Mongabay.co.id

Nasib Jatiluwih setelah Menjadi Warisan Budaya Dunia [4]

 

Pada 2012, Badan PBB untuk Pendidikan dan Kebudayaan (UNESCO) menetapkan sistem subak di Bali sebagai warisan budaya dunia (WBD). Kawasan WBD ini berada di lima wilayah kabupaten yaitu Bangli, Gianyar, Tabanan, Buleleng, dan Badung. Luasnya lebih dari 19.500 hektar.

Jatiluwih, kawasan sawah berundak di kaki Gunung Batukaru, Kecamatan Penebel, Tabanan bisa disebut ikon subak sebagai WBD. Tiga tahun terakhir lebih dari 200.000 turis domestik dan mancanegara mengunjungi kawasan ini tiap tahun.

Namun, banyaknya turis justru menjadi ancaman bagi masa depan Jatiluwih. Begitu ditetapkan sebagai warisan budaya dunia, Jatiluwih hanya dianggap sebagai daerah tujuan pariwisata, bukan lagi lahan pertanian yang harus dilestarikan.

Tulisan ini bagian keempat dari serial yang melihat bagaimana kondisi Jatiluwih khususnya dan subak Bali umumnya setelah penetapan sebagai WBD sejak tujuh tahun lalu. Tulisan pertama bisa dibaca disini. Tulisan kedua bisa dibaca disini. Dan tulisan ketiga bisa dibaca disini.

***

Danau Batur di Kintamani, Bali, termasuk bagian dari lansekap subak WBD. Foto Anton Muhajir/Mongabay Indonesia

 

Sebagai warga Banjar Toyabungkah di tepi Danau Batur, Gede Suana mengetahui betul bagaimana perubahan danau di kaki Gunung Batur itu dari waktu ke waktu. Toh, dia tidak menyangka danau kaldera di ketinggian 1.050 meter di atas permukaan laut (mdpl) itu akan meluap hingga ke kebun-kebun petani.

“Sejak saya kecil, ini meluap paling parah,” katanya. Suana menunjuk ke arah danau.

Pada pagi pertengahan April lalu, air danau meluap hingga kebun-kebun milik petani di tepi danau. Luapannya mencapai sekitar 2 m dari bibir danau. Air merendam tanaman hortikultura di daerah penghasil sayur itu, seperti tomat dan bawang. Sayur-sayur itu pun membusuk meski masih berdiri di kebun.

Kebun Suana termasuk yang terendam. “Dua meter itu sudah sangat besar kerugiannya,” katanya tanpa merujuk persis berapa jumlahnya.

Tinggal di desa tepi danau, Suana tak hanya bertani. Saat ini dia juga mengelola keramba ikan mujahir seluas 20 petak. Budi daya ikan mujair itulah yang menjadi sumber pendapatan utama sekaligus masalahnya saat ini, meluapnya air Danau Batur.

“Meluapnya (air) danau karena pendangkalan akibat limbah pertanian dan pakan ikan,” akunya.

Tidak hanya di Toyabungkah, desa di sisi barat danau, meluapnya air danau itu juga terjadi di desa-desa lain yang mengelilingi Danau Batur: Buahan, Kedisan, Batur, dan Songan.

baca : Beginilah Nasib Subak di Bali

 

Air Danau Batur, Bali, meluap akibat sedimentasi. Foto : Anton Muhajir/Mongabay Indonesia

 

Memohon Kesuburan

Menurut dokumen pengakuan dari Badan PBB untuk Budaya dan Pendidikan (UNESCO), Danau Batur dan Pura Ulun Danu Batur merupakan bagian dari lansekap subak Bali yang ditetapkan UNESCO sebagai Warisan Budaya Dunia (WBD) pada Juni 2012 lalu. Keduanya berada di kaldera Batur, Kecamatan Kintamani, Bangli.

Pura Ulun Danu Batur berada di Desa Batur. Lokasinya di atas kaldera. Persis di samping jalan raya Bangli – Gianyar. Merujuk pada koordinat yang dimasukkan sebagai bagian dari lansekap subak yang UNESCO, pura inilah yang dimaksud. Padahal, dia terpisah dari danau. Jaraknya sekitar 10 km dari tepi danau.

Di bawah sendiri terdapat pura dengan nama mirip, Pura Hulundanu Batur di Desa Songan. Seperti namanya, pura ini berada di bagian hulu danau. Jaraknya sekitar 200 m dari bibir danau.

Namun, menurut I Wayan Windia, Ketua Pusat Penelitian Subak Universitas Udayana dan anggota tim penyusun usulan ke UNESCO, pura yang dimasukkan adalah yang di atas. Bukan di bawah. “Karena ada dokumen di Belanda bahwa setelah pura di bawah hancur, maka secara resmi Pura Ulun Danu Batur dipindah ke atas,” kata Guru Besar Fakultas Pertanian Universitas Udayana itu.

Kedua pura ini memiliki fungsi sama, sebagai pura bagi subak-subak di sekitarnya. Jero Mangku Gede Ulun Danu Batur, pemimpin tertinggi di pura ini mengatakan Pura Hulundanu berfungsi untuk memohon restu dari Dewi Danu atau Dewi Kesuburan bagi petani Bali. Dari proses persiapan lahan, pembenihan, sampai pascapanen, semua upacaranya memerlukan air suci (tirta) dari Pura Hulundanu Batur.

