut Teguh, menempatkan perlindungan lingkungan hidup, hutan dan ekosistem gambut, serta hak-hak masyarakat secara jelas, tegas dalam visi, misi dan program kerja kepala daerah terpilih dan presiden terpilih sangatlah penting.

 

Peledakan buat tambang batubara hanya berjarak puluhan meter dari perumahan warga di Kaltim. Foto: Tommy Apriando/ Mongabay Indonesia

 

Publik, katanya, penting mengetahui pembangunan ekonomi yang hendak dicapai pemimpin ke depan.

Data Direktorat Pengaduan Konflik, Tenurial, dan Hutan Adat Ditjen Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan menyebutkan, terdapat 14,5 juta hektar kawasan hutan negara berpotensi konflik dan ada kesenjangan tinggi dalam alokasi pengusahaan hutan. Sekitar 97% kawasan hutan untuk korporasi dan hanya 3% kelola komunitas/masyarakat.

Pada pilpres 2019, katanya, penting memastikan penyelamatan hutan dan ekosistem gambut jadi prioritas dalam visi, misi, dan program kerja semua kandidat presiden.

Anggalia Putri, Direktur Program Hutan dan Iklim Yayasan Mandiri Berkelanjuan mengatakan, kalau melihat visi misi kepala daerah, sebagian besar yang terpilih hanya membungkus isu lingkungan hidup dan hak masyarakat adat atau lokal sebagai ‘blanket concept’.

“Visi-Misi mereka tak menjelaskan spesifik masalah lingkungan yang akan diatasi dan model pembangunan seperti apa yang hendak diwujudkan. Padahal, gubernur memiliki posisi strategis menyelamatkan hutan dan lahan gambut tersisa karena kewenangan kehutanan di kabupaten ditarik ke provinsi,” katanya.

Anggi bilang, hampir semua gubernur dan wakil terpilih dalam kontestasi pilkada serentak menyebut isu lingkungan hidup dalam visi misi. Sayangnya, sebagian besar tak spesifik. “Mayoritas hanya menyebut kalimat pelestarian lingkungan, atau “pembangunan berkelanjutan. Tanpa menyebut langkah spesifik dan apa yang akan dilakukan menuju hal itu.”

Di Sumatera, ada dua wilayah prioritas Badan Restorsi Gambut:  Riau dan Sumatera Selatan—sebagai provinsi rentan kebakaran hutan dan lahan.  Dalam visi misi, gubernur dan wakil terpilih, Syamsuar-Edy Nasution menyebutkan spesifik soal karhutla, pengurangan bencana, penegakan hukum lingkungan, restorasi mangrove bahkan perubahan iklim.

Di Sumsel, pasangan Herman Deru-Mawardi Yahya, meskipun menyebut pembangunan berkalanjutan, malah ingin meningkatkan perkebunan sawit, hutan tanaman industri dan biofuel sebagai energi alternatif.

Gubernur terpilih provinsi lain, katanya, menyebutkan rencana mengatasi permasalahan lingkungan spesifik yaitu Kalimantan Barat (pasangan Sutarmidji-Ria Norsan). Meski dalam visi misi mereka mengatakan akan mencegah karhutla, tetapi merencanakan peningkatan perkebunan sawit.

Soal isu hak masyarakat adat dan lokal atas sumber daya alam, hanya gubernur dan wagub terpilih Papua menyebut hal itu secara khusus dalam visi misi. Dia juga menyebut soal pembangunan berkelanjutan, pelestarian lingkungan, dan ekowisata.

 

Kabar buruk bagi alam

Anggi mengatakan, pilkada dan pilpres hampir selalu jadi kabar buruk bagi hutan dan gambut Indonesia. Tiap mau pesta demokrasi ini terjadi obral izin industri ekstraktif seperti sawit dan tambang.

“Ada lonjakan izin ekstraktif di Riau dan Kaltim. Temuan KPK menyebut ada 2.500-an izin sudah harus dicabut, itu semua tidak ditindaklanjuti,” katanya.

Selama 15 tahun terakhir, kecuali 2006, titik panas tertinggi itu menjelang pilkada. “Kita mau lihat apakah ini terjadi lagi saat pilpres?”

 

 

Keterangan foto utama: Hutan rusak jadi kebun sawit di Aceh. Foto: Junaidi Hanafiah/ Mongabay Indonesia

Hutan marga Wonijai yang ditebang perusahaan perkebunan sawit, meninggalkan polemik atas kepemilikannya. Foto: Chris Paino

 

 

 

 

 

Exit mobile version