Mongabay.co.id

Konservasi Tiada Henti Michael Wangko untuk Sampiri

Michael Fitzgerald Wangko adalah satu dari sedikit nama yang segera diingat jika membicarakan konservasi di Kabupaten Kepulauan Talaud, Sulawesi Utara. Mike, sebutan akrabnya, terbilang lantang menyuarakan penyelamatan nuri talaud (Eos histrio talautensis) atau yang dalam nama lokal disebut sampiri.

Burung ini oleh International Union for Conservation of Nature (IUCN) dikategorikan endangered (terancam). Ia juga masuk Appendix I atau hanya boleh diperdagangkan untuk kepentigan riset. Sementara, pemerintah Indonesia menetapkannya sebagai salah satu jenis burung yang dilindungi Undang-Undang.

Hutan di pulau Karakelang, Talaud, disebut-sebut jadi satu-satunya habitat alami nuri yang juga dikenal dengan nama red-and-blue lory ini. Sebab, subspesies lain yang tersebar di Sangihe dan pulau Miangas diperkirakan telah punah. Sayangnya, berdasarkan catatan IUCN pada tahun 1999, di pulau Karakelang pun populasi sampiri hanya tersisa 8.000 hingga 21.000 individu.

Ada beberapa faktor yang menyebabkan keterancaman populasi sampiri, misalnya perburuan untuk diperdagangkan hingga perombakan hutan. Berdasarkan catatan Burung Indonesia, dalam kurun 2004-2006, sebanyak 358 individu sampiri dikirim atau siap diselundupkan ke Filipina.

Kondisinya semakin diperparah dengan pengawasan dan penegakan hukum yang belum maksimal. Faktor-faktor itu jadi sebagian alasan yang mendorong Mike untuk melibatkan diri dalam agenda penyelamatan sampiri.

baca : Polisi Gagalkan Penyelundupan 111 Nuri Talaud ke Filipina

 

Michael Wangko dalam berbagai kesempatan terus menyuarakan konservasi dan penyelamatan burung Nuri endemik Talaud atau sampiri. Foto : Michael Wangko/Mongabay Indonesia

 

Perkenalan awal dengan sampiri dimulai dalam sebuah riset ketika dia masih berstatus mahasiswa. Seiring waktu, Mike berkontribusi dalam sejumlah publikasi terkait sampiri maupun topik-topik konservasi di Kabupaten Kepulauan Talaud.

Selain itu, bersama warga lokal, ia terlibat dalam pembentukan Komunitas Pecinta Alam Karakelang (Kompak). Bersama komunitas ini, Mike meneriakkan pentingnya penyelamatan sampiri, serta melibatkan diri dalam patroli yang diselenggarakan oleh otoritas setempat.

Kerja-kerja konservasi, yang dilakukannya sekitar 20 tahun terakhir, seakan terbayar ketika pemerintah kabupaten mencanangkan sampiri sebagai maskot daerah. Meski belum ada ketetapan formal, namun Mike menganggapnya sebagai sebuah langkah maju dalam dunia konservasi di Talaud.

Sabtu (1/9/2018), Mongabay Indonesia berkesempatan menemuinya di Manado. Lebih dari 2 jam dia menceritakan pengalamannya dalam kampanye penyelamatan sampiri, serta sejumlah masalah konservasi yang masih dihadapi sampai hari ini.

baca juga : Indonesia Timur Masih Menjadi Titik Rawan Penyelundupan Satwa Dilindungi

 

Seekor dari tujuh ekor nuri talaud (Eos histrio talautensis) yang disita dari rumah seorang warga di Kelurahan Beo Barat, Kecamatan Beo, Kabupaten Kepulauan Talaud, Sulawesi Utara, Sabtu (11/6/2016). Nuri talaud bernama lokal sampiri merupakan burung endemik yang dilindungi peraturan. Foto : Themmy Doaly/Mongabay Indonesia

 

Berikut hasil wawancaranya :

Mongabay Indonesia: Bagaimana ceritanya bisa terlibat konservasi, khususnya penyelamatan sampiri di Talaud?

Michael Wangko (Mike): Awalnya dari survei keanekaragaman hayati. Pada tahun 1995, ada 5 mahasiswa dari York University, Inggris, datang untuk bikin ekspedisi burung di Sangihe dan Talaud. Mereka bekerjasama dengan 5 mahasiswa Fakultas Pertanian Universitas Sam Ratulangi Manado, khususnya Mahasiswa Pecinta Alam Areca Vestiaria. Waktu itu saya ketua Mapala.

