Mongabay.co.id

Eksaminasi Pakar Kasus Budi Pego: Tak Ada Unsur Melawan Hukum, Ada Tekanan?

Pemandangan di lokasi pertambangan emas Tumpang Pitu, Banyuwangi.Foto: BaFFEL/ Mongabay Indonesia

 

 

 

 

Pertambangan emas di Gunung Tumpang Pitu, Desa Sumberagung, Pesanggaran, Banyuwangi, Jawa Timur, menimbulkan masalah lingkungan, dan mengancam kehidupan warga dari krisis air bersih, sampai mata pencarian bertani maupun nelayan terdampak. Warga yang menolak tambang untuk mempertahankan ruang hidup mereka berhadapan dengan hukum, salah satu Heri Budiawan, atau dikenal dengan Budi Pego.

Budi dilaporkan External Affairs Manager PT Bumi Suksesindo (BSI), Bambang Wijanarko, pasca aksi demonstrasi 4 April 2017. Budi dituduh menyebarkan ajaran komunisme lewat spanduk. Dia terjerat Pasal 107a UU No.27/1999, tentang perubahan Kitab Undang-undang Hukum Pidana yang berkaitan dengan kejahatan keamanan negara.

Baca Juga: Kala Tolak Tambang Emas Banyuwangi Berbuntut Tudingan Komunis

Setelah putusan Pengadilan Negeri Banyuwangi dan Pengadilan Negeri Jawa Timur, Budi menjalani hukuman 10 bulan penjara. Meski begitu, Budi dan tim kuasa hukum kasasi ke Mahkamah Agung. Parahnya, MA menolak permohonan kasasi bahkan menaikkan vonis jadi empat tahun penjara pada 16 Oktober 2018.

Pada 7 Desember 2018, dia mendapatkan surat panggilan terpidana dari Kajari Banyuwangi yang akan mengeksekusi tahap pertama. Hingga terbit surat panggilan eksekusi tahap kedua 27 Desember 2018, sampai kini, salinan putusan kasasi masih belum diterima.

Terkait putusan itu, sejumlah akademisi dan pakar hukum dari berbagai universitas dan organisasi masyarakat sipil menginisiasi eksaminasi atas putusan hakim. Mereka berkumpul di Ruang Pusat Studi, HRLS, Gedung C, Fakultas Hukum, Universitas Airlangga, akhir Februari lalu.

Baca juga: Cerita Budi Pego: Soal Spanduk Komunis Siluman di Aksi Tolak Tambang Tumpang Pitu

Joko Ismono, tim eksaminator dari Fakultas Hukum Universitas Wijaya Putra, mengatakan, pejuang HAM dan lingkungan hidup, dilindungi Pasal 66 UU Nomor 32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH).

“Setiap orang yang memperjuangkan hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat tidak dapat dituntut pidana maupun digugat perdata,” katanya, mengutip pasal itu.

Joko bilang, yang menimpa Budi bentuk kriminalisasi, karena tak ada bukti dalam setiap persidangan. Penerapan pasal kejahatan terhadap negara dinilai tak tepat. Menurut dia, hakim hanya berpikir formalistik, tanpa melihat upaya itu perbuatan memperjuangkan lingkungan.

Dia menduga, ada tekanan dari pihak-pihak berkepentingan. Hakim, kata Joko, seharusnya, lebih berhati-hati dalam memutuskan perkara, mengingat kasus ini jadi sorotan publik luas.

“Berdasarkan KUHP, kewenangan hakim MA kasasi hanya memeriksa apakah judex facti melampaui kewenangan, apakah judex facti salah dalam penerapan materil dan formilnya.”

M. Tavip, akademisi Fakultas Hukum Universitas Tadulako, selaku eksaminator, berpendapat, dalam kasus ini, tak ada unsur melawan hukum.

“Yang dipakai hakim PN untuk memutuskan putusan kasus Heri Budiawan adalah unsur melawan hukum hanyalah aksi yang tidak memiliki izin. Hakim agak kacau, karena instrumen untuk aksi adalah pemberitahuan, bukan izin,” katanya.

Eksaminator ketiga, Hananto Widodo dari Fakultas Hukum Universitas Negeri Surabaya, menegaskan, kasus Budi tak memenuhi unsur melawan hukum dan terkesan dipaksakan. Dia menduga ada rekayasa agar Budi kehilangan hak-haknya.

Kasus ini, katanya, hanya untuk mengalihkan isu pertambangan yang ditolak warga Tumpang Pitu.

