Mongabay.co.id

Perempuan Paling Terdampak Proyek Pembangunan Pesisir Makassar

Ramlah terlihat gusar. Warga Kelurahan Tallo Makassar, ini menyatakan kerisauannya terkait pembangunan pelabuhan Makassar New Port (MNP), yang telah menggusur dan mengancam mata pencaharian mereka sebagai nelayan.

“Sekarang semakin sulit ki kasih sekolah anak-anak. Ada isu kalau kami mau diberi kompensasi Rp3juta. Sebelum adanya pembangunan itu, bisa ji 4 hari na dapat suamiku itu. Sekarang, untuk beli beras dan bensin tidak bisa maki kodong. Kami berharap ada solusi terbaik bagi kami nelayan. Ingat ki nelayan kecil,” katanya dengan logat Makassar yang kental.

Keluhan yang sama disampaikan, Harianti, warga Kelurahan Cambayya, yang merasakan hilangnya hak mereka sebagai masyarakat pesisir.

“Sejak adanya MVP, masyarakat semakin sulit melaut dan adanya isu kami juga akan digusur,” katanya gusar.

Ramlah dan Harianti adalah dua dari 100-an warga pesisir Makassar yang berkumpul dalam Tudang Sipulung yang dilaksanakan oleh SP Anging Mammiri Makassar di gedung kampus Amkop Makassar, Selasa (6/11/2018).

baca :  Perempuan Pesisir Perkotaan Rentan Terdampak Perubahan Iklim

 

Musdalifah Jamal (kanan), Ketua Badan Eksekutif Komunitas Solidaritas Perempuan Anging Mammiri menilai proyek reklamasi pembangunan tanggul dan pelabuhan Makassar New Port (MNP) di Kelurahan Tallo dan Buloa mengganggu aktivitas nelayan. Foto. Mongabay Indonesia/Wahyu Chandra.

 

Tudang Sipulung yang berarti Duduk Bersama ini dilakukan untuk mendengar berbagai keluhan masyarakat pesisir Makassar terkait sejumlah pembangunan dan rencana pembangunan yang dilakukan oleh pemerintah pusat dan daerah.

“Tempat kami mencari tude dan kanjappang dipatok tengah malam oleh orang tidak dikenal. Pada saat kami turun mencari tude, orang proyek bilang di sini mau dibangun tanggul, tidak bisa lagi mencari tude di lokasi ini,” tambah Ramlah.

Situasi yang sama juga dihadapi oleh perempuan di Pulau Lae-Lae, di mana tempat tinggalnya terancam hilang atau tenggelam akibat abrasi yang menjadi dampak dari pembangunan pusat bisnis Center Point of Indonesia (CPI), di mana jarak tempat tinggal warga Pulau Lae-lae dengan kawasan CPI hanya berkisar sekitar 100 Meter.

Selain itu, ancaman penggusuran juga dihadapi masyarakat apabila aktivitas pembangunan kawasan CPI diperluas. Sementara pada lokasi penggusuran yang disediakan oleh pemerintah, yakni di Kampung Nelayan Untia, Kepastian terhadap akses dan kontrol masyarakat, khususnya perempuan, terhadap sumber-sumber kehidupannya tidak terjamin. Salah satu contohnya mengenai ketersediaan air bersih.

baca juga :  Krisis Air Bersih Makassar, Perempuan Pesisir Paling Terkena Dampak

 

Dampak dari berbagai proyek pembangunan di wilayah pesisir Makassar jauh lebih dirasakan oleh perempuan karena harus menanggung beban yang berlapis, selain peran domestik di keluarga berperan dalam produksi perikanan. Foto : Wahyu Chandra/Mongabay Indonesia.

 

Menurut Musdalifah Jamal, Ketua Badan Eksekutif Komunitas Solidaritas Perempuan Anging Mammiri, sejak aktivitas reklamasi untuk Proyek Pembangunan tanggul laut pada tahun 2015 dan pembangunan pelabuhan MNP pada awal 2017 di Kelurahan Tallo dan Buloa, aktivitas nelayan mulai terganggu.

