Mongabay.co.id

2019 Tahun Politik, Akankah Ganggu Agenda Reforma Agraria?

Hutan adat Mentawai nan terjaga dengan air jernih mengalir. Tak semua wilayah adat Mentawai, aman karena sudah banyak investasi masuk dan klaim kawasan hutan oleh negara menyebabkan wilayah adat terancam. Foto: Vinolia/ Mongabay Indonesia

 

Bagaimana agenda reforma agraria di tahun politik ini? Akankah berjalan lancar atau mandek? Sementara, berdasarkan data KPA, konflik agraria selama 2018, masih tinggi meskipun ada penurunan kasus.

 

April 2019, Indonesia akan menggelar pemillihan presiden-wakil presiden dan anggota legislatif. Dua kandidat maju bertarung dalam pemilihan presiden dan wakil. Pasangan nomor urut satu, Joko Widodo dan Ma’ruf Amin. Kandida kedua, Prabowo Subianto dan Sandiaga Uno. Bagaimana nasib agenda reforma agraria di tengah tahun politik ini? Kalangan masyarakat sipil khawatir agenda bakal mandek.

Baca juga: Kementerian Agraria Mulai Distribusikan Lahan Bekas HGU

“Menghadapi tahun politik kami mengajak masyarakat melihat lebih detail agenda reforma agraria dalam visi misi kedua pasangan pilpres 2019. Juga meneguhkan komitmen bersama terus mengawal realisasi reforma agraria sejati,” kata Dewi Kartika Sekjen Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), di Jakarta, pekan lalu.

Agenda reforma agraria, seharusnya, melampaui kepentingan politik sesaat lima tahunan ini. Sebab, persoalan agraria negeri ini menumpuk, begitu banyak konflik belum selesai. Dia berharap, kesibukan jelang pemilu serentak tak lantas membuat agenda reforma agraria tersendat.

Baca juga: Catatan Akhir Tahun: Mempertanyakan Reforma Agraria dan Pengakuan Masyarakat Adat

Pemerintah Jokowi-JK, berkomitmen berikan hak kelola hutan dan lahan kepada rakyat  lewat reforma agraria dan perhutanan sosial seluas 12,7 juta hektar sampai 2019, lalu distribusi lahan 9 juta hektar. Dewi bilang, hambatan terbesar dalam menjalankan reforma agraria selama empat tahun masa pemerintahan Jokowi-Jusuf Kalla, adalah jajaran birokrasi terkesan setengah hati dalam mengimplentasikan agenda itu.

Tahun lalu, pemerintah telah menerbitkan Perpres Nomor 86/2018 tentang Reforma Agraria. Dia akui, pemerintah berusaha mengakselerasi pelaksanaan reforma agraria. Terpenting sekarang, implementasi dari aturan itu.

“Menunda implementasi, menurut kami semacam sabotase dari dalam agenda-agenda kerakyatan,” katanya.

Baca juga: Kado Hari Tani 2018: Presiden Tandatangani Perpres Reforma Agraria

Dewi menyarankan, tahun ini segera bentuk tim reforma agraria pusat dan daerah dengan pelibatan aktif gerakan masyarakat sipil. Reforma agraria berbasiskan usulan rakyat pun, katanya, mesti respon cepat. Salah satu percepat implementasi usulan lokasi prioritas reforma agraria (LPRA) pada 462 desa dan 98 kabupaten.

“Ini penting agar kepercayaan masyarakat menguat. Kami akan tetap waspada, memperjuangkan sekaligus meluruskan orientasi kebijakan reforma agraria. Siapa pun presidennya harus menjalankan reforma agraria sejati,” katanya.

 

Presiden Joko Widodo, pada acara penyerahan surat keputusan perhutanan sosial di Jambi. Foto: Elviza Diana/ Mongabay Indonesia

 

 

Belum maksimal

Dia menilai, meskipun masuk prioritas pemerintah tetapi selama empat tahun masa pemerintahan Jokowi-JK, reforma agraria belum maksimal. “Ketimbang menjalankan redistribusi tanah, pemerintahan Jokowi-JK lebih banyak sertifikasi lahan,” katanya.

Baca juga: Mengupas Borok Agraria, Akankah Temukan Obatnya?