“Sebenarnya Pasal 107a bisa digunakan terhadap Heri Budiawan, jika dia paham ajaran komunisme. Dengan kasus ini, ke depan pasal ini bisa jadi pasal rawan,” kata Hananto.

Dalam catatan Herlambang P. Wiratraman, pegiat hak asasi manusia, putusan hakim pengadilan negeri dan pengadilan tinggi, nalar hukum hakim tak merujuk pada satu pun tradisi aliran filsafat hukum.

Dalam filsafat hukum, katanya, ada enam aliran, yakni, historis, naturalis, positivisme, sociological jurisprudence, utilitarianisme, realisme. “Dalam kasus ini, tak satu pun hakim merujuk pada aliran filsafat hukum itu,” katanya.

 

Dari kiri ke kanan, Abdul. Wahid Habibulloh (pengacara), Hari Kurniawan (pengacara), Hari Budiawan (Budi Pego), Achmad Zakkyi Qhufron (pengacara), Tedjo Achmad Rifai (pengacara). Foto: Forbanyuwangi/ Mongabay Indonesia

 

Selasa Kliwon, merawat perjuangan

Meski dibayangi ketidakadian dan ancaman krimianalisasi, penolakan-penolakan terus terjadi di masyarakat dan aktivis lingkungan. Mulai awal 2019 ini, mereka mengadakan aksi rutin setiap Selasa Kliwon, tiap bulan.

Selain membawa tuntutan keadilan bagi kawan mereka yang dikriminalisasi, juga menyampaikan kondisi lingkungan yang mulai memprihatinkan. Aksi Selasa Kliwon, bagi mereka, dianggap sebagai upaya merawat perjuangan. Apalagi, banyak timbul dampak di masyarakat terutama di dekat pertambangan. Mulai dari sulit air sampai polusi suara proyek.

Usman, Koordinator Forum Rakyat Banyuwangi, mengatakan, banyak pohon di sekitar hutan (sebelum turun status hutan lindung) ditebang untuk kelancaran proyek. Proses pengerukan tanah untuk tambang makin besar.

“Akibat pembukaan lahan, banyak hewan mulai turun dan merusak tanaman warga, belum lagi sumber mata air mulai tercemar,” katanya.

Paini, warga Desa Sumberagung, Kecamatan Pesanggaran mengeluhkan, selama ini masyarakat kesulitan sumber mata air. Menurut dia, pembangunan BSI juga dianggap sangat mengganggu masyarakat karena menimbulkan suara bising.

Baca juga: Tambang Emas Tumpang Pitu dari Masa ke Masa (Bagian 3)

Saat ini, BSI memasuki tahap eksploitasi. Proses produksi perdana pada 17 Maret 2017.

Menurut standar Joint Ore Reserve Committe (JORC), pertambangan emas di Tumpang Pitu, memiliki kualitas aset, estimasi 99 juta ton bijih dengan kandungan rata-rata 0,8 gram emas perton bijih dan 25 gram perak perton bijih. Lalu, 794 juta gram cadangan emas dan 862 miliar gram cadangan tembaga pada lapisan porfiri, 70 juta gram cadangan emas dan 2,2 miliar gram cadangan perak pada lapisan oksidasi. Kapasitas produksi 2,8 juta gram emas dan 136 juta gram perak pertahun.

Tak hanya di Tumpang Pitu, industri pertambangan di selatan Banyuwangi ini juga berpotensi meluas hingga Kecamatan Siliragung. Ia dikuatkan Perda Kabupaten Banyuwangi Nomor 8/2012, soal RTRW 2012-2032.

Dalam Pasal 60 huruf a, dinyatakan, kawasan pertambangan mineral logam akan terkonsentrasi pada dua kecamatan di pesisir Selatan Banyuwangi, yakni Pesanggaran dan Siliragung, luasan mencapai 22.600 hektar.

 

Keterangan foto utama:   Pemandangan di lokasi pertambangan emas Tumpang Pitu, Banyuwangi.Foto: BaFFEL/ Mongabay Indonesia

 

Kondisi perairan pulau merah dilihat dari atas. Dokumentasi 16 Agustus 2016 oleh Pokmas Pariwisata Pulau Merah/ Yogi Turnando
Penolakan warga atas tambang emas di Tumpang Pitu, juga banyak memenjarakan warga, salah satu Budi Pego. Foto: Indra Nugraha/ Mongabay Indonesia

 

 

Exit mobile version