Dari Program 1 Juta, Diduga Hanya 2 Perempuan Dapat Asuransi Nelayan

Pengakuan negara terhadap perempuan nelayan dinillai masih lemah. Sebab, dari 1 juta kartu nelayan di Indonesia, diduga hanya 2 perempuan yang memperolehnya. Keduanya berasal dari kecamatan Ujung Pangkah, kabupaten Gresik, Jawa Timur. Seorang dari desa Pangkah Kulon. Seorang lagi dari desa Pangkah Wetan.

Eli Ekawati, sekretaris Persaudaraan Perempuan Nelayan Indonesia (PPNI) kabupaten Gresik, menceritakan proses perjuangan itu kepada Mongabay Indonesia, Senin (20/03/2017).

Kata dia, sebenarnya, pengurusan kartu nelayan tersebut dilakukan secara mendadak. PPNI kabupaten Gresik baru mendapat informasi 1 hari sebelum batas pengurusan. Mengetahui kabar tersebut, pihaknya langsung mendatangi Dinas Perikanan kabupaten.

Kepada petugas, dia menjelaskan bahwa di formulir pendaftaran terdapat 2 jenis kelamin, laki-laki dan perempuan. Artinya, perempuan juga bisa dapat kartu nelayan.

Setelah memberi penjelasan, dia langsung mengambil formulir dan berbagi tugas dengan Julaeha, pengurus PPNI lainnya. Keterbatasan waktu, membuat formulir hanya diisi oleh 2 perempuan saja.

“Tiga hari sudah jadi kartu nelayan itu. Kami upayakan perempuan bisa dapat kartu nelayan. Karena, kartu itu, akses untuk dapat asuransi,” tegasnya.

 

 

Bagi Eli, sebaran penerima kartu nelayan dan kartu asuransi, menunjukkan bahwa perempuan nelayan belum sepenuhnya mendapat pengakuan dari pemerintah.

“Padahal, ada juga perempuan yang kerja di laut atau mencari ikan ditambak. Mereka itu bisa dikatakan sebagai nelayan juga, dengan risiko pekerjaan yang sama juga,” ujarnya. “Tapi, cukup beruntung, setidaknya masih dapat. Ini jadi bukti, perempuan bisa dapat kartu nelayan,” terang Eli.

Susan Herawati, Deputi Pengelolaan Program Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara) mengatakan, hingga 14 tahun usia Kementerian Kelautan dan Perikanan, belum ada satupun kebijakan yang berpihak pada perempuan nelayan.

Dia mencontohkan, kata perempuan hanya disebut satu kali saja dalam UU 7 tahun 2016 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudidayaan Ikan dan Petambak Garam.

Dampaknya, perempuan sulit mendapatkan kartu dan asuransi nelayan, juga tidak bisa mendapat bantuan seperti kapal dan lain sebagainya.  Kemudian, dari sisi penganggaran, negara juga dianggap belum mewakili kepentingan perempuan di 10.666 desa pesisir di Indonesia.

Misalnya, anggaran KKP tahun 2016 dan 2017, disebut lebih berfokus pada infrastruktur. “Ada bantuan kapal dan asuransi. Tapi, kita bisa lihat, itu bukan untuk perempuan. Dan, kalaupun itu untuk perempuan, sulit untuk mendapatkannya,” kata dia.

 

Salmi Rodli menunjukkan hasil produk olahan perempuan nelayan PPNI Gresik, Jatim. Foto : Themmy Doaly

 

Padahal, menurut catatan Koalisi Kiara, perempuan punya peran penting dalam rantai produksi perikanan. Mereka berkontribusi atas 48% pendapatan keluarga nelayan.

Bahkan, diperkirakan, mereka bisa bekerja hingga 17 jam perhari. Kata Susan, perempuan nelayan sudah mulai bekerja sejak menyiapkan bekal sebelum suami kelaut hingga mengolah hasil tangkap.

“Sangat disayangkan, negeri bahari tapi masih belum memberi pengakuan politik pada perempuan nelayan. Padahal, dalam banyak kepercayaan masyarakat pesisir, laut adalah ibu yang menjaga dan memberi makan anak-anaknya,” terangnya.

