Mongabay.co.id

Degradasi Mangrove Indonesia: Fenomena Dieback Pada Kawasan Teluk Benoa Bali

 

Mangrove sekarang bukan hal yang asing lagi ditelinga kita. Tumbuhan yang berada di wilayah pesisir ini sering juga disebut dengan bakau. Padahal istilah bakau sebenarnya merujuk pada nama keluarga jenis mangrove Rhizophoraceae. Hidup di wilayah pasang surut air laut dengan karakteristik habitat yang unik disetiap jenisnya.

Jika lebih teliti, kita bisa mengambil banyak informasi berguna dari pola hidup mereka. Contoh saja jenis mangrove Sonneratia caseolaris  (nama lokal: Prapat), jenis mangrove ini bisa dijadikan sebagai petunjuk adanya aliran air tawar yang masuk ke dalam wilayah pasang surut, karena sifatnya secara alami memang tumbuh di sepanjang aliran tersebut.

Begitu juga dengan Xylocarpus granatum  (nama lokal: Nyirih) yang menjadi indikator batas pasang tertinggi dari air laut. Dari hasil penelitian juga mengungkapkan bahwa secara kasat mata mangrove memiliki peran penting sebagai penyeimbang iklim Bumi melalui penyimpanan karbonnya yang 3 – 5 kali jauh lebih besar dari hutan hujan tropis (Murdiyarso et al.,2015).

baca :  Nasib Miris Hutan Mangrove Teluk Benoa

 

Taman hutan rakyat Teluk Benoa, akankah tetap bertahan di tengah beragam ancaman termasuk reklamasi besar-besaran? Foto: Anton Muhajir/Mongabay Indonesia

 

Sejarah mengatakan, mangrove di Indonesia sebenarnya telah dieksploitasi sejak tahun 1800 khususnya untuk perikanan tambak dan pengambilan hasil kayunya (Ilman et al.,2016) dan pada tahun 2018 Kemenko Maritim melalui laporannya menuliskan, 1,82 juta ha mangrove Indonesia berada dalam keadaan kritis dan selama kurun waktu 2010 – 2015 terjadi degradasi mangrove seluas 260.859,32 ha.

Dengan total luasan 3,4 juta hektar (KLHK, 2017) dan memiliki mangrove terluas di dunia, kita seharusnya bangga dan dapat mempertahankan luasan tersebut agar tetap terjaga atau jauh meningkat dengan diimbangi jaminan kualitas ekosistemnya.

Baru-baru ini degradasi mangrove ditemukan pada wilayah teluk Benoa. Munculnya fenomena unik yang disebut dengan dieback menyerang jenis Sonneratia, Rhizophora, dan Avicennia di wilayah tersebut. Ketiga jenis mangrove sejati itu terlihat sekarat (atau mati) karena ketidakmampuan sistem jaringannya untuk beradaptasi pada perubahan lingkungan yang terjadi. Batang dan rantingnya kering kehilangan kelembabannya hingga berwarna abu-abu, tidak ada daun yang menempel di batang, serta tidak ditemukan anakan yang hidup dari jenis tersebut disekitarnya.

Fenomena ini sebagian besar menghancurkan mangrove disebelah utara area reklamasi pembangunan proyek pelabuhan Benoa, tepatnya di Kelurahan Pedungan, lainnya tersebar hingga ke Kelurahan Sesetan – Denpasar.

baca juga :  Sedihnya Duta Earth Hour Lihat Mangrove Benoa Bali Tersisa 1%. Kok Bisa?

 

Kondisi mangrove dieback pada jenis Sonnerita sp. yang ada di Teluk Benoa (semua bagian mangrove mengering dan berwana abu-abu), akar nafas tertutup sedimen, dan kondisi permukaan tanah yang kering ditandai dengan rekahan tanah. Foto : akmakhas/mangrove nusantara/Mongabay Indonesia

 

Hasil pemantauan melalui citra satelit Sentinel-2 pada bulan Januari 2019, dieback telah menghancurkan setidaknya 8,95 hektar area mangrove di Teluk Benoa, dan secara temporal dapat berpotensi menyebar ke wilayah sekitarnya dimana berujung pada kematian massal mangrove yang ada disana. Gambar 3  menunjukkan sebaran mangrove dieback  dari tahun 2017 hingga awal tahun 2019.

