Mongabay.co.id

Nasib Jatiluwih setelah Menjadi Warisan Budaya Dunia [2]

 

Pada 2012, Badan PBB untuk Pendidikan dan Kebudayaan (UNESCO) menetapkan sistem subak di Bali sebagai warisan budaya dunia (WBD). Kawasan WBD ini berada di lima wilayah kabupaten yaitu Bangli, Gianyar, Tabanan, Buleleng, dan Badung. Luasnya lebih dari 19.500 hektar.

Jatiluwih, kawasan sawah berundak di kaki Gunung Batukaru, Kecamatan Penebel, Tabanan bisa disebut sebagai ikon subak sebagai WBD. Tiga tahun terakhir lebih dari 200.000 turis domestik dan mancanegara mengunjungi kawasan ini tiap tahun.

Namun, banyaknya turis justru menjadi ancaman bagi masa depan Jatiluwih. Begitu ditetapkan sebagai warisan budaya dunia, Jatiluwih hanya dianggap sebagai daerah tujuan pariwisata, bukan lagi lahan pertanian yang harus dilestarikan.

Tulisan ini merupakan bagian kedua dari serial yang akan melihat bagaimana kondisi Jatiluwih khususnya dan subak Bali umumnya setelah penetapan sebagai WBD sejak tujuh tahun lalu.

***

Lansekap subak Jatiluwih, Tabanan, Bali, terdiri dari tujuh subak di kawasan tersebut. Foto : Anton Muhajir/Mongabay Indonesia

 

Pagar besi selebar pintu dengan kawat-kawat tajam menutup jalan masuk pematang sawah milik Wayan Sukanika. Pintu itu terkunci dengan tali rafia terikat di tiang beton. Pemilik sawah memang sengaja mengikatnya meskipun tetap bisa dibuka dari luar.

“Biar sawah saya tidak rusak gara-gara tamu, Pak,” kata Sukanika pada Juli 2018 lalu.

Saat itu, anggota Subak Telabah Gede, Desa Jatiluwih, Kecamatan Penebel, Kabupaten Tabanan, Bali itu sedang membersihkan lahan persiapan menanam padi konvensional. Sawahnya seluas 58 are masih kosong.

Sukanika merapikan pematang. Mengalirkan air memenuhi sawahnya. Menyabit rumput-rumput. Memangkas ilalang. Memoles dinding-dinding pematang dengan lumpur. Dia layaknya pelukis dengan hamparan sawah sebagai kanvasnya.

Hasilnya, air di hamparan sawah layaknya kaca, menciptakan refleksi. Cuaca pertengahan tahun yang cerah membuat Gunung Batukaru di sisi utara terlihat jelas. Begitu pula bayangannya. Tak heran jika pemandangan itu mengundang ratusan ribu turis domestik dan mancanegara melintasi pematang sawahnya.

Lokasi yang berada paling tinggi di sisi selatan jalan utama Desa Jatiluwih membuat sawahnya jadi bagian pertama yang didatangi turis dari pintu barat daya tarik wisata (DTW) Jatiluwih.

Namun, bukannya mendatangkan dolar, hadirnya turis di sawah Sukanika justru mendatangkan masalah. Pematang yang sudah dirapikan kemudian rusak karena diinjak-injak. Padi yang sudah merunduk berisi kadang dicabut turis.

Pintu dengan jeruji besi menjadi pembatas agar turis tidak sembarangan masuk sawah Sukanika. Hingga Rabu (17/04/2019) lalu, pagar itu masih terlihat.

baca : Nasib Jatiluwih setelah Menjadi Warisan Budaya Dunia [1]

 

Petani memasang barikade untuk mencegah turis masuk sawah mereka. Foto : Anton Muhajir/Mongabay Indonesia

 

Protes

Tak hanya Sukanika yang menutup pematang sawahnya dengan pagar jeruji besi. Petani-petani lain di sekitarnya pun melakukan hal serupa. Memasang palang pintu dari kayu atau bambu di pematang untuk mencegah agar turis tak seenaknya masuk sawah mereka.

