Mongabay.co.id

Cerita Warga Menanti Wawonii Terbebas dari Pertambangan

Masri memeluk pohon mete. Dari mete kata Masri sudah bisa hidup sejahtera. Dia terus menolak kehadiran perusahaan tambang yang bisa merusak kehidupan mereka. Foto: Kamarudin/ Mongabay Indonesia

 

 

 

 

 

Kabupaten Konawe Kepulauan atau Pulau Wawonii, Sulawesi Tenggara, akhir-akhir ini jadi bahan pembicaraan. Penyebabnya, ribuan warga yang mendiami pulau itu, berbondong-bondong datang ke Kota Kendari, ibukota Sultra untuk demo di Kantor Gubernur Sultra, Jalan Halu Oleo, Poasia.

Ada empat kali demo warga. Mereka menuntut, pulau kecil ini terbebas dari pertambangan. Mereka mendesak Gubernur Sultra, H. Ali Mazi, mencabut 15 izin usaha pertambangan (IUP).

Baca juga: Pemerintah Sultra akan Cabut 15 Izin Tambang di Wawonii

Gubernur Sultra, langsung menghentikan operasi perusahaan yang menguasasi izin usaha pertambangan di sana. Ali Mazi mengeluarkan surat bernomor 540/B52/ESDM Sultra, tentang penghentian sementara seluruh operasi produksi 15 IUP di Konkep. Wakilnya, Lukman Abunawas menyatakan, siap mencabut 15 IUP di Wawonii.

Warga senang. Mereka merasa, perjuangan tak sia-sia. Wargapun mengadakan pesta adat di Pulau Wawonii.

 

Masbudi, memperlihatkan koprah putih. Ini hasil dari kebun kopra milik warga. Harga dari koprah putih Rp7.000 . Kini, berkurang karena masyarakat dominan bertani mete. Foto: Kamarudin/ Mongabay Indonesia

 

 

***

Saya mengunjungi Pulau Wawonii, di Kecamatan Wawonii Tenggara, yang berjuang menolak perusahaan tambang, PT Harita Grup, masuk Desa Roko Roko Raya. Mereka menilai, PT Harita, akan eksploitasi dan merusak ratusan ribu pohon jambu mete, kelapa penghasil kopra dan cengkih. Tiga komoditas perkebunan ini, penunjang kehidupan mereka.

Warga menganggap, mereka sudah sejahtera dengan perkebunan. Apalagi pada 2017-2018, warga berhasil meraup keuntungan Rp7 miliar dari tiga komoditas itu.

Baca juga: Demo Tuntut Pemerintah Sultra Cabut Izin Tambang di Wawonii, Warga Alami Kekerasan Aparat

Desa Roko Roko, terletak di sebelah selatan Pulau Wawonii, sekitar 50 km dari Ibu Kota Wawonii di Langara. Menuju desa ini, akan menempuh jalan pengerasan dengan sekitar dua jam.

Menuju desa ini memerlukan tenaga ekstra. Selain jalan rusak dan sedikit berlumpur, juga banyak melalui perbukitan sebagai kebun-kebun warga. Di sana banyak jambu mete, kelapa, kopra, dan pala. Ini bisa dilihat dari jalan poros menuju Roko Roko.

Baca juga: Dari Pulau Wawonii: Lahan Warga Terampas Tambang, Protes Berbuah Aniaya dan Penangkapan

Hamparan laut serta sekitar 53 sungai besar dan kecil di sepanjang perjalanan menambah keindahan pulau ini.

Menuju Roko Roko, merupakan jalan lingkar dibangun pada 2015. Ia melingkari Pulau Wawonii.

Kecamatan Wawonii Tenggara, ada 15 desa. Semula hanya empat, karena penduduk padat dan memenuhi pembentukan desa, desa-desa itu pecah jadi 15. Jumlah penduduk di Wawonii Tenggara, sekitar 7.000 jiwa.

