Mongabay.co.id

Lokasi Wisata Hiu Paus Ini Bertabur Sampah Plastik

 

Sejak 2016, kehadiran hiu paus (Rhincondon Typus) di Desa Botubarani, Kecamatan Kabila Bone, Kabupaten Bone Bolango, Gorontalo, menjadi perhatian masyarakat. Salah satu alasan membludaknya pengunjung adalah lokasinya yang cukup dekat dari pusat Kota Gorontalo. Hanya 15-30 menit. Sementara jarak perairan laut yang menjadi kemunculan hiu paus dari bibir pantai itu sekitar 50 meter dari pesisir.

Untuk melihat hiu paus, pengunjung bisa naik perahu dengan membayar Rp25 ribu per kepala. Perahu di dayung dan hanya 2-3 menit tiba di titik poin hiu paus. Pemilik perahu akan memanggil hiu paus dengan cara mengetuk-ngetuk dayung atau badan perahu. Kepala udang menjadi umpan, tak lama kemudian hiu paus muncul. Cara lainnya adalah snorkeling atau berenang dari bibir pantai ke arah hiu paus.

Model interaksi yang relatih murah dan mudah dengan hiu paus inilah yang menjadi daya tarik pengunjung, dalam maupun luar negeri. Namun, persoalan yang sering muncul dibalik banyaknya pengunjung adalah sampah. Terutama sampah plastik yang bertebaran di pantai dan laut.

Seperti yang terjadi pada Minggu pagi, 9 September 2018. Sampah plastik banyak mengambang di laut. Tepat di titik poin wisata hiu paus. Kemunculan dua ekor ikan raksasa di dunia itu, disambut sampah-sampah plastik. Mulai dari tas, pembungkus permen, pembalut wanita, popok bayi, hingga sedotan.

Baca: Wisata dan Ancaman Kelestarian Hiu Paus di Gorontalo Itu Memang Ada

 

Seorang peneliti sedang menyelam bersama hiu paus atau whale sharks di Teluk Cendrawasih, Papua. Foto: Shawn Heinrichs/Conservation International

 

Elviyen Biahimo, seorang pengunjung yang berenang menggunakan alat snorkeling, tergerak hati membersihkan sampah-sampah itu. Ia mengumpulkan dan memberikannya kepada pengemudi perahu. Pengemudi perahu biasanya bertugas sebagai pemandu bagi pengunjung.

“Ketika hiu paus membuka mulutnya, saya lihat makanan yang diberikan pengunjung masuk bersamaan dengan gelas plastik di sekitarnya,” ungkap Elviyen.

Kegiatan wisata memberi makan kepada hiu paus di Desa Botubarani, Gorontalo ini, sama dengan kegiatan wisata yang sudah lebih dulu ada di Oslob, Cebu, Filipina.

“Saya sudah berusaha memandu dan mengarahkan pengunjung untuk tidak membuang sampah. Tapi, ada yang tidak bisa dikontrol. Sampah plastik yang ada di sini biasanya datang dari darat atau tempat lain, lalu dibawa arus air,” ungkap Arfan Napu, pengemudi perahu.

Pagi itu juga, masyarakat pesisir pantai Botubarani bekerja sama dengan pemerintah kecamatan dan desa melakukan bersih-bersih pantai di objek wisata tersebut. Belasan anak usia sekolah dasar dilibatkan. Mereka membawa sapu lidi dan karung, mengangkut puluhan puntung rokok, botol plastik dan pembungkus permen.

“Bersih-bersih ini dilakukan setiap Jumat oleh aparat kecamatan dan desa. Namun hari ini melibatkan banyak orang,” kata Camat Kabila Bone, Darwin Maksum.

Baca: Wisata Hiu Paus di Gorontalo dan Kelestarian yang Harus Dijaga

 

Hiu paus ini yang menjadi daya tarik wisata di Desa Botu Barani, Kecamatan Kabila Bone, Kabupaten Bone Bolango, Gorontalo. Foto: Christopel Paino/Mongabay Indonesia

 

Ketua Kelompok Masyarakat Sadar Wisata Hiu Paus di Desa Botubarani, Abdul Wahab Matoka, menjelaskan bahwa persoalan terbesar yang mereka hadapi adalah perilaku pengunjung. Mereka berinteraksi dengan hiu puas tidak sesuai standar atau pedoman.

“Masalah besar lainnya adalah sampah plastik yang mengotori pantai dan laut di lokasi hiu paus,” kata Wahab.

