Mongabay.co.id

Nasib RUU Masyarakat Adat Kian Tak Jelas

Aksi menyuarakan penyelamatan hutan adat Laman Kinipan di Lamandau, Kalteng. Foto: Safrudin Mahendra-Save Our Borneo

 

 

 

 

 

 

Kelompok masyarakat sipil, tergabung dalam Koalisi Kawal RUU Masyarakat Adat, kembali mempertanyakan keseriusan pemerintah dalam melanjutkan pembahasan Rancangan Undang-undang Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat (RUU masyarakat adat). Semestinya, kalau sesuai rencana, pembahasan RUU ini sudah masuk masa persidangan pada Agustus 2018. Regulasi ini penting dalam mewujudkan, hak masyarakat adat yang kian terancam.

Hingga Februari 2019, proses pembahasan RUU masyarakat adat masih penuh tanda tanya. Pemerintah hingga kini, belum juga menyerahkan daftar inventarisasi masalah (DIM) kepada DPR. Padahal, dokumen itu menjadi syarat bagi legislatif dan eksekutif bisa melanjutkan pembahasan RUU MA.

Kelompok masyarakat sipil pun mendesak agar presiden memantau pembantu-pembantunya yang terkait isu ini segera menyusun DIM.

Baca juga:  Menanti Gerak Cepat DPR Rampungkan RUU Masyarakat Adat

Sebenarnya, DIM RUU masyarakat adat, sudah harus diserahkan kepada DPR dalam kurun waktu 60 hari terhitung sejak surat pimpinan DPR yang diterima Presiden Jokowi. Surat DPR kepada Jokowi pada 12 Februari 2018.

”Lambatnya proses ini menurut saya sebagai bentuk penolakan halus pemerintah dengan segaja memperlama DIM dan wujud pembangkangan perintah Presiden, oleh pembantu-pembantunya,” kata Muhammad Arman, Direktur Advokasi Kebijakan, Hukum dan HAM Pengurus Besar AMAN, di Jakarta, baru-baru ini.

Baca juga:  Kado Hari Tani 2018: Presiden Tandatangani Perpres Reforma Agraria

Pada pertemuan Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), presiden berjanji mempecepat proses perundang-undangan ini, sampai keluar surat presiden (supres) pada 18 April 2018. Isinya, menunjukkan, wakil pemerintah untuk membahas RUU tentang masyarakat adat.

Presiden menugaskan, Menteri Dalam Negeri, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Menteri Kelautan dan Perikanan, Menteri Agraria dan Tata Ruang/ Kepala Badan Pertanahan Nasional, Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi dan Menteri Hukum dan HAM.

”Proses ini menjadi stagnan pembahasan karena DIM tidak ada. Kunci pembahasan saat ini ada di pemerintah,” katanya.

Baca juga:  Akhirnya Kemendagri Dukung Pembahasan RUU Masyarakat Adat Lanjut

Informasi DIM pun masih tidak jelas. Koalisi sempat mengirimkan dua kali surat kepada Kementerian Sekretaris Negara. Pertama, 8 November 2018, koalisi meminta permohonan audiensi terkait proses pembahasan RUU masyarakat Adat. Surat ini berbalas pada 19 November 2018, mengatakan, tak dapat memenuhi permohonan karena masih dalam pembahasan tingkat satu.

 

Lahan dan hutan adat yang sudah bersih dan masuk konsesi perusahaan di Tambaraw. Foto: Hugo Asrouw

 

Merasa tak puas, koalisi pun kembali mengirimkan surat pada 22 Januari 2019, untuk mempertanyakan kembali terkait DIM dan meminta audiensi kepada Setneg.

Pada 22 Februari lalu, kata Arman, Setneg memenuhi permintaan audensi koalisi diterima Lidia Silvana, Deputi II Bidang Hukum. “Koalisi diterima (setneg) ditemukan masalah, baru satu kementerian yang paraf, yakni Kementerian ATR/BPN. Yang lain belum,” katanya.

Selama ini, paraf lintas kementerian pun saling tuduh. Keadaan ini membuktikan, koordinasi dan sinkronisasi antarkementerian tak berjalan lancar.

“Kalau saya membaca ini sesungguhnya pemerintah tak mau mengakui masyarakat adat dan pembangkangan terhadap pemerintah presiden,” kata Arman.

Lidia, katanya, mengatakan, pemerintah serius membahas RUU ini dan setneg tetap mendorong Mendagri menyerahkan DIM.

Pembahasan RUU ini disebutkan memerlukan pendalaman ekstra, sesuai UU sektoral dan ada kekhawatiran berbenturan dengan UU lain. Kesulitan sinergitas ini disebutkan memerlukan waktu.

“Mendagri pernah mengirim surat ke masing-masing kementerian paling lambat paraf 21 Desember 2018,” kata Arman, mengutip pertemuan Setneg Februari lalu.

 

Pascaputusan pemerintah mengeluarkan hutan adat Pandumaan Sipituhuta dari konsesi PT TPL. Wargapun memasang plang di sana. Foto: Ayat S Karokaro/ Mongabay Indonesia

 

 

Makin mepet

Siti Rakhma Mary Herawati, Ketua Bidang Manajemen Pengetahuan Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia mengatakan, koalisi pun menyurati dan mempertanyakan kepada kementerian, malah dipingpong dan serba ketidakpastian.