“Semua subak di Bali seharusnya mendak tirta (mengambil air suci) di Hulundanu terutama terkait pertanian,” kata Jero Mangku Gede Ulun Danu Batur.

baca juga : Ekowisata Subak Sembung, Melestarikan Sawah Sekaligus Mencegah Banjir

 

Bagi petani Bali, Pura Hulundanu Batur menjadi tempat memohon restu pada Dewi Kesuburan. Foto Anton Muhajir/Mongabay Indonesia

 

Secara spiritual (niskala), Jero Mangku menambahkan, petani juga melakukan berbagai upacara untuk menjaga kesucian pura. Selain odalan tiap enam bulan sekali juga Panca Wali Krama, ritual besar lima tahun sekali.

Dengan cara itulah petani meyakini bahwa sumber air di Danau Batur sudah suci secara spiritual dan bisa digunakan sebagai bagian dari upacara, terutama di pura-pura subak.

 

Pencemaran

Ironisnya, kesucian secara spiritual belum tentu sejalan dengan kualitas danau. “Bagi saya pribadi, kondisinya memang makin mengkhawatirkan,” kata Jero Mangku.

Jero Mangku, seperti halnya Suana, merasakan bahwa kualitas Danau Batur memang memburuk. Danau memang seperti terlihat makin luas, tetapi menurut Jero Mangku, itu terjadi akibat sampah yang makin banyak di dasar danau.

“Memang (sampahnya) tidak kelihatan karena ada di bawah. Sampahnya kebanyakan dari sungai di atas,” lanjutnya.

menarik dibaca : Beginilah Antisipasi Ketergantungan Pangan Di Subak Kawasan Budaya Dunia

 

Petani menyiram bawang di tepi Danau Batur, Bangli, Bali. Foto : Anton Muhajir/Mongabay Indonesia

 

Tak hanya oleh sampah di dasar, pencemaran air di Danau Batur juga akibat masifnya pertanian berbahan kimia kebun-kebun di sekelilingnya. Petani di Desa Toyabungkah, Jero Mining dan Jero Kadek, termasuk yang menggunakan bahan-bahan kimia dalam budidaya pertaniannya.

Menurut Mining, mereka menggunakan pestisida terutama untuk membersihkan hama ulat. “Kalau tidak pakai racun, tidak mau mati ulatnya,” kata Mining.

Dari kebun petani, racun-racun pestisida itu terbawa hingga ke dalam danau. Apalagi Danau Batur memang tak memiliki sempadan atau selokan untuk mencegah masuknya air hujan dari lereng bukit masuk danau.

Petani menyadari bahwa racun pestisida bisa mencemari tubuh mereka melalui pernapasan. Toh, semua petani menjawab santai saja. “Racunnya kan masuk pelan-pelan. Jadi tidak langsung terasa sekarang juga,” ujar Mining.

Pengujian oleh Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Bangli pada Oktober 2018 lalu menyimpulkan bahwa kualitas air Danau Batur memang tidak layak untuk konsumsi meskipun tingkat pencemaran tergolong rendah.

baca juga : Subak, Situs Warisan Budaya yang Saat Ini Terancam

 

Peta Danau Batur. Sumber : KLHK

 

Ironi

Direktur Bali Organic Association (BOA) Ni Luh Kartini mengatakan kian rusaknya lingkungan Danau Batur, ketika dia menjadi bagian dari WBD UNESCO, adalah ironi. Apalagi, jika melihat fakta bahwa tidak hanya Batur, danau-danau lain di Bali pun mengalami penurunan kualitas yang sama.

“Air danau dianggap suci, tetapi limbah-limbah pertanian dibiarkan langsung masuk,” kata dosen Fakultas Pertanian Universitas Udayana ini.

Menurut Kartini, banyaknya limbah pertanian dan perikanan di Batur membuat laju sedimentasi di danau ini sangat besar. Kartini memberikan data sedimentasi Danau Batur dalam kurun waktu 1975-2012 mencapai 124,71 meter kubik atau 0,21 meter kubik per tahun. Pada kurun waktu 2013-2015, pendangkalannya melonjak tajam: 5.980,47 meter kubik atau 1.993 meter kubik per tahun.

Kartini menambahkan ironi itu kian bertambah ketika sebagian pihak di Bali juga menuduh subak sebaga salah satu pihak yang menghabiskan air. Subak dianggap lebih banyak menghabiskan air dibandingkan kegiatan manusia lain.

Padahal, dia melanjutkan, terus berkurangnya air di Bali terjadi akibat banyaknya alih fungsi lahan di Bali yang sekaligus mengancam keberadaan subak. Secara umum, alih fungsi lahan produktif di Bali saat ini terjadi ke arah hulu atau pegunungan setelah di hilir, terutama pesisir, makin habis.

“Alih fungsi lahan produktif Bali terjadi dari daerah pesisir ke pegunungan. Tutupan lahan yang selama ini menjadi resapan air, kini sudah beralih fungsi,” lanjutnya.

Jika tidak ada solusi untuk menanganinya, Kartini khawatir subak Bali yang kini terus dibangga-banggakan sebagai WBD hanya akan tinggal cerita. Lalu, bagaimana jalan keluar untuk mencegah agar subak di Bali, termasuk di Jatiluwih, tidak punah?

menarik dibaca : Kegelisahan Saras Dewi pada Rusaknya Lingkungan Bali

 

Maraknya keramba ikan di Danau Batur disebut sebagai penyebab sedimentasi. Foto Anton Muhajir/Mongabay Indonesia

 

Exit mobile version