Mongabay.co.id

Nasib Jatiluwih setelah Menjadi Warisan Budaya Dunia [5]

 

Pada 2012, Badan PBB untuk Pendidikan dan Kebudayaan (UNESCO) menetapkan sistem subak di Bali sebagai warisan budaya dunia (WBD). Kawasan WBD ini berada di lima wilayah kabupaten yaitu Bangli, Gianyar, Tabanan, Buleleng, dan Badung. Luasnya lebih dari 19.500 hektare.

Jatiluwih, kawasan sawah berundak di kaki Gunung Batukaru, Kecamatan Penebel, Tabanan bisa disebut ikon subak sebagai WBD. Tiga tahun terakhir lebih dari 200.000 turis domestik dan mancanegara mengunjungi kawasan ini tiap tahun.

Namun, banyaknya turis justru menjadi ancaman bagi masa depan Jatiluwih. Begitu ditetapkan sebagai warisan budaya dunia, Jatiluwih hanya dianggap sebagai daerah tujuan pariwisata, bukan lagi lahan pertanian yang harus dilestarikan.

Tulisan ini bagian kelima atau terakhir dari serial yang melihat bagaimana kondisi Jatiluwih khususnya dan subak Bali umumnya setelah penetapan sebagai WBD sejak tujuh tahun lalu. Tulisan pertama bisa dibaca disini. Tulisan kedua bisa dibaca disini. Sedangkan tulisan ketiga dibaca disini. Dan tulisan keempat disini.

***

Petani merupakan ujung tombak pelestarian subak di Jatiluwih, Tabanan,Bali. Foto : Anton Muhajir/Mongabay Indonesia

 

I Gede Suweden tak ingin hanya jadi penonton ketika turis kian banyak berkunjung ke desanya, Jatiluwih di Kecamatan Penebel, Kabupaten Tabanan, Bali. Sejak 2006, ketika desanya makin terkenal sebagai salah satu desa wisata di Bali, petani ini mengembangkan rumah penginapan (homestay).

Dia mengaku tak perlu banyak modal untuk membuat penginapan. Suweden hanya mengubah dapurnya menjadi kamar tidur dengan menambah dipan dan kasur. Untuk kenyamanan tamu, dia juga melengkapi kamar dengan toilet dan kamar mandi. Empat kamar di sisi timur rumahnya itu pun berfungsi sebagai penginapan.

Rumah Suweden berarsitektur tradisional Bali. Luas arealnya sekitar 5 are. Ada empat balai utama: dapur, ruang tinggal keluarga, tempat suci, dan kamar tamu. Suweden tidak perlu mengubah alih fungsi sawahnya sama sekali. Dia hanya menambahkan fungsi pada rumahnya agar lebih nyaman untuk tamu yang menginap.

Berada persis di pinggir sawah, kamar penginapannya menyajikan pemandangan sawah. Dari dalam kamar, sawah itu pun terlihat langsung. “Turis ke sini memang ingin menikmati suasana pedesaan,” kata Suweden.

Tak hanya mengelola penginapan, Suweden pun membentuk Kelompok Wisata Suranadi bersama teman-temannya sesama anggota Subak Gunungsari Umakayu. Mereka menyediakan jasa pemandu trekking dengan tiga pilihan jarak tempuh: panjang, pendek, dan menengah.

“Dengan begitu kami bisa mendapatkan nilai tambah tanpa mengubah fungsi sawah,” lanjutnya.

baca : Nasib Jatiluwih setelah Menjadi Warisan Budaya Dunia [1]

 

Subak di Bali menghadapi banyak ancaman termasuk alih fungsi lahan dan rusaknya saluran irigasi. Foto : Anton Muhajir/Mongabay Indonesia

 

Museum Hidup

Di tengah maraknya alih fungsi lahan di Jatiluwih akibat tuntutan pariwisata, usaha Suweden untuk mengelola penginapan bisa menjadi jawaban. Di satu sisi petani bisa mendapatkan bagian dari tamu yang datang, tetapi di sisi lain mereka juga tetap mempertahankan sawahnya.

“Turis jauh-jauh ke sini kan untuk menikmati sawah. Masak kita malah mengubah jadi bangunan,” lanjutnya.

Menurut Suweden, Jatiluwih harus dikelola sebagai tempat wisata berbasis komunitas. Warga desa menjadi pemilik dari tempat-tempat menginap di desa itu. Begitu pula dengan restoran. Tak perlu ada restoran-restoran baru. Cukup memanfaatkan rumah dan warung yang sudah ada.

