Mongabay.co.id

Langkah Pasti Zulkarnedi Melestarikan Penyu di Bengkulu

Penegakan hukum diharapkan dapat mengurangi jumlah perburuan telur penyu yang masih terjadi di Aceh saat ini. Foto: Junaidi Hanafiah

 

 

Zulkarnedi, warga Desa Pekik Nyaring, Kabupaten Bengkulu Tengah, Bengkulu, tidak pernah menyangka, langkahnya melestarikan penyu berdampak positif bagi lingkungan. Melalui Kelompok Pelestari Penyu Alun Utara yang didirikannya 12 Mei 2016, masyarakat tidak hanya mengenal lebih dekat perihal penyu, tetapi juga dia dipercaya sebagai pihak yang menyediakan tukik [anak penyu] sehat, saat akan dilepasliarkan.

Apa yang membuat lelaki ini begitu semangat menjaga kehidupan penyu? “Menebus dosa, agar anak cucu kita nanti bisa melihatnya secara nyata. Bukan hanya mendengar cerita atau melihat gambar,” katanya di rumah penetasan telur penyu yang dikelola Alun Utara, Minggu [10/2/2019] sore.

Dosa yang dimaksud Zulkarnedi adalah perbuatan yang sering dilakukannya ketika anak-anak yaitu membunuh penyu. Dia juga menjual telur penyu. “Saya ini keturunan nelayan. Kakek saya nelayan. Waktu saya kecil, kakek sering ke Pulau Tikus, pulangnya membawa penyu dan telurnya.”

Foto: Melepas Tukik, Menjaga Keseimbangan Ekosistem Lingkungan

 

Tukik-tukik ini dilepaskan ke laut sebagai rumahnya, setelah ditetaskan. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

Lahir tahun 1968, Zulkarnedi melakoni profesi sebagai nelayan pada 1990. Aktivitas menjual telur penyu dilakukannya di 2011 dan berhenti akhir 2015. Telur dibelinya dari nelayan yang mencari di pesisir pantai Desa Pekik Nyaring dan sekitar. Beberapa tahun sebelum membentuk Kelompok Alun Utara, dia memang ingin berhenti berdagang, beralih menetaskan telur. Namun, niatnya terkendala dana karena sekali beli telur harus dalam jumlah banyak.

“Istilahnya, satu sarang. Berkisar 100 hingga 120 butir. Setelah petugas dari Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Bengkulu menginformasikan ada dana pengganti Rp8.000 per butir, niat baik saya bisa diwujudkan,” tuturnya.

Pembelian telur penyu untuk ditetaskan pertama kali dilakukannya sebanyak 100 butir. Berbekal pengalaman masa kecil, dia menetaskan telur-telur tersebut menggunakan ember plastik yang diisi pasir pantai. Suhu pasir dijaga dengan disirami air laut. Sekitar 50-60 hari, satu per satu telur menetas.

“Tahun 2016 dan 2017, sebanyak lima sarang telur penyu jenis lekang. Pada 2018, sebanyak 19 sarang telur jenis lekang dan sisik, sementara tahun ini baru lima sarang telur jenis lekang, sisik, dan belimbing yang menghasilkan,” Zulkarnedi merinci.

Baca: Begini Upaya Mereka Jaga Rumah Bertelur Penyu di Mentawai

 

Zulkarnedi menunjukkan penyu sisik di depan rumah penetasan yang diperindah dengan mural, sebagai bentuk dukungan terhadap Kelompok Alun Utara. Foto: Dedek Hendry/Mongabay Indonesia

 

Keberhasilan menetaskan telur penyu, membuat Kelompok Alun Utara dikenal masyarakat luas. Pada 22 Agustus 2016, pelepasan 100 tukik dilakukan di pantai Desa Pekik Nyaring yang melibatkan warga beserta Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Bengkulu.

Alun Utara juga dipercaya sebagai tempat masyarakat dan mahasiswa magang, khususnya Program Studi Ilmu Kelautan, Jurusan Perikanan, Fakultas Pertanian, Universitas Bengkulu. “Magang dua bulan. Biasanya Oktober hingga November. Pada 2016 [2 orang], 2017 [4 orang], dan 2018 [7 orang],” ujar lulusan Sekolah Teknik Mesin [STM] ini.

Selain secara swadaya, sebagian tukik yang ada dilepasliarkan pada momen-momen tertentu. Namun, tak banyak pihak tahu bila tukik-tukik tersebut hasil kerja tanpa pamrih Zulkarnedi.

“Saya senang. Semakin banyak orang mengenal penyu, mudah-mudahan semakin banyak yang peduli. Sama halnya ketika mengetahui beberapa orang yang pernah belajar di sini membentuk kelompok baru pelestarian penyu. Saya bahagia,” kata lelaki yang belum pernah sekali pun mengikuti pelatihan pelestarian penyu.

Baca juga: Foto: Enggano dalam Bingkai Herpetofauna

 

Rinto Supriyadi, pengelola akun youtube Rinto Rigon yang membantu mengelola akun Sea Turtle Conservation Alun Utara mengenalkan penyu sisik kepada anaknya di rumah penetasan dan pembesaran penyu Kelompok Pelestarian Penyu Alun Utara. Foto: Dedek Hendry/Mongabay Indonesia

 

Dukungan

Adanya dana pengganti pembelian telur penyu yang disediakan Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Bengkulu tentu sangat membantu Kelompok Alun Utara. Meski, jumlahnya terbatas dan keberlanjutannya tidak dapat dipastikan.

“Kalau ada yang datang membawa telur, tapi tidak bisa dibeli, telur tersebut bakal tidak bisa ditetaskan. Jika menggunakan uang pribadi, itu tidak memungkinkan. Satu sarang butuh uang minimal Rp800.000, dan ini masih dilema,” ujar Zulkarnedi. Berdasarkan pengalamannya saat menjadi penjual telur penyu 2011-2015, setiap tahun bisa sebanyak 35 sarang didapat.

 

Dua ember ini berisi telur penyu Lekang yang sedang ditetaskan. Foto: Dedek Hendry/Mongabay Indonesia

 

Terhadap kesulitan yang dihadapi, Zulkarnedi tidak patah arang. Dia tetap setia membangun mimpinya, mengembangkan pantai Desa Pekik Nyaring sebagai tempat wisata edukasi. Menjaga lingkungan sekaligus memberi dampak baik terhadap keseimbangan ekosistem.

“Ada orang bilang saya kurang kerjaan, bahkan menyebut saya setengah gila. Sebab, saya sama sekali tak mendapatkan upah dari kegiatan yang saya lakukan. Memberi pakan tukik secara swadaya, sementara hasilnya tidak dijual. Saya yakin, suatu hari nanti, saya dapat membuktikan bahwa melestarikan penyu merupakan langkah benar menjaga lingkungan, sekaligus membantu perekonomian masyarakat,” tuturnya.

 

Telur penyu jenis belimbing yang dibeli oleh Kelompok Pelestari Penyu Alun Utara dimasukkan ke dalam pasir untuk ditetaskan. Foto: Rinto Supriyadi/Mongabay Indonesia

 

Indonesia merupakan rumah bagi   enam spesies penyu dari tujuh spesies yang ada di dunia.   Enam jenis tersebut adalah penyu hijau [Chelonia mydas], penyu sisik [Eretmochelys imbricata], penyu lekang [Lepidochelys olivacea], penyu belimbing [Dermochelys coriacea], penyu pipih [Natator depressus], dan penyu tempayan [Caretta caretta].

 

 

Exit mobile version