Kementerian ATR/BPN sertifikasi lahan seluas 2.273.424 hektar. Sayangnya, sertifikasi belum selaras dengan penyelesaian konflik dalam kerangka reforma agraria. Indikasinya, hingga kini dari 12.307.677 hektar HGU, belum evaluasi dan sanksi terhadap HGU-HGU perusahaan baik swasta maupun BUMN yang berkonflik dengan masyarakat. Baik karena salah lokasi, kelebihan luasan, ataupun tumpang tindih.

Kementerian ATR/BPN, katanya, cenderung mendukung perluasan perusahaan perkebunan besar hingga 426.355 hektar dari skema alokasi tanah obyek reforma agraria (Tora) dari 20% pelepasan kawasan hutan untuk perkebunan.

Dengan fokus pada sertifikasi lahan, kata Dewi, agenda reforma agraria menghapus ketimpangan struktur agraria belum terlihat. Seharusnya pemerintah lebih mengutamakan menata ulang penguasaan, pemilikan dan penggunaan tanah timpang terlebih dahulu. Redistribusi lahan, katanya, merupakan jantung agenda reforma agraria.

Hingga kini, , masih ada 14.248.870 rumah tangga petani gurem dengan penguasaan tanah kurang 0,5 hektar. Kalau angka penguatan hak masyarakat melalui pemberian sertifikat tanah tanpa dibarengi usaha restrukturisasi, katanya, bangsa ini sedang melegalkan ketimpangan itu sendiri.

“Sertifikasi tanah, seharusnya, memberikan kepastian hukum jadi langkah terakhir proses reforma agraria. Jadi redistribusi dan sertifikasi bukan terpisah, melainkan rangkaian tahapan panjang reforma agraria.”

Dewi juga menyoroti soal ketidakjelasan redistribusi lahan dari hak guna usaha (HGU) maupun hak guna bangunan (HGB) terlantar atau sudah habis masa berlaku. Meskipun KATR/BPN mengklaim capaian redistribusi lahan dari kedua obyek mencapai 400.000 hektar (60,27%), namun tak jelas lokasinya.

“Masalah proses pengalokasian Tora kawasan hutan yaitu mekanisme dan birokrasi panjang serta tidak jelas obyek dan subyek kawasan hutan.”

Dewi bilang, Tim Percepatan Penyelesaian Penguasaan Tanah dalam Kawasan Hutan (Tim-PPTKH) seharusnya jadi ujung tombak reforma agraria di kawasan hutan juga belum bekerja maksimal. Pun dengan Dirjen Planologi Kehutanan dan Tata Lingkungan, tak kooperatif dan tak terbuka dengan organisasi masyarakat sipil. Sisi lain, katanya, informasi alokasi Tora tidak dapat diakses pihak luar.

Tora dari pelepasan kawasan hutan oleh KLHK kepada KATR/BPN 994.761 hektar juga tak jelas siapa dan di mana lokasinya.

Berdasarkan keterangan Dirjen Planologi dan Tata Kelola Kehutanan, Februari 2018, ada 11.000 hektar LPRA masuk surat keputusan menteri tertanggal 18 Mei 2018. Ini peta indikatif alokasi kawasan hutan untuk penyediaan sumber Tora (revisi II). Namun, katanya, tidak pernah diberitahu lebih lanjut lokasi-lokasi itu.

Sampai 2018, baru empat usulan LPRA KPA mendapatkan pengakuan penuh pemerintah, yakni di Garut, Ciamis, Batang dan Minahasa Tenggara, total 785,201 hektar bagi 1.573 penggarap. Keempat lokasi merupakan wilayah konflik agraria petani dengan perusahaan perkebunan swasta eks HGU.

“Pengalaman redistribusi di empat lokasi itu pemerintah bersifat menunggu bola untuk mensertifikatkan. Penataan ulang struktur pemilikan dan penggunaan tanah, penataan ulang desa, serta penataan produksi dan ekonomi kolektif disiapkan masyarakat atas dasar kesadaran kritis reforma agraria. Bukan satu paket kebijakan,” katanya.