“Kadang-kadang turisnya bengkung. Sudah dikasih tahu untuk tidak masuk, mereka tetap masuk sawah. Kami sampai harus melempar lumpur biar mereka pergi,” kata I Ketut Lada, petani lain. Bengkung artinya tidak bisa dikasih tahu.

Bagi petani seperti Sukanika dan Lada, pengesahan Jatiluwih sebagai bagian dari Warisan Budaya Dunia oleh UNESCO justru menjadi dilema. Di satu sisi nama desa memang makin terkenal, tetapi di sisi lain justru membuat tekanan terhadap sawah mereka makin besar.

Banyaknya turis berbanding lurus dengan kerusakan sawah mereka. Padahal, petani tahu bahwa ada duit terus mengalir seiring datangnya turis-turis untuk menikmati keindahan sawah mereka.

Menurut laporan Manajemen Operasional DTW Jatiluwih, selama lima tahun terakhir uang yang masuk setidaknya mencapai Rp29,6 miliar. Jumlah pemasukan terus meningkat dari tahun ke tahun. Rinciannya Rp2,9 miliar pada 2014, Rp3 miliar (2015), Rp4,7 miliar (2016), Rp8,9 miliar (2017), dan Rp9,8 miliar (2018).

Pemasukan kotor itu kemudian dipotong untuk asuransi agar mendapatkan pendapatan bersih 100 persen. Dari 100 persen pendapatan bersih itu, dipotong lagi sebesar 40 persen untuk manajemen operasional 15 persen, pengembangan 10 persen, promosi 10 persen, dan badan pengelola 5 persen.

“Ini untuk biaya operasional, seperti gaji pegawai dan kebutuhan lain,” kata Manajer Operasional DTW Jatiluwih I Nengah Sutirtayasa.

baca juga : Subak, Situs Warisan Budaya yang Saat Ini Terancam

 

Turis berjalan di pematang sawah petani dan kadang-kadang merusaknya. Foto : Anton Muhajir/Mongabay Indonesia

 

Dari sisa 60 persen pendapatan bersih itu dibagi lagi menjadi dua: 45 persen untuk Pemerintah Kabupaten Tabanan dan 55 persen untuk Desa Jatiluwih, termasuk desa adat, desa dinas, dan subak.

Di Jatiluwih terdapat setidaknya empat lembaga yaitu dua desa adat, satu desa dinas, dan subak. Karena itu, dari dari 55 persen bagian untuk Desa Jatiluwih itu kemudian dibagi lagi yaitu Desa Adat Jatiluwih (30 persen), Desa Adat Gunungsari (20 persen), Desa Dinas Jatiluwih (25 persen), dan Subak (25 persen).

Terakhir, dari 25 persen untuk subak dibagi lagi untuk subak sawah sebanyak tujuh kelompok dan satu subak abian atau subak kebun. Artinya, tiap subak sawah masing-masing mendapat 3 persen sedangkan subak abian 4 persen. Itu pun hanya untuk pengurus subak, bukan langsung ke petani.

Jika uang masuk dari tiket turis ke Jatiluwih ibarat air, maka subak mendapat tetesan paling kecil. Padahal, merekalah ujung tombak dari pelestarian subak di Jatiluwih. Itu pun di tingkat tempekan subak, bukan di masing-masing petani.

Inilah yang dipersoalkan sebagian petani. Mereka merasa tidak mendapat sepeser pun uang dari pengelolaan Jatiluwih sebagai WBD ataupun DTW. “Yang dapat (uang) hanya elite-elite pengurus subak,” kata Gede Suweden, anggota subak di Banjar Gunungsari.

menarik dibaca : Beginilah Nasib Subak di Bali

 

Seorang petani memberikan atraksi foto kepada turis untuk mendapatkan pemasukan selain bertani. Foto : Anton Muhajir/Mongabay Indonesia

 

Bantuan

Namun, pengelola DTW Jatuluwih menepis anggapan itu. Menurut Surtirtayasa, selain mendapat bagian dari pemasukan, petani juga mendapatkan bantuan untuk pengelolaan kelompok subak dan sarana produksi, seperti benih dan pupuk.