Stephanie Jedlitschka, penulis kebangsaan Jerman yang sejak beberapa bulan tinggal bersama masyarakat Desa Botubarani, menyayangkan kondisi ini. Menurutnya, sampah plastik adalah masalah besar yang umum terjadi di Indonesia. Ia melihat semua yang dibelanjakan masyarakat banyak berbahan plastik dan mengisinya di kantong plastik.

“Saya melihat sampah plastik dibuang ke laut, kemudian dimakan ikan dan kita makan ikan. Begitu juga dengan hiu paus, saya tidak tahu apa yang akan terjadi ketika sampah plastik masuk ke perutnya,” kata Stephanie kepada Mongabay.

DIa berpendapat pengelolaan sampah di lokasi wisata hiu paus belum tertata rapi. “Saya kira solusinya adalah menyiapkan tempat pengumpulan sampah daur ulang. Selain itu, kita harus terus mengedukasi masyarakat,” ungkapnya.

Baca: Jangan Biarkan, Nasib Hiu Paus di Gorontalo Merana

 

Sampah plastik bertaburan di lokasi wisata hiu paus di Desa Botubarani, Kecamatan Kabila Bone, Kabupaten Bone Bolango, Gorontalo. Tampak seorang pengunjung mengangkut sampah-sampah itu. Foto: Christopel Paino/Mongabay Indonesia

 

 

Belum maksimal

Nasruddin, Kepala Bidang Pengkajian dan Penataan Lingkungan, Dinas Lingkungan Hidup Provinsi Gorontalo, menyebutkan bahwa pengelolaan sampah plastik di lokasi hiu paus belum maksimal. Hal yang perlu dilakukan adalah terus menggaungkan aksi bersih-bersih pantai setiap minggu. Juga penyadaran kepada masyarakat dan para pengunjung untuk tidak membuang sampah sembarangan.

Nasruddin menjelaskan, dinas lingkungan hidup mempunyai kewajiban menyediaka sarana dan prasarana pengelolaan sampah di lokasi wisata. Sebut saja komposter, tempat sampah terpilah, bank sampah, dan peralatan untuk mengambil sampah plastik di perairan.

“Namun harus ada petugas khusus yang melakukannya,” jelasnya.

Berdasarkan data pengunjung ke lokasi wisata hiu paus Mei 2018, tercatat wisatawan nusantara (1.025 orang) dan wisatawan mancanegara (295 orang). Juni 2018, wisatawan nusantara (5.360 orang) dan mancanegara (249 orang). Juli 2018, wisatawan nusantara (5.688 orang) dan mancanegara (249 orang). Agustus 2018, tercatat 1.807 wisawatawan nusantara, dan 431 orang wisatawan mancanegara.

“Wisata hiu paus luar biasa magnetnya. Sayang, di Botubarani ini belum dijadikan kawasan konservasi,” ungkap Donald Wahani, penggiat wisata dan juga penyelam di Gorontalo.

Baca juga: Konservasi Hiu Paus Perlukan Data Populasi dan Pola Migrasi. Untuk Apa?

 

Kesadaran semua pihak diperlukan untuk tidak buang sampah sembarangan, terlebih mengotori laut. Tampak pengunjung mengutip sampah plastik yang merupakan tempat hidupnya hiu paus di Gorontalo. Foto: Christopel Paino/Mongabay Indonesia

 

 

Di Indonesia, sejak 2013, hiu paus telah ditetapkan perlindungannya berdasarkan Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 18 Tahun 2013. Pemanfaan terhadap hiu paus salah satunya untuk sektor pariwisata.

Namun untuk pengembangan ekowisata berbasis hiu paus di Indonesia harus menekankan aspek konservasi yang bertujuan untuk menjaga kelestarian alam dan hewan. Untuk keperluan tersebut Kementerian Kelautan dan Perikanan sendiri sudah menerbitkan buku “Pedoman Wisata Hiu Paus” yang bisa dijadikan panduan bagi siapapun.

Hiu paus adalah ikan terbesar di dunia dan diyakini oleh para peneliti dapat tumbuh mencapai panjang 18 meter dengan berat lebih dari 20 ton. Secara internasional, populasi hiu paus rawan ancaman kepunahan (dalam konvensi internasional CITES masuk dalam Apendiks II), karena ikan ini banyak diburu untuk sirip dan minyaknya.

Di Indonesia, potensi pengembangan ekowisata berbasis hiu paus sangat besar peluangnya. Apalagi, jika berkaca pada hasil di negara lain, ekowisata ini berpotensi cukup menjanjikan. Sebagai contoh, Maladewa mencatat pemasukan sebesar USD 7,6 juta pada 2012 dan USD 9,4 juta pada 2013 dari pembelanjaan langsung wisatawan di Kawasan Konservasi Laut South Ari.

 

 

Exit mobile version