“Mayoritas warga punya kebun. Kebun-kebun inilah yang masuk dalam areal IUP PT Gema. Kalau pohon-pohon ini ditumbangkan, bagaimana nasib warga? Kami akan hilang lapangan pekerjaan,” kata Imran, warga Roko Roko, pertengahan Maret lalu.

 

Ratna, Nurbaya dan Nur Halima, bersiap menuju kebun mete milik warga setempat untuk memungut biji mete. Foto: Kamarudin/ Mongabay Indonesia

 

Warga di darat berkebun, kalau di laut menangkap ikan. “Hasilnya sangat luar biasa. Sejak saya lahir dan besar di Wawonii, saya sudah bisa membangun rumah sendiri, menyekolahkan anak-anak. Biaya hidup kami sekeluarga dari berkebun dan melaut.”

Imran tinggal bersama istrinya, Suwarti, dengan empat orang anak. Semua anaknya sekolah, yang pertama kuliah, anak kedua, ketiga dan keempat di bangku SMP dan SMA. Imran sehari-hari hanya berkebun. Ada tiga tumbuhan dia tanam, mete, cengkih dan pala.

Baca juga: Warga, DPRD dan Pemerintah Konawe Kepulauan Tolak Tambang, Bagaimana Sikap Gubernur?

Dia keras menolak tambang. Imran bilang, penolakan tambang di Wawonii, karena alasan lingkungan dan kehidupan. Luasan IUP mengalahkan luas Wawonii, akan membawa dampak buruk bagi lingkungan. Hutan rusak karena terbabat, laut pun akan berubah warna seperti di beberapa wilayah dekat tambang di Sultra. Sumber kehidupan mereka akan hilang.

“Kita tolak tambang sejak 1999. Waktu itu, baru sebatas sosialisasi. Katanya, di Wawonii, akan dibangun perusahaan besar. Pengetahuan kami untuk gali-gali tanah. Kami belum tahu itu tambang. Setelah berjalan waktu, ada informasi kampung ini akan dirusak, mulai situ kami larang investor masuk,” katanya.

Imran ini orang Buton. Dia injakkan kaki di Wawonii, sejak 1994, sebagai buruh atau juru pungut mete di perkebunan warga. Akhirnya, dia menetap dan mempunyai lahan di Wawonii.

Pada 1999, paling aktif sosialisasi soal tambang dari perusahaan PT Aneka Tambang (Antam). Belakangan, tak ada kabar.

 

Abdul Majid, di lahan yang ditumbuhi ratusan pohon mete. Lahan ini tidak mau dia lepaskan kepada perusahaan. Memberikan lahan kepada perusahaan sama dengan bertaruh nyawa. Foto: Kamarudin/ Mongabay Indonesia

 

Bicara soal perkebunan, kata Imran, warga sudah begitu sejahtera. Bahkan, hasil panen kebun lebih dari cukup.

“Di sini, hanya orang malas yang tak kerja. Penduduk semua berusaha dari berkebun. Kepala keluarga di Wawonii Tenggara, ini pemilik lahan. Ada mete, cengkih, kelapa dan pala.”

Hal senada juga dikatakan Masri, paman Imran. Pria ini paham dan tahu sejarah perusahaan tambang masuk dan terjadi penolakan. Dia sendiri punya lahan tanam mete, kelapa, cengkih dan pala.

Masri bilang, penolakan tambang itu murni mempertahankan sumber kehidupan. “Bukan benci atau tak senang dengan perusahaan.”

Masri memiliki delapan orang anak. Empat orang sudah memiliki gelar sarjana di Universitas Halu Oleo. Satu lagi masih kuliah. Tiga anak yang lain masih SMP dan SMA. “Semua itu hasil berkebun.”

Dia tak mau hasil perkebunan dan pertanian yang selama ini menghidupi mereka, hilang berganti tambang. “Buat apa tambang. Kami bahagia dengan hasil bumi, ada berkebun dan nelayan. Kalau tambang hadir, paling kami hanya menikmati imbas buruknya.”