Kemudian, tahun 1996-1999, kami lanjut program Action Sampiri. Program itu meliputi survei Keanekaragaman Hayati, serta bikin edukasi ke masyarakat. Tahun 1998, program Action Sampiri dapat award dari British Petroleum. Saya diundang ke Inggris.

Dari kegiatan-kegiatan tersebut saya tertarik untuk bikin beberapa hal untuk Talaud. Artinya, saya bisa (diundang) ke Inggris karena sampiri. Saya harus berbuat sesuatu, saya harus selamatkan burung ini. Seiring waktu, saya kembali terlibat dalam beberapa kegiatan lain sehubungan dengan konservasi di Talaud.

Pada tahun 2012, karena tidak ada wadah, saya membentuk Komunitas Pecinta Alam Karakelang (Kompak). Lewat komunitas ini kami bekerjasama dengan BKSDA, ikut patroli dan penyitaan, survei lokasi-lokasi pariwisata, kemudian tahun 2015 kami bikin program “Selamatkan Sampiri”.

baca juga : Ayo, Manfaatkan Pendanaan Konservasi di Sangihe, Talaud dan Koridor Laut Sulut

 

Sejumlah burung nuri talaud (Eos histrio talautensis) yang disita dari rumah seorang warga di Kelurahan Beo Barat, Kecamatan Beo, Kabupaten Kepulauan Talaud, Sulawesi Utara, Sabtu (11/6/2016). Nuri talaud bernama lokal sampiri merupakan burung endemik yang dilindungi peraturan. Foto : Themmy Doaly/Mongabay Indonesia

 

Mongabay Indonesia: Seberapa terancam populasi sampiri di habitat alaminya?

Mike: Sampiri sebenarnya ada 3 anak jenis atau subspesies, Eos histrio histrio di Sangihe, Eos histrio talautensis di Talaud dan Eos histrio challengeri di pulau Miangas. Tapi, sampai tahun 1996 atau 1997, tidak pernah ditemukan lagi Eos histrio di Sangihe maupun di Miangas. Hanya tersisa sampiri (Eos histrio talautensis). Tapi, karena perambahan hutan, perburuan dan perdagangan, sampiri di pulau Karakelang pun masih terancam. Itu yang membuat kami lebih fokus.

Mongabay Indonesia: Bagaimana pelibatan masyarakat dalam kampanye penyelamatan sampiri?

Mike: Kami sudah bikin beberapa kegiatan, misalnya sosialisasi, kampanye dan himbauan. Lalu, lewat pendanaan Critical Ecosystem Partnership Fund (CEPF), kami coba bikin survei untuk mengetahui kesadaran masyarakat mengenai sampiri.

Bersama Yayasan Idep Selaras Alam, kami coba menawarkan solusi penyelamatan sampiri. Karena banyak orang menangkap sampiri dengan alasan ekonomi, kami coba tawarkan lewat pertanian berkelanjutan, permakultur, dan melatih ibu-ibu untuk memanfaatkan hasil kebun supaya jadi produk olahan.

Kami juga membentuk 6 kelompok pecinta alam, melatih mereka dan memberi penguatan kapasitas anggota. Harapannya, kelompok-kelompok kecil ini bisa mandiri dan mengembangkan potensi desa. Misalnya mengelola ekowisata desa masing-masing.

baca juga : Kisah Opa Zaka, Dari Penangkap Jadi Pelindung Nuri Talaud  

 

Michael Wangko (tengah jongkok) bersama aparat kepolisian Polres Talaud yang menggagalkan penyelundupan 111 nuri Talaud. Namun, nuri-nuri ini tak bisa langsung dilepasliarkan hingga dimasukkan ke PPS Tasikoki. Foto: Rcyhter/Kompak/Mongabay Indonesia

 

Mongabay Indonesia: Pesan yang disampaikan pada masyarakat agar mau terlibat dalam penyelamatan sampiri?

Mike: Pertama, sampiri endemik Talaud. Dari 3 anak jenis, tersisa eos histrio talautensis, itupun hanya ada di pulau Karakelang. Di beberapa pulau di Talaud dilaporkan ada, tapi populasinya kecil. Ia punya peran bagi keberlanjutan hutan dan makan hama Sexava nubilalis yang banyak merugikan petani.

