Mongabay.co.id

Perempuan Nelayan, Profesi Berat tanpa Pengakuan Negara. Ada Apa?

Nelayan perempuan yang terlihat menjemur ikan sebelum dijual ke pengepul atau diolah sendiri. Foto: Petrus Riski/Mongabay Indonesia

 

Perjuangan selama dua tahun bagi 31 perempuan nelayan asal Dukuh Tambakpolo, Kabupaten Demak, Jawa Tengah, bukanlah waktu yang sebentar. Perjuangan untuk mendapatkan kartu asuransi nelayan itu, memerlukan jalan panjang yang tidak mudah dan berliku. Paling utama, adalah proses mengubah identitas kartu tanda penduduk (KTP) mereka dari status ibu rumah tangga menjadi nelayan.

Dalam memperjuangkan hak perempuan tersebut, Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA) bersama Persaudaraan Perempuan Nelayan Indonesia (PPNI) konsisten selama dua tahun mendampingi 31 perempuan tersebut dan memberikan advokasi kepada mereka. Khusus untuk penggantian status identitas KTP, waktu yang dihabiskan mencapai sembilan bulan.

baca : Jalan Panjang Perempuan Nelayan Demak Peroleh Kesetaraan

Sekretaris Jenderal KIARA Susan Herawati menjelaskan, pergantian status identitas menjadi penting, karena Negara belum mengakui ibu rumah tangga menjadi bagian dari penerima kartu asuransi nelayan. Untuk itu, perlu dilakukan pergantian status pada identitas KTP agar bisa mendapatkan kartu asuransi nelayan. Tetapi sayang, untuk melewati proses tersebut pun, ke-31 perempuan tersebut harus menjalani proses yang rumit.

“Untuk mengubah identitas profesi, mereka harus melewati perlawanan dari para pemangku kebijakan dari tingkat lokal hingga provinsi,” ungkap Susan, dalam keterangan tertulisnya, pekan lalu.

Susan menyebutkan, salah satu momen mengharukan yang harus dilewati para perempuan nelayan tersebut, adalah ketika mereka melakukan audiensi dengan DPRD Provinsi Jateng. Saat itu, ketika KIARA dan PPNI menyampaikan maksud dan tujuan, para anggota langsung menertawakannya. Bahkan, ada di antara anggota Dewan tersebut yang berpendapat kalau profesi perempuan nelayan itu adalah nista.

“Karena sejatinya perempuan itu harus di rumah dan dimuliakan. Itu adalah pemikiran yang salah,” ungkapnya.

baca : Para Perempuan Nelayan Tambak Polo Menanti Pengakuan Negara

 

Seorang perempuan nelayan Dukuh Tambakpolo,  Demak, Jateng  mengolah ikan kecil dengan cara dikeringkan saat musim paceklik. Foto: Nuswantoro/ Mongabay Indonesia

 

Beban Berat

Pernyataan anggota DPRD Jateng itu, bagi Susan, jelas sangat memalukan karena sudah salah menilai profesi yang sudah disandang para perempuan tersebut sejak lama. KIARA mencatat perempuan nelayan sesungguhnya memegang peranan penting dalam rantai produksi perikanan. Andil mereka sangat besar, dari sejak praproduksi, produksi, hingga pasca produksi yang jam kerjanya melebihi 17 jam dalam sehari.

Dengan kata lain, Susan menegaskan, perempuan nelayan yang ada di seluruh pesisir Nusantara, bukanlah sekedar istri nelayan, melainkan adalah nelayan yang bekerja langsung dari melaut dan berperan penting di dalam ruang domestik maupun ruang publik. Akan tetapi, profesi perempuan nelayan masih belum diakui oleh Negara secara resmi.

“Perempuan nelayan masih diakui sebagai bagian dari rumah tangga nelayan, sesuai dengan UU No.7/2016 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudidaya Ikan dan Petambak Garam,” jelasnya.

Menurut Susan, selama ini Negara telah keliru menilai dan melihat perempuan nelayan berjuang dan memberikan kontribusinya untuk dunia perikanan nasional. Perjuangan mereka, sudah seharusnya disejajarkan dengan nelayan laki-laki, karena tugasnya yang kompleks dan sekaligus berperan untuk memastikan pemenuhan protein bangsa.

Susan menjelaskan, keberadaan perempuan nelayan sangat berperan di seluruh Nusantara, terutama di 12 ribu desa pesisir yang menyebar di seluruh provinsi. Tanpa mereka, rumah tangga dan industri perikanan tidak akan bisa berdiri dengan tegak hingga bisa mengirimkan protein ke atas meja makan di rumah semua warga Negara Indonesia.

“Salah satu temuan KIARA adalah mereka memberikan kontribusi ekonomi lebih dari 60 persen bagi perekonomian keluarga,” ungkapnya.

menarik dibaca : Sudahkah Perempuan Nelayan Diakui dalam Sektor Kelautan dan Perikanan?

 

Kustiah, perempuan nelayan dari Tambak Polo, Demak, Jateng, memperlihatkan ikan hasil tangkapannya. Foto: Nuswantoro/ Mongabay Indonesia

 

Dari catatan Pusat Data KIARA, perempuan nelayan adalah kelompok yang paling menderita secara berganda, khususnya akibat proyek reklamasi di 42 wilayah di Indonesia dan proyek tambang pesisir di 26 wilayah di Indonesia. Sebanyak 79.348 keluarga nelayan terdampak akibat proyek reklamasi serta lebih dari 35.000 keluarga nelayan, terdampak proyek tambang pesisir dan pulau-pulau kecil.

