Mongabay.co.id

Menagih Komitmen Energi Bersih Terbarukan Gubernur Bali [Bagian 1]

Dalam beberapa kesempatan, Gubernur Bali I Wayan Koster menegaskan bahwa pemerintahannya akan beralih pada energi bersih dan terbarukan (EBT). Gubernur baru yang dilantik pada September 2018 lalu ini berkali-kali menyebutkan Bali akan lebih banyak menggunakan energi gas dibanding bahan lain seperti batubara.

Namun, komitmen itu justru dipertanyakan ketika saat ini Bali masih menggantungkan listriknya terutama dari pembangkit listrik berbahan batubara dan diesel. Apalagi, dalam kasus terakhir, warga justru kalah ketika menggugat izin lingkungan yang dikeluarkan Gubernur Bali sebelumnya terkait pembangunan pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) Celukan Bawang yang menggunakan batubara.

Tulisan pertama ini bagian dari tiga tulisan berseri yang menelisik sejauh mana Gubernur Bali berusaha mewujudkan komitmen itu dalam kebijakan dan programnya, bukan hanya pernyataan.

***

Sengketa antara warga Celukan Bawang dan Greenpeace Indonesia melawan Gubernur Bali masih berlanjut. Warga penggugat yaitu I Ketut Mangku Wijana, Baidi Suparlan, dan I Putu Gede Astawa bersama Greenpeace Indonesia memasukkan memori kasasi melalui Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Denpasar pada Senin (11/02/19).

Pendaftaran memori kasasi itu melanjutkan babak sengketa antara warga desa di Bali bagian utara itu bersama Greenpeace Indonesia melawan Gubernur Bali terkait izin pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Celukan Bawang Tahap II di desa tersebut. Dalam dua putusan sidang sebelumnya, warga dan Greenpeace Indonesia kalah.

baca :  Sengketa PLTU Berbahan Batubara di Bali Utara [Bagian 1]

 

Salah satu sidang gugatan warga dan Greenpeace di PTUN Denpasar tentang PLTU II Celukan Bawang pada Mei 2018. Foto : Anton Muhajir/Mongabay Indonesia

 

Warga dan Greenpeace Indonesia menggugat Gubernur Bali terkait Surat Keputusan Gubernur Bali Nomor 660.3/3985/IV-A/DISPMPT tentang Izin Lingkungan Hidup Pembangunan PLTU Celukan Bawang Tahap II sejak Januari 2018. PLTU berbahan batubara ini akan membangun lokasi baru, 2 x 330 megawatt, di Desa Celukan Bawang, Kecamatan Gerokgak, Kabupaten Buleleng. PLTU baru ini merupakan perluasan dari PLTU lama yang sudah beroperasi sejak 2015.

Setelah delapan bulan sidang, warga dan Greenpeace Indonesia kalah. Dalam sidang putusan pada 16 Agustus 2018, majelis hakim dengan anggota Himawan Krisbiyantoro dan Anita Linda Sugiarto menyatakan menolak permohonan penundaan pelaksanaan obyek sengketa seperti yang diajukan para penggugat.

Hakim juga menyatakan para penggugat tidak memiliki kepentingan untuk menggugat. Terakhir, menurut hakim, gugatan para penggugat juga tidak diterima.

Kalah di PTUN Denpasar, warga dan Greenpeace Indonesia yang diwakili Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Bali, kemudian mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PT TUN) Surabaya. Namun, dalam banding itu, para penggugat kembali kalah.

Pada sidang putusan, Hakim Ketua Dani Elpah dengan anggota Nurman Sutrisno dan Arif Nurdu’a memutuskan “Menguatkan Putusan PTUN Denpasar No.2/G/LH/2018/PTUN DPS tanggal 16 Agustus 2018 dengan tambahan pertimbangan.” Dalam sidang tertanggal 26 Desember 2018 itu, hakim PT TUN Surabaya juga menghukum penggugat untuk membayar biaya perkara sebesar Rp250.000.

baca juga :  Warga dan Greenpeace Gugat Gubernur Bali terkait Izin Lingkungan. Kenapa?

 

Warga penggugat didampingi LBH Bali menunjukkan memori kasasi gugatan Izin Lingkungan PLTU Celukan Bawang Tahap II di Denpasar, Senin (11/02/2019). Foto : Anton Muhajir/Mongabay Indonesia

 

Mengabaikan Fakta

Perjuangan warga dan Greenpeace menggugat izin lingkungan dari Gubernur Bali belum berakhir. Pada Senin (11/02/2019) lalu, mereka mengajukan kasasi terhadap putusan PT TUN Surabaya itu lewat PTUN Denpasar.

Ni Putu Candra Dewi, perwakilan Tim Kuasa Hukum penggugat mengatakan majelis hakim PT TUN Surabaya tidak memperhatikan dan mempertimbangkan substansi penting dalam banding. “Sudah jelas terdapat kekeliruan yuridis dalam prosedur penerbitan izin lingkungan PLTU Celukan Bawang 2 x 330 MW,” kata pengacara LBH Bali itu.

Menurut Candra hakim PT TUN Surabaya juga mengabaikan fakta tidak dilibatkannya masyarakat dalam perencanaan pembangunan, dokumen Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) yang cacat substansi, dan tidak sesuainya pembangunan PLTU Celukan Bawang Tahap II dengan prinsip pembangunan berkelanjutan.