 

Perusakan sawah menggunakan alat berat di Maroangin, Maiwa, Enrekang, Sulsel. PTPN XIV berdalih bahwa lahan sekitar kawasan bisa digunakan warga untuk pertanian, selain untuk sawah. Foto: Safar/Mongabay Indonesia

 

 

Apa kata pemerintah?

Prabianto Mukti Bowo, Kedeputian Tata Kelola Kehutanan Kemenko Perekonomian, menegaskan, pemerintahan Jokowi benar-benar berkomitmen menjalankan reforma agraria, sekaligus menyelesaian berbagai konflik yang terjadi.

Meskipun begitu, dia sadar, reforma agraria merupakan kerja lintas sektoral. Tak bisa hanya oleh tim percepatan di Kemenko Perekonomian tetapi memerlukan dukungan dari kementerian teknis lain termasuk pemerintah daerah baik di kabupaten maupun provinsi.

“Kita akan tetap menjalankan Perpres Reforma Agraria tadi. Harapannya, kementerian teknis bisa lebih jelas menindaklanjuti,” katanya.

Latar belakang kebijakan reforma agraria dan regulasi berelasi seperti penyelesiaan penguasaan tanah dalam kawasan hutan dan Inpres Moratorium Sawit, katanya, keluar karena sadar ada ketimpangan ekonomi di tengah masyarakat.

“Terutama ketimpangan kepemilikan lahan,” katanya.

Sejak April 2017, presiden meluncurkan satu kebijakan yang disebut kebijakan perekonomian berkeadilan.

Dia bilang, reforma agraria ini berbeda dengan masa-masa pemerintahan sebelum Jokowi. “Bukan hanya bagi-bagi tanah. Lebih utama bagaimana memperkuat ekonomi rakyat dengan pemberian aset produktif berupa tanah tadi,” katanya.

Dalam konteks Perpres Reforma Agraria, katanya, kalau mellihat target RPJMN 2015-2019 sudah ada target, 4,5 juta hektar legalisasi aset, redistribusi 4,5 juta hektar.

Dalam perjalanan, Darmin Nasution, Menko Perekonomian mengatakan, reforma agraria juga berkaitan dengan akses masyarakat terhadap hutan sekitar. Karena itu, katanya, perhutanan sosial masuk sebagai program pendukung reforma agraria ini.

Ada tiga regulasi utama dalam menjalankan agenda reforma agraria. Pertama, Perpres 88/2017 tentang penyelesaian penguasaan tanah dalam kawasan hutan. Kedua, Inpres Reforma Agraria. Ketiga, Inpres Moratorium Sawit.

Soal Inpres Moratorium Sawit terkait agenda reforma agraria, dia sebutkan mengenai kewajiban perusahaan berikan 20% luas izin dari pelepasan kawasan hutan buat warga (untuk plasma) dan kebun-kebun sawit di kawasan hutan.

“Moratorium sawit ini juga jadi instrumen penting dalam redistribusi lahan sawit untuk rakyat. Kalau kita bicara moratorium sawit, yang kita siapkan, penyelesaian kebun sawit dalam kawasan hutan. Kita harus atur bagaimana pola penyelesaian. Juga alokasi 20% dari setiap izin pelepasan hutan untuk perkebunan sawit harus untuk masyarakat,” katanya.

Mengenai legalisasi aset lebih cepat daripada redistribusi, katanya, karena untuk menetapkan Tora memerlukan suatu proses verifikasi, pendaftaran sampai sertifikasi.

“Ini memang relatif memerlukan waktu lebih lama dibandingkan tanah-tanah yang ingin dilakukan legalisasi melalui pendaftaran tanah sistematik lengkap (PTSL).”

Namun, kata Prabianto, tidak mengurangi komitmen pemerintah mempercepat realisasi redistribusi lahan. “Kalau dalam data kami, redistribusi dari kawasan hutan pun cukup signifikan,” katanya.

Ada sekitar 200.000 hektar dari eks HGU dan tanah terlantar sudah siap dibagikan kepada masyarakat. Juga 967.000 hektar dalam kawasan hutan siap redistribusi.

“Kita harus mengingat verifikasi dan validasi data di lapangan sedang berjalan. Untuk tahap pertama sudah selesai 967.000 hektar tadi. Sekitar 250.000 hektar clear and clean. Ini segera ditindaklanjuti dengan legalisasi.”