 

Kontribusi Ekonomi Terkendala Akses Pasar

Tiap hari, perempuan nelayan di desa Pangkah Kulon, kabupaten Gresik, mengolah ikan hasil tangkapan menjadi produk panganan. Aktifitas itu dilakukan agar dapat mencukupi kebutuhan ekonomi keluarga.

Namun, yang jadi soal, pasar lokal tidak cukup menampungnya. Sebab, di desa tersebut, ada banyak ibu-ibu yang membuat produk olahan, seperti kerupuk, petis dan terasi.

Ambil contoh, PPNI kabupaten Gresik, yang diikuti 5 kelompok dengan anggota individu lebih dari 100 orang. Angka tadi tentu di luar ibu-ibu yang tidak atau belum bergabung di organisasi itu.

Salmi Rodli, ketua PPNI kabupaten Gresik mengatakan, rata-rata kelompok perempuan nelayan aktif, kreatif dan menghasilkan produk yang baik. Selain itu, seluruh kelompok yang tergabung dalam PPNI, telah berbadan hukum.

“Tapi masalahnya pemasaran. Banyak produk yang hanya tertampung di lemari,” ujar Salmi ketika ditemui Mongabay Indonesia, di desa Pangkah Kulon.

 

kerupuk ikan produksi perempuan nelayan di Ujung Pangkah, Gresik, Jatim. Foto : Themmy Doaly

 

Menurutnya, syarat administrasi, jadi salah satu kendala mengakses pasar yang lebih luas. Kelompok usaha harus memiliki surat izin, semisal, Pangan Industri Rumah Tangga (PIRT) dan Surat Izin Usaha Perdagangan (SIUP).

“Kami sedang proses itu (PIRT dan SIUP). Tapi, kami juga dituntut punya tempat produksi sendiri. Sedangkan, ibu-ibu produksinya hanya di rumah. Banyak yang tidak lolos di situ,” tambahnya.

Salmi berharap, pemerintah mau membuka akses pasar, serta memfasilitasi pelatihan-pelatihan untuk mengembangkan kemampuan individu maupun kelompok. Selain itu, pihaknya meminta kepada pemerintah desa untuk melibatkan perempuan nelayan dalam perencanaan pembangunan.

“Saya berharap, pemerintah desa mau melibatkan PPNI dalam kegiatan apapun. Kami tidak minta bantuan (uang). Kami ingin dilibatkan dalam musyawarah, misalnya Musrembangdes,  kami beri usulan. Kami bisa menyuarakan Undang-Undang di situ.”

“DKP juga menyampaikan seperti itu. Sebelum ke tingkat atas, tingkat bawah dulu. Tapi, kan, dalam kegiatan apapun PPNI tidak diundang oleh pemerintah desa. Hanya kegiatan pameran dan bazaar saja,” tambah Salmi.

Susan Herawati mengatakan, pemerintah perlu menyiapkan strategi untuk memperkuat pemberdayaan perempuan nelayan. Caranya, selain memberi pengakuan politik, pemerintah harus membuat data awal tentang kebutuhan perempuan nelayan.

“Memberdayakan kewirausahaan perempuan nelayan itu penting. Pemerintah bisa fasilitasi pelatihan pengelolaan keuangan, pelatihan pemasaran dan pengemasan, menyiapkan gerai-gerai usaha hingga mendorong masyarakat untuk giat makan ikan.”

Namun yang pasti, menurut Susan, program pemberdayaan tersebut harus sesuai dengan konteks lokal. Sehingga, akan berbeda di tiap daerah, tidak mungkin seragam. “Masalahnya, di tingkat musrembang, misalnya, perempuan ikut tapi duduknya di paling belakang, dan lain-lain,” pungkasnya.

Darnah, sekretaris desa Pangkah Kulon mengakui, pemerintah desa belum bisa memfasilitasi pemasaran produk, secara keseluruhan. Sebab, sampai saat ini, pihaknya masih mengutamakan pembangunan di sektor lain.

“Kami sebenarnya ingin produk-produk itu bisa dipasarkan, tapi dalam kenyataannya belum bisa. Karena kesemuanya itu perlu bantuan dan operasional. Pemerintah desa hanya bisa memfasilitasi, tapi sebatasnya saja. Nggak bisa keseluruhan,” jelasnya ketika ditemui Mongabay Indonesia.

 

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , ,