Mongabay.co.id

Bisakah Indonesia Kurangi Sampah Plastik hingga 70 Persen pada 2025?

Anakan penyu yang berenang diantara lautan sampah. Foto : wochit youtube

Upaya Pemerintah Indonesia untuk terus mengurangi sampah plastik di lautan sampai 70 persen pada 2025 terus dilakukan dengan berbagai cara. Salah satunya, adalah dengan menggandeng sejumlah pihak dari kalangan pebisnis, kelompok masyarakat sipil, dan pemangku kepentingan lokal yang dibentuk melalui kemitraan aksi plastik global atau Global Action Plastic Partnership (GPAP).

Pembentukan kemitraan itu diinisiasi Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman bersama Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK). Kemitraan itu dibentuk untuk menanggulangi pencemaran plastik yang ada di lautan, dan juga daratan yang menjadi sumber utama produksi sampah plastik.

Menko Kemaritiman Luhut Binsar Pandjaitan menjelaskan dengan kemitraan upaya pengurangan sampah plastik di lautan Indonesia bisa semakin mudah dilakukan. Termasuk, pengurangan limbah padat hingga 30 persen dan pengelolaan limbah padat hingga 70 persen pada 2025 mendatang.

“Ini memang masuk dalam rencana aksi nasional (RAN) Indonesia yang termasuk ambisius. Tapi, ambisius untuk kebaikan,” ungkapnya di Jakarta, pekan lalu.

baca : Menagih Peran Para Pihak Tangani Sampah Plastik di Laut

Pemerintah Indonesia melalui Kemenko Kemaritiman, Kementerian Perindustrian dan KLHK bekerja sama dengan Kemitraan Aksi Plastik Global (Global Action Plastic Partnership/GPAP) yang terdiri dari kalangan bisnis, kelompok masyarakat sipil dan pemangku kepentingan lokal untuk menanggulangi pencemaran plastik. Kemitraan berskala nasional diluncurkan di Jakarta pada Senin (11/3/2019). Foto : maritim.go.id/Mongabay Indonesia

Luhut mengatakan, jika kerja dalam kemitraan bisa diwujudkan, maka di masa mendatang, generasi penerus bangsa Indonesia akan mendapatkan lautan yang lebih baik, terlindungi dari pencemaran, dan sumber daya ikan yang semakin melimpah.

“Anak dan cucu kita dapat menikmati air yang segar, bebas dari pencemaran plastik di seluruh Indonesia,” sebutnya.

Dengan terus mengurangi limbah sampah di laut dan daratan, Luhut optimis generasi Indonesia di masa mendatang secara perlahan akan terbebas dari stunting, yaitu kondisi fisik seseorang yang kerdil dan keterbelakangan intelegensia akibat mengonsumsi ikan yang sudah terkontaminasi mikro plastik dari lautan.

Dampak negatif yang sudah mulai terlihat di masa sekarang tersebut, menurut Luhut, harus dihentikan karena itu akan mengancam keberlanjutan bangsa Indonesia di masa mendatang.

baca juga : Dunia Satukan Tekad Bersihkan Lautan dari Sampah Plastik

Publik-Swasta

Kemitraan GPAP ini melibatkan berbagai perusahaan, masyarakat, dan organisasi pemerintahan, seperti Chandra Asri Petrochemical, Coca-Cola Amatil, Blue Bird, Dow Chemicals, Yayasan Ellen MacArthur, Evoware, Giti Grup, Greenhope, Perkumpulan Dewan Bisnis Indonesia Untuk Pembangunan Berkelanjutan (IBCSD), Indorama Synthetics, Indofood CBP Sukses Makmur, Nestle, PepsiCo, Bank Dunia, dan WWF Indonesia.

Melalui GPAP, Luhut menyebutkan Pemerintah bisa memilih solusi yang pas dan sesuai untuk penanggulangan pencemaran plastik di lautan dan di daratan. Selain itu, dengan GPAP, bisa dikembangkan rencana investasi dan aksi untuk mengurangi pencemaran plastik dan memberikan peluang investasi, serta membuat peta jalan (road map) untuk implementasi.

menarik juga : Sejumlah Pihak Berkomitmen Mengurangi Sampah Plastik di Lautan. Seperti Apa?

Pantai Freedom Island di Metro Manila penuh dengan sampah pada 2017. Foto : Greenpeace/Mongabay Indonesia

Sebelum dilaksanakan di tingkat nasional, Luhut menambahkan, bentuk kemitraan untuk inisiasi penanggulangan pencemaran plastik lebih dulu dilakukan di tingkat dunia dan diluncurkan pada 2018 di Davos, Swiss. Kemitraan yang juga melibatkan kalangan publik dan swasta itu, memiliki tujuan untuk menerjemahkan komitmen politis dan korporat mengenai penanggulangan pencemaran plastik menjadi strategi yang terukur dan rencana aksi yang layak investasi.

Kemitraan global tersebut mendapat dukungan penuh dari Commonwealth Clean Oceans Alliance, the Oceans Plastics Charter, serta New Plastics Economy Global Commitment. Dengan kolaborasi tersebut, diharapkan dunia bisa memobilisasi dukungan dari publik, sektor swasta dan masyarakat.

“Pada akhirnya, itu akan memberi perlindungan terhadap kekayaan keanekaragam hayati laut yang berperan penting untuk masa depan anak cucu kita,” ucap Luhut.

Kepala Centre for Global Public Goods – Forum Ekonomi Dunia (WEF) Dominic Waughray menjelaskan tentang upaya dunia dalam menanggulangi pencemaran sampah plastik di lautan dan daratan. Menurutnya, kemitraan aksi plastik global menjadi aksi yang unik karena itu untuk menunjukkan kepada dunia bahwa aksi bersama dengan basis ilmu pengetahuan, akan memperbaiki masalah yang pelik dan melestarikan warisan alam untuk generasi mendatang.