Jatiluwih tidak memerlukan bangunan-bangunan baru. Apalagi jika dibangun di lahan sawah.

Apa yang sudah dilaksanakan Suweden sejalan dengan pendapat Daud Daud Aris Tanudirjo, dosen Arkeologi Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta. Menurut Daud, selama ribuan tahun, subak Bali terbukti mampu bertahan sebagai budaya dan kearifan lokal dalam pertanian. Namun, ketika subak hanya semata dilihat sebagai daya tarik wisata (DTW), maka mulai terjadi banyak ancaman.

“Subak yang kita pertahankan selama berabad-abad, kenapa justru saat ini mengalami degradasi?” tanya Daud ketika menjadi pembicara tentang Hari Warisan Dunia di Institut Seni Indonesia (ISI) Denpasar, Jumat (26/04/2019) lalu. Masalah di Jatiluwih tersebut lain kerentanan sistem subak, tekanan pembangunan, dan kurangnya perindungan terhadap lingkungan.

Untuk itu, menurut Daud, Jatiluwih sebaiknya dikembangkan sebagai museum hidup (ecomuseum) agar subak dan segala kearifan lokal yang menyertainya bisa tetap hidup. Tujuan utamanya adalah pelestarian kawasan, bukan pariwisata.

Kalau semata demi pariwisata, maka justru akan mengancam masa depannya.

baca : Subak, Situs Warisan Budaya yang Saat Ini Terancam

 

Pengembangan Jatiluwih perlu memprioritaskan pertanian, bukan pariwisata. Foto : Anton Muhajir/Mongabay Indonesia

 

Daud mencontohkan Dimen Dong Eco-Museum di China sebagai WBD yang tetap lestari ketika menjadi museum hidup dan terbuka pada pariwisata. Desa Dimen berada di Provinsi Guzhou, China bagian selatan. Lokasinya di ketinggian 750 meter di atas permukaan laut.

Ekomuseum Dimen Dong merupakan kawasan pelestarian ekologi dan budaya meliputi 15 desa dan 46 klan. Luasnya mencapai 172 km persegi dengan lebih dari 15.000 jiwa penghuninya.

Selama ribuan tahun, komunitas ini hidup sebagai petani kecil untuk mencukupi kebutuhan hidup sehari-hari. Sistem budidaya pertanian mereka pun masih tradisional dan subsisten. Hingga saat ini mereka masih menjaga sawah maupun bangunan-bangunan tradisional di desanya, seperti rumah, jembatan, dan lumbung.

Budaya-budaya kuno pun masih terjaga, termasuk lagu, pertunjukan, pembuatan kertas, membatik, dan lain-lain.

“Di tempat-tempat lain, WBD mampu mengangkat masyarakat untuk mendapatkan kehidupan lebih sejahtera meskipun warga tetap hidup dengan kearifan setempat. Tidak tergoda dengan modernitas,” katanya.

baca juga : Ekowisata Subak Sembung, Melestarikan Sawah Sekaligus Mencegah Banjir

 

Petani anggota subak di Jatiluwih perlu mendapatkan pembagian dan wewenang lebih besar dari DTW Jatiluwih. Foto : Anton Muhajir/Mongabay Indonesia

 

Wewenang Lebih Besar

Meskipun demikian, pengelolaan fasilitas pariwisata oleh petani hanya salah satu. Hal penting lain adalah memberikan pembagian hasil uang tiket dan wewenang lebih besar kepada petani anggota subak dalam mengelola Jatiluwih sebagai WBD.

“Sebagai ujung tombak, subak seharusnya mendapatkan sampai 45%,” kata I Nyoman Sutama, mantan Ketua (Pekaseh) Subak Gede Jatiluwih.

Menurut Sutama dengan pembagian pendapatan lebih besar untuk subak, maka anggotanya bisa membiayai upacara dan memperbaiki saluran irigasi sendiri. Tidak harus menunggu pemerintah untuk perbaikan saluran irigasi.

Sebagian besar petani di Jatiluwih memang mengeluhkan adanya kerusakan saluran irigasi di sana. Penyebabnya tanah longsor dan saluran irigasi yang sudah tua. Akibatnya jumlah air ke sawah pun berkurang. Banyak sawah tidak dapat air. Padahal, bagi petani, saluran irigasi ini ibarat otot yang mengalirkan darah dalam tubuh. Darahnya adalah air, sedangkan tubuhnya adalah hamparan sawah.