 

Perkebunan kelapa sawit milik PT Merbau Indah Raya di UPT Arongo. Dalam perkebunan ini ada 30 hektare lahan warga yang diklaim masuk konsesi perusahaan. Foto: Kamarudin/ Mongabay Indonesia

 

Kemudian melalui Penyelesaian Tanah Dalam Kawasan Hutan (PTDKH), setidaknya 260.000 hektar tahap pertama berdasarkan usulan dan rekomendasi dari gubernur—masuk Tora. “Terus akan berlanjut.”

Pada 2019, katanya, pemerintah akan memperkuat pemberdayaan ekonomi masyarakat setelah mereka mendapatkan hak tanah reforma agraria.

“Jadi akses reform ini akan jadi fokus utama agar tujuan reforma agraria benar-benar bisa diwujudkan. Kita juga akan terus menyelesaikan target-target yang sudah ditetapkan dalam RPJMN satu tahun ke depan,” katanya.

 

 

Konflik agraria masih tinggi

Kalau kembali melihat perjalanan reforma agraria tahun lalu, pemerintah sudah beraksi, tetapi banyak pula hambatan. KPA mencatat, beberapa hal terjadi dalam 2018. Ada kemajuan seperti terbitnya beberapa regulasi penting terkait reforma agraria. Sisi lain, berbagai konflik masih terjadi dan belum terselesaikan.

Dewi bilang, kebijakan reforma agraria pemerintahan Jokowi-JK melalui Nawacita kelima dan proyek strategis nasional redistribusi tanah 9 juta hektar bagi petani seperti membawa angin segar. Di awal pemerintahan, sempat memberikan sinyal positif bagi penyelesaian konflik agraria dengan memberikan amnesti kepada perempuan pejuang agraria, Eva Susanti Bande. Dalam perjalanan empat tahun pemerintahan Jokowi, menemui banyak hambatan.

Tahun berganti, letusan konflik agraria masih berlangsung tanpa kanal penyelesaian. Konflik lama tak kunjung tersentuh, konflik baru bertambah. Pada 2014, tercatat 472 konflik, jadi 252 pada 2015. Pada 2016, ada 450 konflik, kemudian 2017 terjadi 659 konflik agraria. Dalam kurun waktu empat tahun, ada ribuan korban kekerasan dan kriminalisasi agraria di wilayah-wilayah konflik tanpa penyelesaian atau penanganan lambat.

 

Wilayah adat sudah diakui pemerintah. Milka Hamaela, warga Marena, sedang menjemur biji kakao. Dia merasa setelah ada rumah dan lahan berkebun sendiri, hidup lebih baik dari sebelumnya, walaupun masih banyak masalah, seperti kakao kena hama. Foto: Sapariah Saturi/ Mongabay Indonesia

 

Sepanjang 2018, KPA mencatat, sekitar 410 konflik agraria—terjadi penurunan dari 2017–dengan luasan 807.177,613 hektar, melibatkan 87.568 keluarga di berbagai provinsi di Indonesia.

Secara akumulatif, sepanjang empat tahun (2015 – 2018) terjadi sekitar 1.769 konflik agraria.

Tahun ini, perkebunan kembali menempati posisi tertinggi sebagai sektor penyumbang konflik agraria dengan 144 (35%) konflik, properti 137 (33%), pertanian 53 (13%), pertambangan 29 (7%), kehutanan 19 (5%), infrastruktur 16 (4%), terakhir pesisir/kelautan dengan 12 (3%).

Dari 144 konflik agraria di sektor perkebunan, 83 kasus atau 60% di perkebunan sawit.

“Masih tingginya konflik agraria sektor perkebunan menandakan belum ada upaya serius dan bersungguh-sungguh pemerintah untuk menyelesaikan konflik agraria karena kebijakan dan praktik-praktik pembangunan serta perluasan perkebunan di Indonesia,” kata Dewi.

Konflik agraria, katanya, bukan hanya memperlihatkan perluasan lahan atau penerbitan izin baru perkebunan yang melanggar hak-hak masyarakat atas tanah. Juga persoalan tumpang tindih hak warga atas tanah dengan perusahaan swasta maupun perusahaan negara yang sudah berlangsung lama.

