Kita semua pernah melakukannya. Anda pasti pernah menghabiskan minuman dingin dan membuang botol plastiknya ke tempat sampah daur ulang. Mudah, nyaman, dan cepat. Anda pun ikut berkontribusi dalam menghentikan pencemaran lingkungan.
Namun, bagaimana jika daur ulang sampah sendiri ternyata belum cukup? Bagaimana jika kita sangat yakin bahwa kita dapat terus menggunakan plastik selama akhirnya didaur ulang, padahal sebenarnya, kita hanya menunda terjadinya sebuah bencana berskala global?
Bertepatan dengan Our Ocean Conference yang berlangsung di Bali pada tanggal 29 dan 30 Oktober, kami ingin mengutarakan sebuah pesan yang jelas: untuk menghentikan krisis plastik, perusahaan-perusahaan harus mengurangi jumlah plastik sekali pakai yang mereka produksi dan menemukan cara alternatif dalam mengemas dan mengirimkan produk mereka.
Krisis plastik bukanlah hal baru bagi Indonesia. Selama bertahun-tahun, perairan Indonesia telah menjadi tempat pembuangan limbah plastik dari negara lain. Untungnya bagi masyarakat Indonesia, Anda memiliki Menteri Kelautan dan Perikanan seperti Susi Pudjiastuti yang berperan sebagai pemimpin global dalam upaya sengit melawan penangkapan ikan ilegal. Bersama Susi, Indonesia berencana untuk melakukan hal yang sama dalam menghadapi krisis plastik.
baca : Sampah Plastik Ada di Perairan Laut Sabang hingga Merauke, Bagaimana Sikap Pemerintah?
Mungkin Anda telah menonton video viral yang memperlihatkan sedotan plastik yang ditarik dari hidung seekor penyu laut secara menyakitkan. Mungkin Anda telah membaca laporan terbaru mengenai ikan paus yang mati terdampar dengan puluhan kantong plastik di dalam perut mereka. Mungkin Anda telah melihat foto-foto burung laut dengan isi tubuh mereka yang dipenuhi sampah plastik. Atau mungkin, saat Anda mengunjungi daerah pantai baru-baru ini, Anda menjumpai sederetan sampah plastik yang mengotori garis pasang tertinggi pantai itu.
Semua ini merupakan bukti bahwa sampah plastik telah banyak mencemari saluran air dan juga lautan kita. Sampah plastik terbukti sangat berbahaya bagi beraneka ragam hewan yang hidup di lautan. Seluruh fungsi dasar kehidupan—bernapas, makan, bermigrasi, bereproduksi—akan terganggu dengan adanya sampah plastik. Namun, semua gangguan tersebut hanya merupakan sebuah awal. Masih banyak dampak lain dari sampah plastik yang lebih sulit dilihat.
Plastik tidak akan pernah hilang dan sebaliknya, terurai menjadi partikel-partikel kecil. Mikropartikel ini berukuran begitu kecil sehingga dapat termakan oleh zooplankton—hewan mungil yang menduduki posisi dasar rantai makanan laut. Ketika zooplankton dimakan oleh pemangsa yang lebih besar, plastik dapat terakumulasi di dalam tubuh ikan-ikan tersebut, dan akhirnya terkandung dalam makanan laut yang kita konsumsi.
Kita baru mulai memahami dampak kesehatan dan ekologis dari permasalahan ini. Sementara itu, krisis plastik ini pun semakin memburuk. Setidaknya 17,6 miliar pound sampah plastik telah mencemari lingkungan laut setiap tahunnya—setara dengan jika Anda menenggelamkan sebuah truk sampah penuh plastik ke lautan setiap menitnya. Saat ini, belum ada satu pun solusi yang mampu menangani volume sampah sebanyak itu.
baca : Darurat: Penanganan Sampah Plastik di Laut
Ketika bak mandi Anda meluap, Anda tidak akan mengepelnya sebelum mematikan keran. Anggap saja daur ulang adalah kain pel, sementara yang harus kita lakukan adalah mematikan keran—dalam hal ini, mengurangi jumlah produksi. Kita tahu bahwa dari keseluruhan sampah plastik, hanya sedikit yang benar-benar didaur ulang. Dan sebagian besar sampah yang didaur ulang tersebut hanya bersifat stopgap atau pengganti sementara, dan akan menjalani proses downcycle—didaur ulang menjadi bahan-bahan berkualitas rendah. Setelah mengalami beberapa siklus downcycling, bahan-bahan tersebut akan tetap berakhir di tempat pembuangan sampah, dibakar, atau mengambang di lautan.
Melihat proyeksi peningkatan produksi plastik, peningkatan laju daur ulang hingga dua atau tiga kali lipat di masa depan masih belum bisa dianggap cukup untuk menghentikan pencemaran sampah plastik dalam jumlah besar di aliran limbah kita. Satu-satunya solusi paling efektif adalah dengan menghentikan produksi plastik sekali pakai langsung pada sumbernya.
Langkah ini tentunya sangat layak dilakukan. Pada tahun 2002, pemerintah Irlandia memberlakukan pajak kantong plastik yang menyebabkan penurunan penggunaan hingga 94 persen. Kebijakan tersebut juga mendapatkan dukungan yang positif dari masyarakat. Setahun setelah larangan penggunaan kantong plastik di negara bagian California diberlakukan, jumlah sampah laut yang berasal dari kantong plastik menurun secara substansial.
baca : Indonesia Serukan Semua Negara Harus Kurangi Sampah Mikroplastik, Seperti Apa?
Larangan penggunaan kantong plastik memang telah diterapkan dalam sejumlah kasus tertentu, namun inilah saatnya untuk memperluas lingkup upaya ini secara nasional dan juga global. Langkah ini harus didorong oleh perubahan kebijakan serta kepemimpinan perusahaan, dan menurut saya, tempat terbaik untuk memulai seluruh upaya ini adalah Our Ocean Conference yang sedang berlangsung di Bali, Indonesia. Sudah saatnya kita mengapresiasi komitmen-komitmen perusahaan yang berupaya untuk melakukan lebih dari sekadar daur ulang demi menyelamatkan lingkungan kita
Kita harus mematikan keran, kita harus menutup aliran limbah plastik yang mengancam lautan kita. Setelah itu, baru kita dapat membersihkan semua kerusakan yang telah kita lakukan.
***
*Jacqueline Savitz, Chief Policy Officer organisasi konservasi internasional Oceana. Tulisan ini merupakan opini penulis.