Upaya penanggulangan sampah plastik oleh Pemerintah Indonesia mendapat dukungan dunia. Seperti dari PEW Charitable Trust dan SYSTEMIQ yang akan mengembangkan model analitis untuk pembuatan keputusan berbasis data. Model tersebut dibangun untuk mengevaluasi solusi yang bisa memberikan kontribusi terhadap target pengurangan sampah plastik sampai 70 persen.

“Solusi tersebut mencakup dengan mengurangi pengemasan berlebihan, membuat inovasi bahan plastik yang dapat didaur ulang, mengganti material, meningkatkan laju daur ulang serta meningkatkan laju pengumpulan limbah,” pungkasnya.

perlu dibaca : Daur Ulang Sampah Tidak Cukup Melindungi Laut dari Pencemaran Plastik

Tumpukan sampah di pesisir pantai. Sampah di laut membahayakan bagi biota laut dan juga manusia bila masuk ke rantai makanan. Foto : kkp.go.id

Dominasi Manusia

Apa yang diungkapkan Luhut dan Dominic tersebut memang benar adanya. Peneliti Kimia Laut dan Ekotoksikologi Pusat Penelitian Oseanografi (P2O) Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Reza Cordova pernah menyampaikan hasil risetnya dalam sebuah forum di Jakarta, belum lama ini. Menurut dia, setiap tahun laut Indonesia diperkirakan mendapat kiriman berupa sampah plastik bekas konsumsi manusia dengan jumlah antara 100 ribu ton hingga 400 ribu ton.

Kiriman sampah itu, katanya, memastikan bahwa manusia menjadi produsen sampah paling dominan di bumi ini. Asumsi sederhana namun kasar itu, didapat melalui penelitian yang dilakukan LIPI. Banyaknya produksi sampah, terutama plastik yang dikirim ke lautan Indonesia, secara langsung ikut menjadikan kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil sebagai kawasan kotor dan penuh sampah.

“Apalagi, dari hasil penelitian, didapatkan fakta bahwa sampah yang ada di kawasan pesisir didominasi oleh plastik dengan prosentase antara 36 hingga 38 persen,” ungkapnya.

Reza menyatakan dari semua sampah yang masuk ke laut Indonesia, sebagian besar terdiri dari plastik dan karet, logam, kayu olahan, kain, lainnya, dan bahan yang berbahaya. Semua sampah itu, dibawa oleh aliran sungai dan juga beragam aktivitas manusia.

“Namun, dominasi bahan plastik masih sulit digeser oleh sampah yang berasal dari material lain,” ucapnya.

menarik dibaca : Benarkah Produksi Sampah Plastik Indonesia Terbanyak Kedua di Dunia?

Sampah yang mengotori laut merupakan salah satu ancaman nyata kehidupan Coelacanth. Foto: Christopel Paino/Mongabay Indonesia

Mengingat banyaknya sampah yang berkumpul di kawasan pesisir, Reza mengingatkan kepada semua pihak untuk bersama menjaga lingkungan sedari usia dini. Perhatian masyarakat menjadi sangat penting dengan mengubah gaya hidup yang lebih ramah lingkungan.

Berkaitan dengan sampah laut, khususnya sampah plastik dan mikroplastik, Reza menuturkan bahwa keterlibatan semua pihak, dari Pemerintah hingga masyarakat adalah hal yang mutlak dan tidak bisa ditawar lagi. Salah satu cara menanggulangi sampah jenis tersebut, masyarakat dihimbau untuk bisa mengurangi konsumsi plastik, terutama yang sekali pakai dan menghindari penggunaan mikroplastik dalam bahan kosmetik.

“Sehingga itu membantu kelestarian laut Indonesia dan dunia,” sebutnya.

Untuk kajian yang dilakukan LIPI sendiri, Reza mengatakan bahwa itu dilaksanakan di 18 pantai yang sudah dipilih. Semua pantai itu menjadi titik utama untuk dilakukan penelitian dan pemantauan setiap bulan. Selama melakukan penelitian, pemantauan sampah terdampar diakuinya menjadi salah satu perhatian utama yang dilakukan oleh tim.

Selain pemantauan sampah terdampar, Reza mengungkapkan, tim juga menjadikan 13 lokasi pesisir sebagai kawasan uji sampel mikroplastik di permukaan air. Kemudian, ada juga delapan lokasi untuk pengujian mikroplastik di sedimen dan 10 lokasi untuk pemantauan satu genus ikan teri (Stolephorus sp.). Dari semua aktivitas pemantauan itu, ditemukan fakta bahwa mikroplastik bisa ditemukan pada seluruh lokasi kajian, baik pada permukaan air, sedimen, maupun pada tubuh ikan.

Menurut Reza, mikroplastik terbanyak ditemukan pada permukaan air di Sulawesi Selatan dan Teluk Jakarta dengan rerata 7,5 hingga 10 partikel per meter kubik. Kemudian, pada sedimen yang diteliti di perairan Aceh, Sulawesi Selatan dan Biak, Papua, ditemukan lebih dari 100 partikel per kilogram. Terakhir, dari hasil penelitian juga ditemukan mikroplastik pada ikan teri dengan 0,25 hingga 1.5 partikel per gram. “Atau antara 58 hingga 89 persen pada setiap ikan teri,” ucapnya.

***

Keterangan foto utama : Anakan penyu yang berenang diantara lautan sampah. Foto : wochit youtube/Mongabay Indonesia

Exit mobile version