Konflik muncul lagi, karena pemerintahan melakukan upaya-upaya baru terhadap izin lama, seperti memperpanjang hak guna usaha perusahaan atau membiarkan banyak perusahaan perkebunan, yang jelas-jelas menyalahi prosedur atau habis izin tetapi bisa beroperasi.

“Di sinilah kontribusi pemerintahan kini dalam melanggengkan konflik agraria lama maupun konflik baru.”

Berdasarkan analisis konflik dan masalah agraria, KPA mengusulkan LPRA pada 462 lokasi. Dari jumlah itu, tercatat ada 242 lokasi seluas 416.126 hektar merupakan konflik perkebunan (non-hutan).

Dari 242 LPRA itu memperlihatkan, kampung, desa, pemukiman, fasilitas umum, fasilitas sosial, sawah, lahan garapan dan kebun rakyat jadi wilayah konflik karena keputusan pejabat publik berkaitan dengan HGU negara. Ia berupa aset BUMN atau pemerintah provinsi, HGU swasta, kegagalan program transmigrasi, hak guna bangunan, dan lain-lain.

“Saat ini, wilayah-wilayah itu masih belum juga mendapatkan pengakuan penuh pemerintah, dan dibiarkan berkonflik dengan perusahaan-perusahaan perkebunan swasta maupun negara (PTPN-red),” katanya. Situasi konflik agraria laten ini, ibarat api dalam sekam, bisa meledak kapan saja.

Dewi menilai, pendekatan negara masih legalistik. Padahal, banyak regulasi, peraturan perundang-undangan, maupun keputusan pejabat publik tak adil terhadap hak-hak rakyat.

Tak pelak, petani berkonflik dapat cap sebagai warga ilegal, perambah liar, pencuri tanah negara . Mereka dinilai tidak punya bukti hukum sah.

“Dalam sistem politik agraria legalistik semacam ini, kita kerap saksikan banyak izin-izin konsesi besar terbit di atas tanah-tanah kampung, tempat tinggal, garapan dan sumber kehidupan warga.”

Sedangkan konflik sektor properti, antara lain meletus karena gencar pengembangan kawasan industri properti.

“Tak kalah penting di sektor properti ialah terjadi monopoli tanah oleh pengembang swasta.”

Dia contohkan, Sentul City, memiliki lahan 15.000 hektar di Bogor dan Jonggol. Dari luasan ini, baru 2.000 hektar mereka kembangkan. “Ini juga menujukkan praktik-praktik land banking swasta, menyimpan cadangan tanah tanpa diolah.”

Ada lagi Sinarmas Land, menguasai tanah sangat luas, di mana cadangan lahan mereka mencapai 10.000 hektar. Hanson International dengan kepemilikan tanah 3.700 hektar per semester I 2017, tersebar di Maja, Serpong (Banten), dan Bekasi (Jawa Barat).

 

Aksi menyuarakan penyelamatan hutan adat Laman Kinipan di Lamandau, Kalteng. Foto: Safrudin Mahendra-Save Our Borneo

 

Data lain menyebutkan, sebanyak 28 kota baru di Jabodetabek dikuasai lima pengembang besar, yakni Bakrieland Development, Sinarmas Land, Jaya Real Property (Pembangunan Jaya), Lippo Group dan Ciputra Group.

“Kondisi ini, sangat kontras di tengah masih banyak masyarakat miskin tinggal di perkotaan tak memiliki tempat layak huni, atau jadi tunawisma. Bahkan tidak sedikit mereka digusur karena arus pembangunan dan pengembangan kota.”

Penguasaan tanah oleh swasta ini, katanya, membuat kota-kota dibangun untuk melayani kepentingan kelas menengah atas.

Letusan konflik properti seperti kawasan industri swasta seringkali berkaitan erat dengan proyek pembangunan infrastruktur.

Pembangunan infrastruktur, katanya, jadi andalan pemerintah dalam empat tahun terakhir. Bahkan, dalam sembilan tahun terkahir kalau tarik ke belakang masa pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono juga ada Master Plan Percepatan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI).

Era Jokowi, MP3EI memang hapus, berganti proyek strategis nasional (PSN) dengan esensi mirip karena melahirkan praktik perampasan lahan.