Dari hasil pengamatan lapangan, faktor pemicu utama fenomana dieback  tersebut adalah tingginya sedimentasi yang masuk kedalam area mangrove sehingga menutupi sebagian besar akar nafas yang ada disana. Akar nafas digunakan oleh mangrove untuk membantu mengambil oksigen dari udara melalui lentiselnya guna proses metabolisme. Jika dalam keadaan normal, seharusnya akar-akar tersebut terlihat di permukaan tanah.

Selain itu, indikasi aliran pasang surut yang terganggu akibat sedimentasi terlihat di beberapa tempat, kondisi tanah yang retak di sekitar mangrove menunjukkan sirkulasi air tidak dapat masuk ke wilayah tersebut dengan benar, karena normalnya habitat dari ketiga mangrove tersebut harus berada di wilayah sirkulasi dengan aliran pasang surut setiap harinya.

Indikasi lain seperti limbah dan sampah juga ditemukan tersebar disekitar wilayah tersebut (terlihat minyak dan plastik disekitar area mangrove). Perubahan struktur tanah dimungkinkan juga bisa menjadi penyebab lain terjadinya fenomena tersebut.

menarik dibaca :  Menjaga Hutan Mangrove Teluk Benoa ala Nelayan Wanasari

 

Hasil pemantauan mangrove dieback dari tahun 2017 hingga 2019 melalui citra satelit Sentinel-2. Didapati bahwa pada tahun 2017 fenomena dieback ternyata sudah terjadi di area tersebut dan setidaknya merusak 2,43 ha area mangrove disana. Pada tahun 2018, area tersebut meluas hingga 7,41 ha, kemudian pada awal Januari sudah terdeteksi menjadi 8,95 ha. Foto : Sentinel/Mongabay Indonesia

 

Mangrove dieback  sebenarnya fenomena yang dapat dikatakan jarang di Indonesia, namun tercatat pernah terjadi juga di Pulau Mantehage-Sulawesi Utara dan Karimunjawa-Jawa Tengah. Negara Australia pada tahun 2015 juga pernah mengalami hal yang serupa dan telah mematikan +7400 hektar mangrove di Pesisir Cartepentaria yang dipicu oleh kekeringan dan penurunan muka air laut.

Penanaman atau tumbuhnya anakan mangrove baru di daerah tersebut untuk menggantikan mangrove yang mati bisa saja terjadi dan dilakukan, karena kondisi lingkungan diperkirakan masih kondusif untuk rekolonisasi mangrove mangrove baru (bisa dari jenis lain) dari benih lokal yang ada. Namun hal yang perlu diingat adalah anakan mangrove tidak dapat menggantikan langsung jasa ekosistem yang telah dibentuk dan diberikan oleh mangrove sebelumnya, karena mereka butuh waktu untuk berkembang dan setidaknya perlu bertahun-tahun untuk mencapai pada tingkatan dewasa dan kuat guna menjadi “tembok alami” lagi.

Kajian terkait untuk sedimentasi dan pola hidrologi mangrove, begitu juga dengan kemungkinan indikasi pemicu lain fenomena tersebut perlu segera dilakukan, sehingga rencana tindak lanjut dapat dijalankan dan tepat sasaran. Bila tidak, tembok alami pengikat tanah yang telah hidup selama puluhan tahun tersebut dapat hilang dan pada akhirnya menimbulkan bencana yang lebih besar seperti likuifaksi dan berdampak secara signifikan terhadap hilangnya fauna-fauna penting yang hidup disana.

***

Pustaka:

Biro Humas Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. 2017. Siaran pers nomor: SP. 58/HUMAS/PP/HMS.3/03/2017: Miliki 23% ekosistem mangrove dunia, Indonesia tuan rumah konferensi internasional mangrove 2017. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan

Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. 2018. Sebaran mangrove kritis Indonesia. Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman. Jakarta

Murdiyarso, D., Purbopuspito, J., Kauffman, J.B., Warren, M.W., Sasmito, S.D., Donato, D.C., Manuri, S., Krisnawati, H., Taberina, S., Kurnianto, S. 2015. The potential of Indonesian mangrove forests for global climate change mitigation. Nature Climate Change, 5:1089-1092. http://dx.doi.org/10.1038/nclimate2734

Muhammad Ilman, Paul Dargusch, Peter Dart, Onrizal. 2016. A historical analysis of the drivers of loss and degradation of Indonesia’s mangroves. Land Use Policy, 54: 448-459.https://doi.org/10.1016/j.landusepol.2016.03.010

***

*Hanggar Prasetio, Ridge to Reef GIS Coordinator Conservation International Indonesia. Artikel ini merupakan opini penulis

 

Exit mobile version