Mongabay.co.id

Nasib Jatiluwih setelah Menjadi Warisan Budaya Dunia [3]

 

Pada 2012, Badan PBB untuk Pendidikan dan Kebudayaan (UNESCO) menetapkan sistem subak di Bali sebagai warisan budaya dunia (WBD). Kawasan WBD ini berada di lima wilayah kabupaten yaitu Bangli, Gianyar, Tabanan, Buleleng, dan Badung. Luasnya lebih dari 19.500 hektar.

Jatiluwih, kawasan sawah berundak di kaki Gunung Batukaru, Kecamatan Penebel, Tabanan bisa disebut ikon subak sebagai WBD. Tiga tahun terakhir lebih dari 200.000 turis domestik dan mancanegara mengunjungi kawasan ini tiap tahun.

Namun, banyaknya turis justru menjadi ancaman bagi masa depan Jatiluwih. Begitu ditetapkan sebagai warisan budaya dunia, Jatiluwih hanya dianggap sebagai daerah tujuan pariwisata, bukan lagi lahan pertanian yang harus dilestarikan.

Tulisan ini bagian ketiga dari serial yang melihat bagaimana kondisi Jatiluwih khususnya dan subak Bali umumnya setelah penetapan sebagai WBD sejak tujuh tahun lalu. Tulisan pertama bisa dibaca disini. Tulisan kedua bisa dibaca disini

***

Pembangunan penginapan di pinggir sawah Jatiluwih, Tabanan, Bali. Foto : Anton Muhajir/Mongabay Indonesia

 

Bangunan setengah jadi berbahan bambu menyambut tiap orang yang datang di kawasan Jatiluwih, Kecamatan Penebel, Kabupaten Tabanan, Bali pertengahan April lalu. Berwarna coklat di antara hijau padi dan tumbuhan sawah, bangunan di sisi kanan jalan utama Jatiluwih itu langsung terlihat mata.

Pada pertengahan 2018, bangunan itu belum ada. Sampai pertengahan April lalu pun masih dalam pengerjaan. Namun, karena tingginya mencapai sekitar 15 meter di persawahan, bangunan bertingkat berbentuk bulat itu pun tampak menonjol.

Berjarak sekitar 1 km dari restoran yang sedang dibangun itu, sebuah bangunan bertingkat empat lainnya juga dalam proses pengerjaan. Bangunan berlantai beton itu persis berada di pinggir sawah. Lantai paling atas masih berisi penyangga-penyangga bambu di bawahnya. Pertanda masih dalam tahap pengecoran.

“Sekarang berhenti karena mendapat peringatan dari Satpol PP. Bangunannya terlalu tinggi,” kata I Gede Suweden, salah satu warga di Banjar Gunungsari, Desa Jatiluwih. Dari rumah anggota subak ini, rumah baru yang sedang dibangun sebagai penginapan itu terlihat jelas.

Lima tahun terakhir, bangunan-bangunan baru seperti restoran dan penginapan terus bermunculan di Jatiluwih. Seiring masuknya Jatiluwih sebagai bagian dari Warisan Budaya Dunia (WBD) oleh Badan PBB untuk Pendidikan dan Kebudayaan (UNESCO), fasilitas pariwisata pun bermunculan di kawasan tersebut.

Ketika sebagian petani anggota subak menambah fungsi gubuk mereka di tengah persawahan, pada saat sama pemilik modal besar pun membangun fasilitas pariwisata lebih besar. Ketika petani hanya menjadikan gubuknya untuk berjualan aneka camilan dan suvenir, pengusaha pariwisata membangun penginapan, restoran, atau bahkan vila di sekitarnya.

baca : Nasib Jatiluwih setelah Menjadi Warisan Budaya Dunia [1]

 

Pembangunan penginapan di pinggir sawah Jatiluwih, Tabanan, Bali. Foto : Anton Muhajir/Mongabay Indonesia

 

Bumerang

Bagi mereka yang dulu ikut mempromosikan lansekap subak agar masuk dalam WBD UNESCO, maraknya pembangunan di Jatiluwih justru seolah menjadi kulkul peringatan terhadap masa depan pertanian di kawasan ini.

I Wayan Alit Artha Wiguna termasuk yang melihat masifnya pembangunan itu sebagai peringatan. “Sangat memprihatinkan bagi saya,” kata peneliti di Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Bali ini. Alit merupakan Ketua Tim Pemetaan Kawasan Subak yang menjadi bahan utama untuk diajukan ke UNESCO agar diakui sebagai WBD. Tim ini memetakan subak-subak di kawasan yang diajukan sebagai WBD pada 2008-2012 silam.