Dari 223 PSN, 164 masuk tahap kontruksi dengan target rampung pada 2018 dan 2019. Sisanya, enam proyek masuk tahap transaksi, 53 proyek dan satu program industri pesawat masuk tahap penyiapan.

“Konflik agraria karena pembangunan infrastruktur diprediksi kembali naik tahun 2019,” katanya.

Anggapan ini bukan tanpa dasar. Dewi menilai, anggaran pembangunan infrastruktur naik dari Rp410,4 triliun jadi Rp420,5 triliun memungkinkan praktik perampasan tanah untuk pembangunan infrastruktur terus terjadi.

Sektor lain juga menimbulkan konflik agraria yakni pertanian karena proyek percetakan sawah baru dan pembangunan food estate.

Di Merauke, Papua, misal, proyek percetakan sawah baru telah menggusur hutan sagu masyarakat lokal.

 

Sumber: KPA

 

Data KPA menyebut, ada sekitar 807.177,613 hektar tanah di Indonesia mengalami konflik agraria. Sebanyak 73 % atau 591.640,32 hektar sektor perkebunan. Sektor lain, kehutanan 65.669,52 hektar, pesisir 54.052,6 hektar, pertambangan 49.692,6 hektar, properti 13.004,763 hektar dan infrastruktur dengan luasan 4.859,32 hektar.

Di Indonesia, luas perkebunan sawit tercatat di Kementerian Pertanian mencapai 14.309.256 hektar, sebanyak 713.121 hektar perusahaan pemerintah, 7,7 juta hektar perusahaan swasta, dan 5,4 juta hektar kebun swadaya. Angka luasan kebun swadaya itu masih didominasi skema kemitraan dengan perusahaan melalui mekanisme plasma.

“Kenyataan, ketimpangan dan konflik agraria karena konsesi-konsensi perkebunan, khusus industri sawit, harus mampu dijawab Perpres Reforma Agraria dan Inpres Moratorium Sawit sebagai jalan perbaikan kembali struktur agraria termasuk menuntaskan sengkarut konflik di Indonesia,” katanya.

Pelaksanaan kedua kebijakan itu, katanya, harus benar-benar terawasi.

Kalau melihat sebaran, konflik agraria 2018 terjadi menyebar di berbagai wilayah Indonesia, terbanyak Jawa dan Sumatera. Sepuluh provinsi paling banyak konflik agraria, yakni Riau (42), Jawa Timur (35), Sumatera Selatan (28), Jawa Barat (28), Lampung (26), Sumatera Utara (23), Banten (22), Aceh (21), Kalimantan Tengah (17), dan Jakarta (17).

 

Sumber: KPA

 

 

Korban konflik

Sepanjang 2018, KPA mencatat sekitar 10 petani dan pejuang agraria terbunuh, enam orang tertembak, 132 orang (115 laki-laki dan 17 perempuan) mengalami tindakan kekerasan fisik dan penganiayaan. Sebanyak 216 orang ditahan tanpa prosedur jelas.

Secara akumulatif, sejak kepemimpinan Jokowi, sedikitnya 41 orang tewas di berbagai wilayah konflik agraria, 546 dianiaya, 51 orang tertembak, 940 petani dan pejuang agraria dikriminalisasi.

“Alih-alih menjadi pihak penengah atau mediator, keterlibatan aparat keamanan justru kerap digunakan pemerintah maupun swasta sebagai senjata memukul mundur para petani dan masyarakat yang mempertahankan tanah mereka, atau menolak penggusuran.”

Di beberapa kasus, katanya, perusahaan atau pengembang tidak jarang menggunakan jasa-jasa keamanan sewaan baik pemerintah maupun swasta untuk keperluan intimidasi korban.

 

Data Usulan LPRA

 

Keterangan foto utama:     Hutan adat Mentawai nan terjaga dengan air jernih mengalir. Tak semua wilayah adat Mentawai, aman karena sudah banyak investasi masuk dan klaim kawasan hutan oleh negara menyebabkan wilayah adat terancam. Foto: Vinolia/ Mongabay Indonesia

 

Lahan dan hutan adat yang sudah bersih dan masuk konsesi perusahaan di Tambaraw. Foto: Hugo Asrouw
Sumber: KPA

 

Exit mobile version