Mongabay.co.id

SKPT Sebatik, Beranda Ekonomi di Penghujung Utara Kalimantan

Kesibukan nelayan dan masyarakat yang terlihat di Lampulo, Banda Aceh, Aceh. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

Pembangunan sentra kelautan dan perikanan terpadu (SKPT) Sebatik di Provinsi Kalimantan Utara (Kaltara), terus mendapat perhatian dari Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP). Pusat industri yang khusus akan menyelenggarakan transaksi bisnis untuk sektor kelautan dan perikanan itu, saat ini terus mendapat polesan. Ditargetkan, pada Desember 2018 SKPT Sebatik sudah bisa dioperasikan untuk umum.

Pembangunan SKPT Sebatik sendiri, saat ini ada di bawah kewenangan langsung Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap (DJPT) KKP. Lokasi tersebut, diharapkan bisa memicu pertumbuhan ekonomi di Provinsi Kaltara, khususnya Sebatik dan sekitarnya. Demikian diungkapkan Plt. Direktur Pengelolaan Sumber Daya Ikan (PSDI) Yuliadi pekan lalu di Jakarta.

baca :  Sudah Dua Tahun, Kenapa Pembangunan SKPT Berjalan Sangat Lamban?

 

Rencana pembangunan 20 Sentra Kelautan dan Perikanan (SKPT) oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan

 

Menurut dia, pembangunan SKPT Sebatik dilakukan secara kontinu dalam waktu dua tahun terakhir. Pembangunan tersebut, difokuskan pada penyediaan sarana dan prasarana yang dibutuhkan untuk kenyamanan transaksi bisnis. Adapun, fasilitas yang dibangun, di antaranya adalah 60 unit kapal perikanan dan alat penangkapan ikan, serta ice flake machine (IFM) berkapasitasn 10 ton.

Kemudian, menurut Yuliadi, dalam periode pembangunan dari 2017 hingga 2018 itu, juga dibangun ice compactor, causeway dan trestle pusat pendaratan ikan (PPI) Sebatik, fasilitas pelabuhan seperti kantor administrasi, kantor layanan, tempat perbaikan jaring, balai pertemuan nelayan, toilet umum, ground tank dan integrated cold storage (ICS).

“Tak lupa, dibangun juga fasilitas pendukung berupa bengkel nelayan, kios nelayan, pos jaga, TPI (tempat pelelangan ikan) higienis, pagar depan, mess operator, dan guest house yang bersumber dari DAK (dana alokasi khusus) provinsi senilai Rp10 miliar,” ungkapnya.

Pembangunan fasilitas yang dilakukan secara terus menerus itu, kata Yuliadi, memberi perubahan yang banyak pada wajah SKPT Sebatik. Sebelum dilaksanakan pembangunan yang kontinu, SKPT Sebatik kondisinya sangat memprihatinkan dengan ditandai banyak sarana dan prasarana yang sudah mengalami kerusakan.

baca juga : Mengapa Komitmen Pemerintah untuk Membangun SKPT di Pulau Terluar Terus Turun?

 

Aktivitas nelayan dalam perahunya di Pelabuhan Perikanan Pantai Dagho, Kota Tahuna, ibukota Kabupaten Kepulauan Sangihe, pada Jumat (16/09/2016). Pelabuhan Dagho menjadi tempat pembangunan sentra bisnis kelautan dan perikanan terpadu (SKPT). Foto : Themmy Doaly/Mongabay Indonesia

 

Pembangunan Fasilitas

Dia mencontohkan, fasilitas trestle yang sudah dibangun sebelumnya, materialnya terbuat dari kayu dan sudah mengalami kerusakan yang parah. Kondisi itu mengakibatkan banyak nelayan yang tidak mau memanfaatkan fasilitas tersebut. Fasilitas trestle dipakai untuk aktivitas bongkar muat kapal.