“Kami berikan ke mereka agar mereka tidak hanya jadi objek,” kata Tirta, panggilannya.

Tirta menambahkan sebelum ada bantuan dari Manajemen DTW Jatiluwih, petani harus membayar iuran kalau mau upacara adat. Besarnya biaya upacara adat itu sekitar Rp30 juta – Rp40 juta. Kini, petani tidak perlu lagi mengeluarkan uang saat ada upacara, terutama di pura subak.

Sejumlah petani membenarkan adanya bantuan tersebut. Ketut Nukarta, anggota Subak Gunungsari, mengatakan kelompoknya mendapatkan bantuan berupa pupuk dan biaya saat ada upacara. Dulu, sebelum ada bantuan, dia harus mengeluarkan uang setidaknya Rp100 ribu hingga Rp150 ribu tiap ada upacara adat. Ada pula yang sampai Rp500 ribu. Tergantung besar kecilnya upacara adat.

“Sekarang saluran air juga lancar karena terus diperbaiki pengelola,” tambahnya.

Namun, secara personal, semua petani mengaku tidak mendapatkan apapun dari pendapatan yang masuk ke Jatiluwih. Hanya pemilih lahan dilewati jalur treking yang mendapatkan uang sewa atau bantuan. Itu pun sekali saja.

baca juga : Ekowisata Subak Sembung, Melestarikan Sawah Sekaligus Mencegah Banjir

 

Petani mendapatkan bantuan pupuk dan biaya upacara dari manajemen DTW Jatiluwih. Foto : Anton Muhajir/Mongabay Indonesia

 

Untuk itu sebagian petani pun membuat usaha sendiri-sendiri. Selain I Made Gendra yang membuat gubuk untuk tempat jualan, petani lain seperti Wayan Sukarta pun melakukan hal serupa. Sejak dua tahun lalu dia berjualan aneka camilan dan minuman di jalur treking yang tiap hari dilalui turis.

Selain berjualan bersama istrinya, dia juga memberikan jasa sebagai pemandu treking terutama jarak jauh. Dalam sebulan, dia bisa mendapat dua kali pesanan treking ke desa sebelah, Wongaya Gede. Jaraknya sekitar 10 km dari Jatiluwih. Tarifnya Rp75 ribu per jam.

“Biar tidak rugi karena saya hanya jadi objek. Daerah lain dapat gaji, kalau kami kan tidak,” ujar Sukarta merujuk ke pengurus subak.

Petani lain bersiasat dengan membuat atraksi membajak sawah. Tarifnya Rp500 ribu untuk 20 menit. Ada pula yang menyediakan sawahnya untuk lokasi foto pranikah (prewedding). Tarifnya Rp100 ribu sekali foto.

Sukanika, yang menutup pematangnya agar tidak dimasuki turis, juga memiliki siasat sendiri. Dia menyewakan gubuknya untuk restoran dari Badung, pusat pariwisata dan kabupaten terkaya di Bali. Restoran itu menyulap gubuk milik Sukanika menjadi tempat bersantap siang eksklusif dikelilingi sawah.

Untuk itu Sukanika mendapatkan Rp200 ribu tiap ada tamu. Dalam sebulan dia bisa mendapatkan dua kali pemesanan. “Kalau tidak dengan cara begini, kami tidak akan dapat apa-apa. Padahal kami adalah ujung tombak Jatiluwih. Bukan pengelola,” katanya.

Ketika petani-petani kecil memilih siasatnya sendiri untuk mendapatkan bagian dari aliran dolar dari turis penikmat sawah-sawah mereka, pada saat yang sama fasilitas lebih besar dan mewah pun kini bertebaran di Jatiluwih. Mereka tak hanya melanggar aturan yang diberikan UNESCO setelah Jatiluwih menjadi bagian dari warisan budaya dunia, tetapi juga mengancam masa depan ikon subak Bali tersebut.

 

Exit mobile version