 

 

***

Suara ombak memecah keheningan di Desa Roko Roko, Wawonii Tenggara. Angin bertiup cepat. Ada yang baru minum kopi sambil menikmati mentari pagi. Ada juga merapikan jaring ikan persiapan melaut. Sebagian warga, membentangkan karung untuk menjemur sisa-sisa mete.

Saya mengelilingi kampung. Rasyid, warga Roko Roko, punya tujuh lahan perkebunan di beberapa lokasi, semua masuk konsesi Gema Kreasi Perdana. Sejak empat tahun terakhir, dia ikut protes menolak tambang. Dia tak mau melepas lahan yang menjadi tempat hidupnya.

“Ganti rugi Rp700.000. Ini pembayaran untu harga satu pohon jambu mete. Kami hitung-hitung kalau harga begitu, nilai ganti rugi, satu Rp20 juta. Itu tak masuk akal. Banyakan penghasilan kami.”

Dia coba merinci penghasilan setahun. Pada tujuh titik lahan perkebunan dia, jambu mete bisa hasilkan Rp100 juta—kalau panen lancar. Kalau lepas ke perusahaan, tujuh lahan sekitar Rp140 juta dan diangsur pula.

Bagi Rasyid, kalau mau jual lahan itu hanya kenikmatan sesaat. “Saya anggap, warga yang melepas lahan adalah orang bodo. Bayangkan lahan yang setiap tahun memberi kita hasil melimpah mau jual dengan harga tak manusiawi.”

Rasyid sudah hidup sejahtera dengan bertani mete, kopra, pala dan cengkih. Dia bisa bangun rumah permanen, beli satu mobil dan tiga motor. Anak-anak juga sekolah sampai sarjana.

“Empat anak saya sarjana semua. Itu hasil dari berkebun. Kalau kita mau lepas sama perusahaan, bagaimana ceritanya dengan kehidupan kami nanti?”

Suka duka berkebun juga dia alami. Pada 2018, pohon mete terserang penyakit daun kering dan gagal panen walau masih menghasilkan. Tahun 2018, produksi mete hanya lima ton dan dia peroleh Rp40 juta.

“Sudah bayar buruh untuk pungut mete dan biaya-biaya lain. Alhamdulilah, hasil masih ada.”

 

Biji mete hasil kebun warga di Kecamatan Wawonii Tenggara. Ini hasil dari panen warga selama ini kemudian dijual ke Surabaya. Foto: Kamarudin/ Mongabay Indonesia

 

Abdul Majid, pernah jadi Kepala Desa Roko Roko pada 2006, mengatakan, hasil perkebunan hampir merata bagi warga Wawonii Tenggara. “Semua digaji. Kami ambil buruh dari kabupaten lain karena penduduk dalam kampung tak ada. Rata-rata pemilik lahan,” katanya, seraya bilang, buruh pungut Rp3.000, pemecah kulit biji mete Rp7.000 oer kg.

Majid menghitung, rata-rata penghasilan buruh setiap orang bisa Rp2 juta sekali panen. “Kemudian datang tambang mau menumbangkan pohon-pohon jambu mete. Yang rugi bukan saja kami, juga akan menghilangkan lapangan kerja lain.”

Saya juga bertemu tiga perempuan Roko Roko, Ratna, Nurbaya dan Nur Halima. Nurbaya mengatakan, jadi buruh mete menambah penghasilan mereka. Setiap kali memungut mete bisa dapatkan uang Rp150.000.

Selain sektor perkebunan, perikanan di Wawonii Tenggara, juga jadi unggulan di Konawe Kepulauan, terutama Wawonii Tenggara.

“Hasilnya lumayan, kita ini nelayan kecil. Bisa untuk makan biaya hidup lain-lain,” kata Bahar, warga Roko Roko.

Ketika saya menemuinya, Bahar, baru saja berhasil menangkap dua tuna di sekitar Buton Utara dan Konawe Selatan.

