Mongabay.co.id

Bukan Hanya Perburuan, Habitat Orangutan Sumatera juga Harus Diperhatikan

 

 

Orangutan sumatera yang hidup di Kawasan Ekosistem Leuser (KEL) belum aman dari perburuan. Satwa terancam punah ini, tidak hanya dijadikan target sebagai hewan peliharaan, lebih dari itu, ditangkap untuk diperjualbelikan.

Data Balai Konservasi Sumber Daya Alam [BKSDA] Aceh 2013 hingga 2018 menunjukkan, sebanyak 40 individu orangutan telah disita. Rinciannya, 2013 [7 individu], 2014 [3 individu], 2015 [8 individu], 2016 [9 individu], 2017 [6 individu], dan 2018 [7 individu].

“Untuk pelaku yang memperjualbelikan orangutan [Pongo abelii], diproses sesuai hukum. Sementara masyarakat yang memelihara diberi peringatan dan orangutannya disita,” ujar Sapto Aji Prabowo, Kepala BKSDA Aceh, Sabtu [26/1/2018].

Sapto mengatakan, setiap tahun pihaknya bersama mitra kerja, selalu menyita bayi orangutan yang dipelihara maupun diperjualbelikan. Biasanya, sang induk dibunuh untuk mendapatkan bayi tersebut karena di alam liar akan dijaga hingga usia tujuh tahun.

“Kedepan, pelaku yang memelihara orangutan harus dijerat hukum. Alasannya, selama ini ketika sang pemilik bosan mereka hanya menyerahkan ke BKSDA, lepas tanggung jawab. Situasi ini harus diubah, agar tidak ada lagi yang berani memelihara sekaligus meminimalisir perburuan,” jelasnya.

Baca: Cagar Alam Jantho, Rumah Menyenangkan Orangutan Sumatera

 

Bukan hanya perburuan, ancaman kehidupan yang dihadapi orangutan saat ini adalah rusaknya habitat yang dijadikan perkebunan dan tambang. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

Manager Anti Kejahatan Satwa Liar Centre for Orangutan Protection (COP),   Daniek   Hendarto sependapat dengan pernyataan Kepala BKSDA Aceh. Catatan COP, belum pernah ada pemelihara orangutan sumatera ditangkap terlebih diproses hukum.

“Jika pemelihara orangutan diproses, penegak hukum dapat membongkar jaringan perdagangan sekaligus menangkap pemburu. Ini penting dilakukan melindungi kehidupan orangutan di habitatnya,” tutur Daniek.

Sebelumnya, pada 22 dan 23 Januari 2019, Balai Besar Taman Nasional Gunung Leuser (BBTNGL) dan BKSDA Aceh dibantu kepolisian dan Yayasan Orangutan Sumatera Lestari – Orangutan Information Centre (YOSL-OIC) menyita dua anak orangutan sumatera yang dipelihara masyarakat.

Penyitaan pertama dilakukan di   Desa   Paya, Kecamatan Manggeng, Kabupaten Aceh Barat Daya (Abdya). Anak orangutan bernama Sapto ini, telah dipelihara enam bulan. Saat penyitaan, pemiliknya sempat menolak bahkan minta ganti biaya perawatan.

Berikutnya, di Desa Suka Makmur, Kecamatan Indra Makmur, Kabupaten Aceh Timur.   Kedua anak orangutan tersebut selanjutnya dikirim ke pusat rehabilitasi orangutan sumatera di Batu Mbelin, Sibolangit, Deli Serdang, Sumatera Utara untuk menjalani perawatan.

Baca: Rawa Tripa yang Tidak Lagi Bersahabat untuk Orangutan Sumatera

 

Sepanjang 2013-2018, dalam catatan BKSDA Aceh, sebanyak 40 individu orangutan telah diselamatkan dari pemeliharaan dan jual beli. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

Hutan rusak, orangutan terancam

Data BKSDA Aceh 2013-2018 juga menunjukkan, pada periode tersebut sebanyak 57 individu orangutan dievakuasi dari perkebunan. “Ketika hutan dijadikan perkebunan maupun wilayah tambang, akan terus bertambah orangutan yang diselamatkan. Biasanya, kami pindahkan ke Suaka Margasatwa Rawa Singkil dan Taman Nasional Gunung Leuser,” terang Sapto.

Ketua YOSL-OIC, Panut Hadisiswoyo menyebutkan, sebagian besar orangutan yang dievakuasi atau ditranslokasi merupakan individu yang terperangkap di kebun masyarakat atau hutan terfragmentasi.

“Jika tidak dipindahkan, selain bisa dibunuh juga diburu untuk diperjualbelikan. Apalagi kalau orangutan itu ada anaknya. Sekitar 80 persen orangutan sumatera yang dilego ke berbagai daerah Indonesia dan luar negeri berasal dari Aceh,” paparnya.

Baca: Hutan Aceh Rusak? Tiga Masalah Besar Ini Harus Diselesaikan

 

Inilah orangutan bernama Sapto yang disita dari pemiliknya di Desa Paya, Kecamatan Manggeng, Kabupaten Aceh Barat Daya, Aceh. Foto: Ayat S Karokaro/Mongabay Indonesia

 

Staf Yayasan Ekosistem Lestari (YEL) Teuku Muhammad Zulfikar mengatakan, hutan rusak akibat berbagai kegiatan yang menyebabkan habitat orangutan menyempit, harus dievaluasi.

“Kami terus mendorong pemerintah untuk tidak lagi memberikan izin usaha di hutan. Lihat saja hutan gambut Rawa Tripa, akibat peralihan fungsi menjadi perkebunan kelapa sawit, banyak orangutan yang dipindahkan.”

Zulfikar mengatakan, pemerintah harus memperbaiki atau merestorasi hutan-hutan rusak dengan tetap mempertahankan fungsinya. “Ketika ada hutan rusak, segera hijaukan kembali. Jangan dialihfungsikan menjadi kebun sawit dan sebagainya sehingga tidak mempersempit habitat satwa liar,” ujarnya.

Baca juga: 2.778 Hektar Hutan Leuser Telah Direstorasi

 

 

Rudi Putra, Direktur Forum Konservasi Leuser (FKL) mengatakan, merestorasi hutan yang telah berubah menjadi perkebunan sawit atau lainnya telah dilakukan FKL. Baik melibatkan manusia atau membiarkan hutan itu tumbuh sendiri.

“Restorasi yang kami lakukan di Kabupaten Aceh Tamiang menunjukkan, setelah sawit dimusnahkan, lahan dibiarkan tumbuh sendiri. Ternyata, pemulihan alam lebih cepat ketimbang campur tangan manusia,” ujarnya.

Hutan yang direstorasi tersebut telah kembali berfungsi dan banyak satwa liar datang. “Ketika tidak diganggu, hutan Leuser bisa memperbaiki dirinya. Hal yang sama terjadi di Stasiun Penelitian Soraya, Kota Subulussalam, bekas wilayah HPH. Hutan tumbuh dengan pohon yang hampir sama banyak sebelum ditebang perusahaan,” tegas Rudi.

 

 

Exit mobile version