“Berbagai dampak dirasakan, seperti berkurangnya hasil laut karena rusaknya ekosistem sehingga nelayan perlu menjangkau area yang lebih jauh dan berimplikasi pada penambahan biaya produksi. Hal ini semakin diperparah dengan adanya proyek Kota tanpa Kumuh atau KotaKu yang akan meminggirkan, memindahkan dan bahkan menggusur masyarakat,” katanya.

Proyek Kota Tanpa Kumuh (KotaKu) didanai Bank Dunia sebagai pinjaman. Proyek ini dinilai melihat kawasan pesisir Makassar sebagai kawasan kumuh yang perlu ditata.

“Stigma kota kumuh dan penataan kota hanya dalih pemerintah untuk meminggirkan, memindahkan dan menggusur nelayan yang telah menetap di kawasan tersebut sejak dulu.”

Menurut Musdalifah, dampak dari berbagai proyek pembangunan tersebut jauh lebih dirasakan oleh perempuan karena harus menanggung beban yang berlapis.

“Di satu sisi, perempuan berperan dalam produksi perikanan namun di sisi lain perempuan juga memiliki beban gender yang dilekatkan di mana perempuan perlu memastikan keberlanjutan kehidupan keluarga.”

Dalam situasi sulit tersebut, tambahnya, perempuan kerap mencari berbagai alternatif seperti berutang, beralih profesi dengan keterbatasan keterampilan atau memangkas pengeluaran sehingga berdampak pada penurunan kualitas hidup diri dan keluarganya.

menarik dibaca :  Nurlina, Perjuangkan Kesamaan Hak bagi Perempuan Nelayan

 

Perempuan dinilai sebagaim pihak yang paling merasakan dampak dari krisis air yang terjadi karena peran produksi dan reproduksi mereka dalam keluarga. Mereka yang sangat dekat air untuk kesehatan reproduksinya dan kegiatan rumah tangga seperti mencuci, memasak, mengurus anak, dan lainnya. Foto : Wahyu Chandra

 

Musdalifah merinci bahwa saat ini setidaknya terdapat 135 perempuan pesisir di kawasan pesisir Cambaya, Buloa, dan Tallo kehilangan akses dan kontrol terhadap sumber pangannya. Selain itu, masyarakat terancam digusur dari tempat tinggal, di sekitar proyek MNP. Di Kelurahan Tallo, khususnya di RW 04 ada 520 Kepala Keluarga (KK), Kelurahan Buloa sebanyak 200 KK, dan Kelurahan Cambaya sebanyak 385 KK yang akan tergusur.

Menurut Suryani, Koordinator Program SP Anging Mammiri, Negara telah secara sewenang-wenang melakukan pelanggaran hak masyarakat pesisir bahkan sejak proses perencanaan MNP dibangun.

“Pelanggaran hak atas informasi terkait proyek, terabaikan dalam proses konsultasi proyek, hingga tidak pernah diminta pendapatnya mengenai proyek tersebut,” katanya.

Padahal, menurutnya, proyek MNP dibangun di atas kawasan pesisir yang sejak turun temurun dimanfaatkan dan dikelola oleh masyarakat, termasuk di dalamnya perempuan, yang sehari-hari mencari kerang dan kanjappang.

Suryani juga menilai Negara lemah dalam melihat situasi khusus perempuan yang juga menjadi pelaku utama dan memiliki peran yang signifikan di pesisir, sehingga tidak ada upaya dari Negara untuk mengakomodir kepentingan perempuan.

Dapat terlihat dari UU No.7/2016 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudi daya Ikan dan Petambak Garam sebagai regulasi penting yang harus dijadikan pijakan hukum bagi perlindungan dan pemberdayaan produsen pangan laut di Indonesia.