“Tak hanya itu, fasilitas pendukung lainnya juga ternyata belum ada. Untuk itu, begitu menjadi SKPT, kita bangun apa yang dibutuhkan. Sehingga, sebagian beranda Indonesia yang berhadapan langsung dengan Malaysia, Sebatik menjadi sangat layak fasilitasnya,” tuturnya.

Saat ini, melalui pembangunan yang sudah berjalan selama dua tahun, bukan hanya fasilitas trestle yang sudah bisa dinikmati oleh nelayan, fasilitas seperti causeway yang menjadi penghubung antara daratan dengan bangunan dermaga atau pelabuhan, juga sudah ada dan bisa dinikmati oleh nelayan. Bagi Yuliadi, semua fasilitas itu harus bisa dimanfaatkan oleh semua pihak untuk meningkatkan aktivitas perekonomian.

“Jika itu terjadi, maka kesejahteraan nelayan Sebatik dan sekitarnya juga akan meningkat,” tandasnya.

Yuliadi menambahkan, sebelum bisa mengoperasikan SKPT Sebatik, pihaknya lebih dahulu melakukan koordinasi dengan banyak pihak terkait seperti nelayan, pengusaha ikan, karantina, bea cukai, perdagangan, imigrasi, dan lainnya. Tak hanya itu, demi kelancaran aktivitas perekonomian, KKP juga berkoordinasi dengan Malaysia yang dipastikan akan menjadi tujuan utama ekspor dari Sebatik.

“Kita ingin, Sebatik ini menjadi pusat ekspor perikanan untuk kawasan Nunukan, dan Kaltara,” tegasnya.

baca : Liputan Natuna : Di Selat Lampa, Harapan Warga Natuna Ditambatkan (Bagian 1)

 

Lokasi pembangunan Pelabuhan di Selat Lampa, Natuna, Kepulauan Riau pada awal September 2016. Pembangunan pelabuhan itu sebagai bagian dari pembangunan sentra perikanan dan kelautan terpadu (SKPT) dari program KKP. Foto : M Ambari/Mongabay Indonesia

 

Sebagai kawasan terdepan Indonesia, Sebatik menjadi harapan baru bagi warga dan nelayan yang ada di Nunukan dan sekitarnya. Terlebih, potensi perikanan di kawasan tersebut saat ini sangat bagus dan masuk dalam wilayah pengelolaan perikanan (WPP) 716. Pembagian itu sesuai dengan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan (Permen KP) No.18/2014 tentang Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia.

Yuliadi menjelaskan, berdasarkan Kepmen KP No.50/2017, WPP RI 716 memiliki potensi perikanan hingga 597.139 ton. Dari angka tersebut, terdapat tiga kelompok jenis sumber daya ikan yang masih bisa dimanfaatkan dengan baik, yaitu kelompok sumber daya ikan pelagis kecil, demersal, dan kepiting.

“Itu artinya, penangkapan ikan masih bisa dimaksimalkan di wilayah perairan tersebut,” sambungnya.

Dari data yang ada, pada 2018 ini armada penangkapan ikan di Sebatik masih didominasi armada bertonase 1 hingga 10 gros ton (GT) dan jumlahnya mencapai 465 unit. Kemudian, armada berukuran 11-30 GT saat ini jumlahnya ada 80 unit, dan kapal berukuran di atas 30 GT berjumlah 3 unit. Sementara, kapal bantuan dari KKP berukuran di bawah 5 GT jumlahnya saat ini ada 60 unit dan bantuan dari DAK Provinsi Kaltara jumlahnya ada 10 unit.

baca juga :  Liputan Sangihe: Tidak Jadi Diekspor ke Jepang, Di Mana Ikan-Ikan Dagho Berlabuh? (Bagian 1)

 

Pelabuhan Perikanan Pantai Dagho, Kota Tahuna, ibukota Kabupaten Kepulauan Sangihe, pada Jumat (16/09/2016), tempat pembangunan sentra bisnis kelautan dan perikanan terpadu (SKPT). Foto : Themmy Doaly/Mongabay Indonesia

 

Sumber Daya Nelayan

Selain kapal, Yuliadi menerangkan, jumlah nelayan di Sebatik saat ini mencapai 1.182 orang. Keberadaan mereka, dinilai menjadi fondasi kuat untuk membangun industri perikanan dan kelautan. Hal itu, karena nelayan bisa memanfaatkan sumber daya ikan di perairan Sebatik dan sekitarnya dan sekaligus juga bagaimana menjaga kawasan perairan tersebut dari kerusakan.