“Mereka memiliki beban yang sangat berganda. Saat suami mereka kehilangan penghasilan karena lautnya rusak, perempuan nelayan terus bekerja untuk menafkahi keluarga. Dalam kondisi ini, dimana kehadiran pemerintah?” tanya Susan.

Sekretaris Jenderal Persaudaraan Perempuan Nasional Indonesia (PPNI) Masnuah mengatakan, perjuangan yang dilakukan para perempuan nelayan di seluruh Nusantara patut untuk diapresiasi oleh semua pihak. Karena tugas perempuan nelayan sangat kompleks dan melibatkan banyak kalangan dan tak terbatas pada sektor perikanan saja. Paling utama, perempuan nelayan harus memastikan rumah tangganya tetap berjalan saat para suami sedang pergi melaut.

“31 nelayan dari Tambakpolo (Demak) sendiri sudah terbiasa melaut sejak 30 tahun lalu. Hasil tangkap mereka dijual hingga Semarang, Jateng, namun tidak pernah sekali pun perempuan nelayan mendapatkan fasilitas Negara,” jelasnya.

perlu dibaca : Kala Perlindungan Perempuan Nelayan Masih Minim

 

 

Berkelompok

Dengan segala perjuangan yang sudah dilakukan, Masnuah merasa bangga karena bisa ikut mendampingi proses selama dua tahun untuk mendapatkan kartu asuransi nelayan bagi 31 perempuan nelayan tersebut. Sejak akhir Maret 2019, 31 perempuan tersebut akhirnya resmi terdaftar sebagai bagian dari industri perikanan nasional dan berhak mendapatkan kartu asuransi nelayan.

Selain advokasi untuk kartu asuransi nelayan, Masnuah menjelaskan, di saat yang sama PPNI juga berjuang untuk mengakses bantuan bagi tiga kelompok perempuan pengolah terasi, fasilitas dua kelompok olahan laut mendapat cool box, dan fasilitas pelatihan dan peralatan sarana produksi dari program tanggung jawab sosial perusahaan (CSR) badan usaha milik negara (BUMN).

Dari capaian tersebut, Masnuah mendapat pelajaran berharga bahwa perempuan nelayan penting untuk bisa beroganisasi ataupun berkelompok. Dengan cara itu kelompok perempuan bisa punya daya tawar dalam keputusan-keputusan publik. Pun demikian dengan asuransi untuk nelayan perempuan, itu mustahil kalau mereka tidak lebih dulu berorganisasi dan belajar bersama mengenali hak-hak ekonomi maupun sosial budaya.

“Jangankan mendapat asuransi dan akses pada bantuan yang umumnya masih berorientasi gender-lelaki, selama ini bahkan di masyarakat dan di pemerintah pun paradigma nelayan itu selalu laki-laki. Seolah perempuan nelayan itu tidak dianggap. Padahal perempuan juga banyak yang melaut. Tidak hanya menunggu hasil tangkapan para nelayan laki-laki,” tegasnya.

baca juga : Dari Program 1 Juta, Diduga Hanya 2 Perempuan Dapat Asuransi Nelayan

 

Uminatus Sholikah, membawa berkas milik para perempuan nelayan Dukuh Tambakpolo, Demak, Jateng, yang menuntut pengakuan nelayan sebagai pekerjaan mereka dalam administrasi seperti KTP dan kartu keluarga. Foto: Nuswantoro/ Mongabay Indonesia

 

Menurut Masnuah, keberadaan perempuan nelayan di Indonesia sangat penting, bukan hanya dalam konteks ekonomi, tetapi juga dalam konteks keberlanjutan lingkungan hidup dan kohesi sosial. Tak hanya itu, banyak di antara mereka sudah berkontribusi pada upaya penyelamatan lingkungan hidup di kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil.

Dengan fakta tersebut, Masnuah menyayangkan dengan penyematan identitas perempuan nelayan yang masih dititipkan pada status identitas profesi suami mereka sebagai nelayan. Hingga saat ini, perempuan nelayan, baik secara budaya maupun kebijakan, masih dilekatkan pada suami mereka dan itu juga diperkuat dengan UU No.7/2016 yang masih belum memberi pengakuan terhadap profesi perempuan nelayan.

Masnuah menambahkan, di samping belum adanya pengakuan politik dari Pemerintah, perempuan nelayan adalah kelompok yang paling rentan menjadi korban akibat kebijakan pembangunan di kawasan pesisir dan pulau-pulau yang berwatak ekstraktif, eksploitatif, dan merampas ruang hidup masyarakat.

Untuk itu, Masnuah menuntut Pemerintah Republik Indonesia untuk segera mengevaluasi dan menghentikan seluruh proyek pembangunan yang terbukti merampas ruang hidup perempuan nelayan. Dalam kondisi tersebut, Negara harus hadir untuk perempuan nelayan dengan cara memberi pengakuan dan memberikan perlindungan ruang hidup mereka.

***

 

Keterangan foto utama : Nelayan perempuan yang terlihat menjemur ikan sebelum dijual ke pengepul atau diolah sendiri. Foto: Petrus Riski/Mongabay Indonesia

 

Exit mobile version