“Sayangnya, selama ini negara hanya memasukkan perempuan sebagai bagian dari keluarga nelayan. Artinya perempuan hanya dilihat sebagai peran pendukung, bukan peran utama. Padahal telah jelas aturan mengenai pengarusutamaan gender melalui UU No.7/1984 tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan dan Instruksi Presiden No.9/2000 tentang Pengarusutamaan Gender dalam Pembangunan,” tambahnya.

baca juga : Perempuan Dusun Binanga Sangkara Bangkit dari Kemiskinan Berkat Satwa Ini

 

Proses reklamasi Pantai Makassar untuk area Centerpoint of Indonesia (CPI) atau COI masih terus berlangsung, meski belum mendapat izin dari KKP. Pemprov Sulsel menggandeng PT Ciputra Group bekerjasama dengan PT Yasmin. Dari 157 hektar pantai yang ditimbun, hanya 50 hektar yang akan dikelola oleh Pemprov Sulsel, selebihnya akan dikelola oleh swasta dengan mekanisme HGU. Foto: Wahyu Chandra/Mongabay Indonesia

 

Hal ini dianggap Suryani berimplikasi sampai ke tingkat pemerintah daerah yang juga belum menjadikan regulasi tersebut sebagai satu regulasi penting dalam pembangunan di wilayah pesisir. Misalnya saja, pada Rancangan Peraturan Daerah Sulawesi Selatan tentang Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil (RZWP3K) yang saat ini memasuki tahap pembahasan di Pansus DPRD Provinsi Sulawesi Selatan.

“Rancangan Perda ini sama sekali tidak berpijak pada regulasi yang lebih tinggi, baik dalam hal perlindungan nelayan maupun pelibatan perempuan dalam kerangka pengarusutamaan gender pada keseluruhan prosesnya.”

Suryani menjelaskan bahwa di dalam dokumen rancangan RZWP3K sendiri rencana zonasi dibagi dalam 4 kawasan, yakni Kawasan Pemanfaatan Umum, Kawasan Konservasi, Kawasan Alur dan Kawasan Strategis Nasional Tertentu (KSNT). Setiap kawasan masih terbagi dalam beberapa zona dan sub-zona sesuai dengan rencana alokasi ruang yang ditetapkan, berada pada ruang hidup masyarakat dan zona tangkap nelayan.

“Sehingga pelibatan nelayan, baik perempuan maupun laki-laki, adalah mutlak.”

baca : Womangrove, Para Perempuan Penyelamat Mangrove di Tanakeke

 

Salah satu perairan di Sulawesi Selatan. Perda Zonasi ini seharusnya tidak sekedar untuk kepastian hukum namun lebih penting memberi jaminan perlindungan kepada nelayan tradisional yang ada di pesisir Sulsel. Foto: Wahyu Chandra/Mongabay Indonesia

 

Begitu juga halnya pada proyek pembangunan MNP di kawasan pesisir Kota Makassar yang ditetapkan sebagai kawasan terpadu pusat jasa dan perdagangan melalui Peraturan Daerah No.9/20019 tentang Rencana Tata Ruang dan Wilayah Provinsi Sulawesi Selatan dan Perda No.4/2015 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Makassar.

Terkait situasi ini, SP Anging Mammiri dan perempuan nelayan menyampaikan sejumlah tuntutan kepada pemerintah. Pernyataan sikap ini dibacakan oleh 5 perempuan pesisir Makassar.

“Kami menuntut pemerintah, untuk secara serius menjalankan kewajibannya dalam menghormati, melindungi, dan memenuhi hak-hak perempuan nelayan dan perempuan pesisir, salah satunya dengan menghentikan proyek-proyek yang menghancurkan sumber kehidupan perempuan, di antaranya proyek MNP, CPI, dan Tambang Pasir, serta mengeluarkan proyek-proyek tersebut dari Ranperda RZWP3K,” ungkap Ramlah, mewakili perempuan pesisir lainnya.

“Kami juga mendorong pemerintah untuk menetapkan wilayah pesisir Cambayya, Tallo, dan Buloa sebagai wilayah kelola perempuan, serta mewujudkan kebijakan perlindungan nelayan dan masyarakat pesisir, yang memuat pengakuan dan jaminan hak-hak perempuan.”

 

Exit mobile version