Saat ini Alit sudah tidak terlibat secara pribadi maupun kelembagaan dalam pengelolaan Jatiluwih. Namun, sebagai peneliti yang terlibat lama di pertanian termasuk di Jatiluwih, Alit kadang-kadang masih berkunjung ataupun mendengar kabar tentang Jatiluwih.

Berdasarkan apa yang dilihatnya, Alit menyatakan kondisi Jatiluwih saat ini berbeda dengan apa yang dulu diajukan ke UNESCO. Ada dua dua dokumen yang diajukan ketika mendaftarkan agar subak diakui sebagai WBD oleh UNESCO. Pertama, dokumen penjelasan (dossier) tentang konsep dan kondisi subak di empat lokasi yang diajukan dan alasan kenapa harus diakui sebagai WBD. Kedua, dokumen rencana pengelolaan (management plan) semua kawasan tersebut. Tak hanya Jatiluwih.

“Rencana itu penting untuk diterapkan. Bagaimana kita akan mampu menerapkan konservasi dan preservasi berdasarkan nilai-nilai yang sudah ada,” kata Alit.

Rencana pengelolaan itu meliputi aspek sosial, lingkungan, budaya, ekonomi, dan seterusnya. Salah satu contohnya adalah pembentukan badan pengelola WBD di tingkat provinsi. Tujuannya agar empat lokasi WBD di lima kabupaten bisa saling terkoordinasi. Di tingkat lokal akan ada penguatan lembaga subak dan pencegahan alih fungsi lahan subak.

baca juga : Nasib Jatiluwih setelah Menjadi Warisan Budaya Dunia [2]

 

Turis melewati kawasan sawah berisi tempat pertunjukan di Jatiluwih. Foto : Anton Muhajir/Mongabay Indonesia

 

Prinsip utama dalam lembaga dan rencana pengelolaan yang diajukan ke UNESCO, menurut Alit, adalah bagaimana subak yang dimiliki petani bisa direncanakan, dikelola, dan dikuasai anggotanya sendiri. Bukan oleh pemerintah. Sebab, petanilah yang selama ribuan tahun memiliki pengetahuan dan kemampuan untuk menjaga dan melestarikan subaknya.

“Pemerintah hanya sebagai pendamping,” ujar Alit.

Nyatanya, hingga saat ini badan pengelola WBD di tingkat provinsi itu tidak ada. Pemkab Tabanan kemudian justru membentuk Badan Pengelola Daya Tarik Wisata (DTW) Jatiluwih setahun setelah pengakuan. Itu pun setelah adanya teguran dari UNESCO melalui pemerintah pusat.

Toh, bagi Alit, lembaga yang dibentuk Pemkab Tabanan itu berbeda tujuan dan fungsinya. Tidak seperti yang direncanakan bersama oleh tim penyusun proposal ke UNESCO. Badan Pengelola WBD seharusnya berorientasi konservasi dan preservasi. Adapun Badan Pengelola DTW untuk kepentingan industri pariwisata yang cenderung mengeksploitasi.

“Dalam WBD, boleh ada turis, tetapi harus dilihat seperti apa turisnya. Boleh ada tempat menginap, tetapi harus milik warga. Sekarang saya lihat sebaliknya. Ini akan jadi bumerang,” ujarnya.

perlu dibaca : Beginilah Nasib Subak di Bali

 

Meskipun ada papan sebagai kawasan hijau pembangunan di Jatiluwih masih marak. Foto : Anton Muhajir/Mongabay Indonesia

 

Tanpa Rencana

I Wayan Windia, ahli subak dan profesor di Fakultas Pertanian Universitas Udayana, memberikan keprihatinan sama. Menurut Windia, kondisi Jatiluwih saat ini jauh dari apa yang dulu diharapkan saat diajukan sebagai bagian dari WBD. “Jauh menyimpang dari kesepakatan dengan UNESCO,” katanya.

Sejak awal pengajuan pada 2008, Ketua Pusat Penelitian Subak Universitas Udayana ini terlibat dalam penyusunan dossier dan rencana pengelolaan kawasan WBD.

Secara kasat mata, menurut Windia, makin banyak terjadi alih fungsi lahan di kawasan Jatiluwih. Dia mencontohkan pembangunan tempat parkir dan restoran di sisi utara persawahan. Bahkan di tengah sawah pun dibangun panggung pertunjukan dan tempat pendaratan helikopter. Parahnya, Windia melanjutkan, tidak ada sumbangan apa-apa dari investor terhadap pemandangan. Padahal, pemandangan sawah terasering itu menjadi jualan utama mereka.

“Sumber kehancuran di sana (Jatiluwih) adalah tidak adanya Rencana Detail Tata Ruang (RDTR),” tegasnya.