Nurlina, pengumpul ikan, mengatakan, dalam sekali pengiriman di Tempat Pelelangan Ikan (TPI) Kendari, bisa 15 ton ikan setiap hari. Ini Ikan-ikan dari para nelayan seperti Bahar.

Data BPS Konkep 2018 menunjukkan, ada lima sektor tanaman pangan diusahakan pada 2016, yaitu padi, jagung, kacang kedelai, kacang hijau, dan ubi kayu. Dari kelima jenis tanaman pangan itu, padi ladang mendominasi luas panen tanaman pangan sebesar 121 hektar atau 33% dari luas panen.

Produksi tanaman hortikultura cukup bervariasi. Untuk sayuran ada kacang panjang, cabai rawit, tomat, terung, dan bayam.

Produksi paling banyak, yaitu terong tiga ton. Wawonii Tenggara, kecamatan paling banyak memproduksi terong (2 ton).

Untuk buah-buahan, ada beberapa macam seperti jeruk, mangga, nangka, nanas, pepaya, pisang, rambutan, sukun, dan petai.

Mangga, produksi paling besar 158 ton. Kecamatan paling banyak menghasilkan mangga di Wawonii Utara.

 

Imran, memegang dua tuna hasil tangkapan di Perairan Wawonii. Penghasilan ikan dari rutinitas nelayan mencapai 15 ton perbulan. Foto: Kamarudin/ Mongabay Indonesia

 

Komoditi perkebunan terbesar di Konawe Kepulauan, adalah kelapa. Pada 2016, luas kelapa mencapai 4.563 hektar. Jauh lebih besar dibandingkan kopi 22 hektar. Kecamatan dengan luas tanaman kelapa terbesar Wawonii Utara, 1.116 hektar.

Nah, saat ini harga kopra anjlok, seharusnya pemerintah hadir untuk menjaga agar kopra tetap memiliki nilai dan harga jual. Kasihan petani kopra kita,” kata Syamsir, ekonom dari Universitas Halu Oleo Kendari.

Di sektor perikanan, perikanan budidaya di Konkep didominasi jenis budidaya laut 35 hektar di Wawonii Tengah, Wawonii Selatan, dan Wawonii Barat.

Data BPS Konawe 2007, sebelum lepas dari kabupaten induk, Pulau Wawonii, salah satu penghasil tangkap ikan laut terbesar. Antara lain, produksi Wawonii Selatan 600,9 ton senilai Rp3,6 miliar, Wawonii Barat 545 ton Rp3,3 miliar. Lalu, Wawonii Tengah 446 ton Rp3,2 miliar, Wawonii Timur 528,3 ton Rp3,2 miliar dan Wawonii Utara 442 ton senilai Rp2,6 miliar.

“Artinya, dengan melihat potensi ini kenapa pemerintah tak lebih baik menjaga dan meningkatkan komoditi ketimbang tambang?” katanya.

Dia juga mendorong pemerintah provinsi mendorong 17 kabupaten dan kota punya komoditas unggulan, satu daerah satu produk.

Dari segi infrastruktur, kata Syamsir, Pemkab Konkep, harus mampu mempercepat pembangunan jalur distribusi barang agar proses keluar masuk melalui perdagangan antarpulau atau kabupaten dan provinsi dapat berjalan baik.

 

 

Keterangan foto utama:      Masri memeluk pohon mete. Dari mete kata Masri sudah bisa hidup sejahtera. Dia terus menolak kehadiran perusahaan tambang yang bisa merusak kehidupan mereka. Foto: Kamarudin/ Mongabay Indonesia

 

Nampak dari kejauhan bascame dan pelabuhan khusus atau jetty milik PT Gema Kreasi Perdana. Lokasi ini berada di Desa Roko Roko Raya, Kecamatan Wawonii Tenggara. Foto: Kamarudin/ Mongabay Indonesia

 

Exit mobile version