”Waktunya sangat mepet sekali, saya tidak yakin, jika DIM keluar bulan depan namun ada pemilihan presiden dan legislasi (17 April 2019), mau dibahas kapan lagi?”

Bahkan, dia khawatir RUU masyarakat adat, kembali gagal diundangkan, setelah dua kali periode pemerintahan dibahas, yakni dalam program legislasi nasional 2015 dan 2016.

Selama ini, katanya, Pemerintahan Jokowi, hanya memberikan pengakuan kepada masyarakat adat dan luasan kecil sekali. ”Untuk legislasi ini, isu-isu masyarakat ini lewat.”

Padahal, dalam Nawacita menyebutkan, pembahasan dan pengesahan RUU masyarakat adat menjadi komitmen pemerintahan tahun ini.

”Ini soal konsistensi DPR dan pemerintah. Meski waktu sangat mepet, jika mereka serius, masih cukup,” kata Arman.

Keseriusan itu pun dinilai, dengan memastikan DIM masuk ke DPR, selanjutnya dibuat pertemuan marathon untuk membahas bersama.

Dari sisi substansi RUU, koalisi telah memberikan masukan tertulis kepada DPR. Adapun masukan, antara lain, hak wilayah adat, hak budaya spiritual, hak perempuan adat, hak anak dan pemuda adat, hak atas lingkungan hidup, dan hak untuk berpartisipasi.

”RUU masyarakat adat bukanlah alat dagang politik. UU ini diperlukan Bangsa Indonesia, karena merupakan mandate konstitusi UUD 1945,” katanya.

Komitmen atas RUU ini, tak cukup di atas kertas atau hanya omongan politik para pemimpin negara ini, katanya, perlu menunjukkan keberpihakan nyata pada situasi masyarakat adat yang selama beberapa generasi menjadi korban ketidakadilan atas kebijakan sumberdaya alam di Indonesia.

”RUU masyarakat adat jadi keharusan bagi pemerintah dan DPR untuk segera disahkan. Tak ada usulan lain dalam memberikan kepastian hukum bagi masyarakat adat,” kata Rahma.

Payung hukum dari negara ini penting demi menjamin pemenuhan hak-hak masyarakat adat. Di lapangan, katanya, banyak perampasan lahan maupun ruang hidup masyarakat oleh perusahaan maupun pemerintah.

Masyarakat adat di Indonesia, katanya, masih dalam pusaran dan korban konflik sumber daya alam dan agraria. Berdasarkan data Perkumpulan Huma pada 2018, sekurangnya 326 konflik sumber daya alam dan agraria di Indonesia, melibatkan 2,1 juta hektar dengan korban 186.631 jiwa. Sedikitnya, 176.637 jiwa dari masyarakat adat.

Koalisi Rakyat Untuk Keadilan Perikanan (Kiara) juga mencatat pada 2018, ada lima orang dikriminalisasi dan satu meninggal dunia dari masyarkat adat di pesisir dan pulau-pulau kecil.

”Maraknya konflik agraria dan bahari ini menjadi cerminan pembangunan ekonomi Indonesia belum berpihak kepada masyarakat adat, terutama masyarakat adat pesisir dan pulau-pulau kecil,” kata Bona Beding dari Kiara.

RUU ini, katanya, bisa membawa semangat mewujudkan masyarakat adat yang menjunjung tinggi nilai-nilai hak asasi manusia dan hak-hak perempuan.

”Kami menyadari, dalam komunitas adat masih terdapat diskriminasi dan kekerasan terhadap perempuan adat,” kata Muntaza, Direktur Program dan Komunikasi Perempuan AMAN.

Dia bilang, ada kasus pemerkosaan berujung kawin paksa, sampai praktik potong jari pada perempuan yang mengalami kedukaan.

RUU ini, katanya, merupakan satu kebijakan hukum yang mampu mengikat masyarakat adat terlibat aktif dalam mengeliminasi diskriminasi dan kekerasan terhadap perempuan adat. ”Jadi ini tidak hanya menyangkut hak juga kewajiban masyarakat adat.”

Menunda pengesahan RUU masyarakat adat, katanya, sama dengan menunda keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia. Penundaan pembahasan ini, jelas berdampak pula pada makin lama masyarakat adat mendapatkan kepastian hukum, baik status sebagai subyek hukum maupun kepastian hukum atas beragam hak yang melekat di mereka.

Dalam kajian Madani (2018), kedua pasangan calon Presiden-Wakil Presiden tak mempunyai visi misi kuat atas jaminan hukum bagi masyarakat adat. Bahkan, visi-misi Prabowo-Sandi, tak sedikitpun menyinggung perihal masyarakat adat. Paslon Jokowi-Maaruf, menitikberatkan pada pemenuhan hak-hak masyarakat adat, tanpa menyebutkan produk hukumnya.

 

Keterangan foto utama:    Aksi menyuarakan penyelamatan hutan adat Laman Kinipan di Lamandau, Kalteng. Pengakuan dan perlindungan hak-hak masyarakat adat, yang belum berjalan lancar menyebabkan konflik terus terjadi di lapangan. Foto: Safrudin Mahendra-Save Our Borneo

Plang Hutan Adat Bukan Hutan Negara di Kasepuhan Karang, Banten. Foto: Lusia Arumingtyas/ Mongabay Indonesia

 

Exit mobile version