Sementara itu, Putu Gede Astawa sebagai salah satu penggugat mengaku kecewa karena PT TUN Surabaya menganggap tidak ada dampak terhadap warga akibat terbitnya Izin Lingkungan dari Gubernur Bali tersebut. “PLTU pertama saja dampaknya sudah luar biasa. Apalagi jika nanti ada tambahan PLTU lagi,” kata Astawa yang juga Ketua Kelompok Nelayan Mekarsari.

Warga di sekitar PLTU Celukan Bawang yang beroperasi saat ini mengaku mengalami dampak buruk PLTU berbahan batubara itu mulai dari rusaknya kelapa, memburuknya kesehatan, hingga hilangnya ikan tangkapan. Dalam laporan April 2018 lalu, Greenpeace Indonesia bahkan menuding PLTU dengan kapasitas 426 MW itu telah meracuni Bali.

Mangku Wijana, penggugat lainnya juga mempertanyakan putusan PTUN Denpasar maupun PT TUN Surabaya. “Kenapa bisa dibilang kami tidak punya hak untuk menggugat? Saya ini mengalami sendiri dampak buruk tersebut. Kami ini jelas-jelas dirugikan,” katanya.

Mangku salah satu warga yang memiliki lahan kebun di tengah lokasi di mana PLTU Tahap II akan dibangun. Dia memiliki lahan 3,5 hektar yang terjepit di antara lahan baru dan lahan lama PLTU Celukan Bawang. Sejak adanya PLTU berjarak tak lebih dari 200 meter dari kebunnya itu tanaman kelapa seluas 1,5 hektar miliknya kini tak lagi menghasilkan buah bagus.

Dia menuding asap batubara dari PLTU yang menyebabkan kerugian itu.

baca juga :  Begini Ironi Membumikan Energi Bersih di Bali

 

PLTU Celukan Bawang, Buleleng, Bali, sebenarnya tidak termasuk dalam RUPTL 2018-2027. Bali sendiri saat ini sudah kelebihan pasokan listrik. Foto : Anton Muhajir/Mongabay Indonesia

 

Menagih Komitmen

Dari perspektif lain, kekalahan warga dan Greenpeace Indonesia dalam gugatan terhadap Gubernur Bali di PTUN Denpasar dan banding di PT TUN Surabaya itu juga menimbulkan pertanyaan baru: sejauh mana komitmen Gubernur Bali terhadap energi bersih dan terbarukan?

Sebagai gambaran, gugatan warga dan Greenpeace Indonesia diajukan pada Januari 2018. Gubernur Bali saat itu adalah Made Mangku Pastika. Sejak September 2018 lalu, Pastika digantikan gubernur baru I Wayan Koster.

Meskipun demikian, menurut Candra, gugatan tetap berlaku meskipun gubernurnya sudah berganti. “Karena yang menjadi tergugat adalah jabatan Gubernur Bali, siapapun pejabatnya,” katanya.

Aam Wijaya, Community Legal Organizer Greenpeace Indonesia, menambahkan bahwa pengajuan kasasi juga sebagai ujian terhadap Gubernur Bali saat ini terhadap energi bersih terbarukan (EBT). “Kalau Gubernur Bali sudah menyatakan Bali akan mengejar kemandirian energi dan menggunakan energi bersih terbarukan, seharusnya dia memulai dari yang paling bawah yaitu di PLTU Celukan Bawang,” kata Aam.

Menurut Aam, Gubernur Bali bisa memulai komitmen itu dengan mendukung warga yang menuntut agar Izin Pembangunan PLTU Celukan Bawang Tahap II dicabut. “Warga seolah-olah dibiarkan sendiri menghadapi dampak PLTU berbahan batu bara yang sudah mereka alami. Padahal, sejak disahkan, Gubernur sudah mengatakan akan mewujudkan Bali mandiri energi dan menggunakan EBT,” ujarnya.

baca : Begini Wacana Pembangunan Bersih Gubernur Baru Bali. Realistiskah?

Saat ini, Aam melanjutkan, isu paling nyata terkait energi bersih terbarukan di Bali adalah dengan adanya PLTU Celukan Bawang Tahap II yang menggunakan batu bara. Penggunaan batu bara ini terbukti tidak ramah lingkungan dan berdampak buruk terhadap lingkungan maupun kehidupan warga di sekitarnya. “Karena itu, pencabutan izin lingkungan PLTU Celukan Bawang yang akan menggunakan bahan batu bara menjadi sangat penting sebagai bukti komitmen gubernur baru,” kata Aam.

Gede Astawa menginginkan hal sama. “Gubernur dan warga kan sudah memiliki kepentingan yang sama terhadap Bali yang lebih bersih tanpa energi kotor. Masak Gubernur membuat pernyataan saja, tetapi membiarkan kami berjuang sendiri?” tanyanya.

 

Surayah, seorang warga Desa Celukan Bawang mengaku lebih sering sakit termasuk cucunya setelah PLTU Celukan Bawang beroperasi. Foto : Anton Muhajir/Mongabay Indonesia

 

Exit mobile version