“Kita yang bergerak di sektor perikanan, salah satu wujud nyata dari kecintaan dan komitmen kita untuk menjaga lingkungan adalah dengan terus mengembangkan praktik-praktik penangkapan ikan yang ramah lingkungan,” pungkasnya.

Diketahui, SKPT Sebatik menjadi bagian dari 3 lokasi SKPT yang dibangun oleh DJPT KKP. Selain Sebatik, dua lokasi lain adalah Natuna di Provinsi Kepulauan Riau dan Merauke di Provinsi Papua. Ketiga SKPT tersebut ditargetkan bisa beroperasi penuh mulai 2018 ini dan melayani aktivitas ekspor ke negara tetangga. Satu SKPT lagi, yakni SKPT Saumlaki di Provinsi Maluku, hingga saat ini masih belum dibangun secara penuh.

Sebagai daerah yang memiliki potensi sumber daya kepiting dan udang, SKPT Sebatik direncanakan akan menjadi pusat pendaratan kepiting dan udang. Hasil tangkapan tersebut selanjutnya ditargetkan bisa diekspor ke Malaysia melalui Tawau yang berbatasan langsung dengan Sebatik. Dalam sebulan, Sebatik mampu memproduksi kepiting hingga 7 ton. Namun, hasil produksi tidak resmi yang ditangkap dari laut, diperkirakan jumlahnya mencapai 8 ton per bulan.

menarik dibaca :  Fokus Liputan : Pesona Saumlaki, Sekaya Laut, Semakmur Darat (Bagian 1)

 

Suasana di kawasan Pelabuhan Ukurlalan, Saumlaki, Kabupaten Maluku Tenggara Barat (MTB), Maluku, pada pertengahan Oktober 2017. Pelabuhan ini rencananya akan digunakan sebagai bagian dari Sentra Kelautan dan Perikanan Terpadu (SKPT) Saumlaki, Foto : M Ambari/Mongabay Indonesia

 

Sebelumnya, Koordinator Nasional Destructive Fishing Watch (DFW) Indonesia Moh Abdi Suhufan, sudah memprediksi bahwa pembangunan SKPT pada 2018 akan mengalami penurunan. Indikasi itu bisa dilihat dari penurunan anggaran untuk pembangunan 13 lokasi SKPT yang tersebar di berbagai provinsi. Dari alokasi itu, tercatat angka Rp275,7 miliar yang dianggarkan dari anggaran pendapatan dan belanja nasional (APBN).

“Pada 2017, anggaran mencapai Rp771,8 miliar. Itu artinya, ada penurunan hingga 41,8 persen pada tahun ini,” jelasnya.

Penurunan anggaran itu, menurut Abdi Suhufan, tak hanya berdampak pada percepatan pembangunan fisik SKPT, namun juga memengaruhi kualitas pembangunan sentra tersebut. Padahal, sejak awal SKPT dibangun untuk membuka keterisolasian kawasan pesisir dan pulau-pulau terdepan seperti di Sebatik. Dengan anggaran yang terus menurun, tujuan tersebut juga diragukan bisa tercapai.

“Belum ada keseriusan dari Pemerintah untuk membangun di kawasan pesisir dan pulau-pulau terdepan, itu faktanya. Padahal, pembangunan SKPT sudah dimulai sejak 2015 atau tiga tahun lalu,” tandasnya.

***

Keterangan foto utama : Kesibukan nelayan dan masyarakat yang terlihat di Lampulo, Banda Aceh, Aceh. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay

 

Exit mobile version