Sampiri juga bisa jadi sumber pendapat dalam bentuk daya tarik wisata di Talaud, wisata ekologi. Saya pernah bilang pada tua-tua adat bahwa burung ini dekat dengan falsafah hidup orang Talaud yaitu sansiote sampate-pate, kerjasama dan gotong royong. Sampiri ini hidup berkelompok, selalu bersama-sama. Manusia jaga sampiri, sampiri jaga keberlanjutan hutan. Inilah falsafah gotong royong dan kerjasama itu.

Mongabay Indonesia: Apa Saja Kendala yang dihadapi?

Mike: Banyak desa di Karakelang, hampir ada burung (sampiri). Tapi kami pikir, kalau kami ambil, tidak ada tempat rehabilitasi. Sementara, banyak burung yang sudah dicabut bulu primernya. Jadi, perlu pemeliharaan khusus untuk memulihkan kesehatan burung-burung ini agar bisa dilepas ke alam liar. Tidak bisa sekedar ambil lalu lepas. Bisa berbahaya. Jadi, kami hanya bisa menghimbau, burung yang ada di rumah jangan dijual, jangan tangkap atau beli lagi. Tapi kami juga bilang, kalau mereka bersedia dan sukarela menyerahkan ke BKSDA atau pada kami, ya, silakan.

Kendala lain adalah penegakan hukum. Walau di Karakelang ada Suaka Margasatwa yang luasnya hampir 25.000 hektar, tapi staf BKSDA hanya 6 orang. Belum lagi persoalan birokrasi. Misalnya, beberapa pelanggaran yang ditemukan lambat ditangani. Kami lapor pembukaan hutan ke BKSDA setempat, lalu disuruh lapor ke lembaga lain yang lebih berwenang. Jadi lama di birokrasi.

menarik dibaca : Dilema Konservasi, Sita 7 Burung Endemik, Tak Ada Pusat Rehabilitasi di Talaud

 

Michael Wangko menandatangani perjanjian kerjasama dalam program rilis sampiri pada tahun 2014 silam. Foto : Michael Wangko/Mongabay Indonesia

 

Mongabay Indonesia: Bagaimana masyarakat dan Pemerintah Kabupaten menilai program atau kampanye penyelamatan sampiri?

Mike: Masyarakat setuju sampiri jadi maskot kabupaten. Dari situ kami dorong pemerintah daerah untuk tetapkan sampiri jadi maskot Talaud. Sudah dicanangkan, tapi belum ada regulasinya. Itu yang sampai sekarang terus kami dorong.

Mongabay Indonesia: Jadi maskot Kabupaten? Bagaimana ceritanya?

Mike: Penetapannya di hari bumi, 20 April 2018, oleh Petrus Simon Tuange, Plt Bupati Talaud. Tapi, idenya sudah lama. Saya pikir, kalau sampiri ditetapkan sebagai maskot, burung ini akan dihargai. Masyarakat tidak mau lagi menangkap dan pemerintah lebih serius menjaganya. Sebagai maskot daerah, seluruh lapisan masyarakat akan bersama-sama menjaga dan menjadikannya sebagai warisan. Ia akan menjadi bagian dari identitas masyarakat. Seperti cenderawasih di Papua atau manguni (burung hantu) di Minahasa. Masyarakat akan marah kalau burung itu ditangkap.

baca : Melihat Desa Konservasi di Talaud Sulut

 

Penyelundupan nuri Talaud yang berhasil digagalkan Polres Talaud. Foto: Rychter/Kompak/Mongabay Indonesia

 

Mongabay Indonesia: Rencana kedepan untuk penyelamatan sampiri?

Mike: Sekarang kami punya Sampiri Information Center (SIC), yang merupakan bagian dari program Yayasan Idep Selaras Alam. Lewat SIC, kami akan menampung produk rumah tangga dari desa-desa binaan. Kemudian, jika ekowisata desa jalan, kami akan jadi contact person, pusat informasi, mengelola keuangan dan sebagainya. Setelah program itu selesai, SIC akan tetap jalan. Yayasan Idep Selaras Alam akan tetap pantau.

Kami juga sedang menunggu legalitas Perda (sampiri sebagai maskot Talaud). Walau belum ada ketetapan formal, tapi pencanangan sampiri sebagai maskot kabupaten jadi semacam apresiasi dari pemerintah kabupaten pada kerja-kerja konservasi di Talaud. Semoga Bupati Talaud yang baru bisa meneruskan tujuan dan harapan kami.

 

Exit mobile version