Salah satu contoh kerusakan saluran irigasi itu terjadi di Bendungan Gunung Sari di bagian atas Jatiluwih. Meskipun petani sudah meminta ke Pemprov Bali untuk memperbaiki, tetapi hingga saat ini bendungan itu masih rusak. “Air yang mengalir dari bendungan itu ke Jatiluwih sudah terputus lama. Ini yang belum ditangani sejak lama,” kata Pekaseh Subak Gede Jatiluwih I Wayan Mustra.

Tanpa perbaikan saluran irigasi, subak Jatiluwih ibarat manusia tanpa darah. Bisa mati pelan-pelan.

baca : Begini Upaya Konservasi Mencegah Krisis Air di Bali

 

Petani mendapatkan bantuan pupuk dan biaya upacara dari manajemen DTW Jatiluwih. Foto : Anton Muhajir/Mongabay Indonesia

 

Ketua Pusat Penelitian Subak Universitas Udayana I Wayan Windia menambahkan, subak juga harus memiliki kewenangan sepenuhnya tanpa campur tangan dari pemerintah maupun pengelola daya tarik wisata (DTW) Jatiluwih. Dengan begitu, subak bisa lebih independen ketika memberikan pertimbangan izin atau tidak terhadap rencana pembangunan baru di Jatiluwih.

Secara ex-officio, Pekaseh Subak Gede dan Kepala Desa Jatiluwih merupakan Wakil Ketua Badan Pengelola. Mereka yang memberikan rekomendasi izin jika ada permintaan izin pembangunan di kawasan Jatiluwih. Namun, berdasarkan pengalaman tahun lalu, Pekaseh justru dipecat ketika tidak memberikan izin pembangunan. Padahal, subak adalah lembaga otonom.

Hal serupa pun kembali terjadi saat ini. Meskipun pekaseh tidak memberikan izin pembuatan lahan parkir baru di Jatiluwih, nyatanya proyek itu tetap berjalan. I Wayan Mustra mengatakan ketika pekaseh tidak memberikan izin pembangunan, proyek itu justru dapat lampu hijau dari Pemkab Tabanan. Mereka pun tidak bisa melawan dan membiarkan pembangunan tempat parkir baru di areal sawah tersebut.

Tiang tetap bilang walaupun ada lampu hijau, tetap tidak bisa membangun. Hal seperti itu jangan sampai itu terulang lagi,” katanya.

menarik dibaca : Kegelisahan Saras Dewi pada Rusaknya Lingkungan Bali

 

Pemandu wisata menunggu tamunya di depan Tugu WBD UNESCO Jatiluwih. Foto : Anton Muhajir/Mongabay Indonesia

 

Rencana Detail

Secara kelembagaan, Pemprov Bali juga perlu segera membentuk badan pengelola atau lembaga koordinasi di tingkat provinsi untuk mengelola WBD yang tersebar di lima kabupaten. Hal tersebut memang bagian dari usulan yang diajukan ke UNESCO pada 2012. Saat itu, ada badan koordinasi di bawah tanggung jawab Dinas Kebudayaan Provinsi Bali.

Namun, saat ini badan koordinasi tersebut sudah tidak ada. Badan pengelola di tingkat provinsi pun tidak juga terwujud.

Kepala Dinas Kebudayaan Provinsi Bali Wayan Kun Adnyana mengatakan semua pihak memang perlu kembali duduk bersama untuk membahas permasalahan Jatiluwih saat ini. Dia menilai makin banyaknya alih fungsi lahan terjadi akibat tidak adanya Rencana Detail Tata Ruang (RDTR). “Kita perlu duduk bersama untuk bersepakat,” kata Kun yang belum sebulan menjadi Kepala Dinas ini.

Terkait pelestarian subak secara umum, Kun mengatakan Pemprov Bali sudah memberikan bantuan keuangan khusus sebesar Rp50 juta per tahun per subak. Di sisi hilir, Pemprov Bali juga sudah membuat Peraturan Gubernur (Pergub) Bali No.99/2018, yang antara lain mengatur agar hotel dan restoran di Bali membeli produk petani Bali.

“Tujuannya menjaga eksistensi petani. Kalau kita bisa meningkatkan pendapatan dan kebanggaan petani, maka kita bisa menjaga subak,” katanya.

Manajer DTW Jatiluwih I Nengah Sutirtayasa mengatakan hal serupa. “Harus segera ada RDTR agar tidak terus berpolemik. Kita hanya butuh solusi. Jangan terus menyudutkan kami tanpa memberi solusi,” ujarnya.

 

Turis melihat padi di Jatiluwih, Tabanan, Bali. Foto : Anton Muhajir/Mongabay Indonesia

 

Exit mobile version