Windia mengatakan jika situasi di Jatiluwih dibiarkan terus tanpa adanya Badan Pengelola WBD dan RDTR, maka kawasan tersebut sedang menuju kehancuran. Hal itu terlihat dari kian banyaknya alih fungsi lahan sawah untuk perumahan, restoran, penginapan, dan vila baik di Jatiluwih maupun wilayah penyangga.

Pengelola DTW Jatiluwih tidak membantah masifnya alih fungsi lahan di kawasan itu. Namun, Manajer Operasional DTW Jatiluwih, I Nengah Sutirtayasa mengatakan alih fungsi lahan itu tidak hanya terjadi di Jatiluwih, tetapi telah menjadi masalah pertanian di Bali secara umum. Jatiluwih menjadi kawasan paling disorot karena dianggap sebagai ikon pertanian dan subak di Bali.

“Di tempat lain juga terjadi alih fungsi lahan, tetapi tidak diekspose,” katanya.

baca juga : Subak, Situs Warisan Budaya yang Saat Ini Terancam

 

Tidak adanya RDTR mengakibatkan menjamurnya bangunan di Jatiluwih. Foto : Anton Muhajir/Mongabay Indonesia

 

Sutirtayasa mengatakan Pengelola DTW Jatiluwih berkomitmen untuk mengelola wisata dengan memerhatikan aspek keberlanjutan. Namun, aturan yang melarang alih fungsi lahan memang jadi dilema.

Dia mencontohkan dari hal sederhana, tempat parkir. Jatiluwih memang sebelumnya tidak punya tempat parkir bagi mobil dan sepeda motor turis yang berkunjung ke sini. Akibatnya, mereka harus parkir di tengah jalan dan mengakibatkan kemacetan.

Pengelola pun kini membuat tempat parkir di sisi utara jalan utama Jatiluwih. Tempat parkir seluas kira-kira 300 meter persegi itu dulunya sawah produktif. Namun, tak hanya tempat parkir di tempat itu juga kemudian ditambah restoran dua lantai milik Sutirtayasa, Restoran Gong.

Sutirtayasa yang juga pemilik Restoran Gong punya pembenaran sendiri. Pembangunan restoran, vila, atau penginapan di Jatiluwih merupakan usaha agar warga setempat juga mendapatkan dolar dari pariwisata. “Masak turis hanya kencing di desa kami, sementara orang lain yang menikmati,” lanjutnya.

 

Masih Digodok

Toh, restoran saja tidak cukup bagi Sutirtayasa. Dia juga membangun panggung pertunjukan dan bahkan tempat pendaratan helikopter (helipad) di tengah sawah yang sudah kering. Dia membeli lahan itu dari petani lain. “Kita hanya coba kasih fasilitas lebih dengan memanfaatkan lahan kering yang menganggur,” kata Sutirtayasa.

Menurutnya, pembangunan helipad itu untuk memfasilitasi tamu penting (VIP) yang berkunjung ke Jatiluwih, tetapi memiliki waktu terbatas. Dia mencontohkan Barack Obama yang berkunjung ke sana sebagai salah satu tamu penting tersebut. “Daripada lahannya nganggur karena tidak ada air, kita manfaatkan untuk menambah fasilitas,” ujarnya.

Pembangunan helipad itu diprotes petani-petani lain karena merusak padi dan tidak punya izin. Saat ini, helipad itu sudah tidak berfungsi, tetapi digunakan pula untuk kegiatan lain, termasuk Jatiluwih Festival tahun lalu.

menarik dibaca : Ekowisata Subak Sembung, Melestarikan Sawah Sekaligus Mencegah Banjir

 

Alih fungsi lahan di Jatiluwih terjadi seiring berkurangnya air. Foto : Anton Muhajir/Mongabay Indonesia

 

Pemkab Tabanan sendiri menegaskan bahwa semua pembangunan yang dilakukan di Jatiluwih saat ini tidak berdasarkan RDTR. Asisten I Bidang Pemerintah dan Kesejahteraan Rakyat Pemkab Tabanan I Wayan Miarsana mengatakan sebelum adanya RDTR, tidak boleh ada pembangunan apapun di sana. “Sekarang RDTR masih dalam proses penggodokan di Pemkab Tabanan,” katanya.

Ketika RDTR belum juga selesai digodok Pemkab Tabanan, pembangunan berbagai fasilitas pun terus berjalan di Jatiluwih. Namun, terentang jarak sekitar 85 km dari Jatiluwih, lokasi WBD lain pun mengalami tekanan lebih berat, ancaman racun.

 

Exit mobile version