Mongabay.co.id

Indonesia Kembali Serukan Blue Carbon Untuk Penanganan Perubahan Iklim

Panorama laut dari Dermaga Ketapang menuju ke Pulau Pahawang, Lampung. Foto : L Darmawan/Mongabay Indonesia

 

Dalam Paris Agreement hasil dari KTT Perubahan Iklim PBB (COP 21 UNFCCC) di Paris, Perancis pada 2015, menyepakati karbon biru (blue carbon) sebagai salah satu cara mengurangi emisi global. Meski telah disepakati, sampai sekarang peran karbon biru dinilai belum dimaksimalkan untuk menangani krisis iklim.

Untuk itu, Indonesia mengusulkan kepada dunia agar peran karbon biru bisa lebih besar lagi dalam pelaksanaan adaptasi dan mitigasi perubahan iklim. Usulan tersebut dipaparkan Duta Besar Nurmala Kartini Pandjaitan Sjahrir selaku Alternate Ketua Delegasi Republik Indonesia (Delri) pada Konferensi Perubahan Iklim 2019 yang berlangsung 17-27 Juni 2019 di Bonn, Jerman.

Kartini menyatakan bahwa hingga saat ini peran karbon biru masih sangat minim dalam upaya pengurangan emisi karbon di dunia. Padahal, karbon biru menyimpan potensi sangat besar untuk menyerap karbon sebagai bagian dari adaptasi perubahan iklim.

“Pemerintah RI ingin berkontribusi aktif untuk mengurangi emisi karbon sesuai kesepakatan dalam Pertemuan Paris pada 2015 silam,” ungkapnya dalam keterangan resmi Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman, pekan lalu.

baca : Quo Vadis “Blue Carbon” Di Indonesia?

 

Salah satu sesi sidang dalam Konferensi Perubahan Iklim di Bonn, Jerman pada Juni 2019. Foto : UNFCCC/Mongabay Indonesia

 

Keputusan Indonesia untuk membawa isu karbon biru sebagai salah satu usulan pada sidang UNFCC 2019, menurut Kartini, karena Indonesia adalah negara kepulauan terbesar di dunia dan berkomitmen mengurangi emisi karbon hingga 29-41 persen pada 2030 mendatang. Oleh itu, Indonesia menegaskan keberpihakan pada karbon biru melalui UNFCC 2019.

Kartini mengatakan, sebagai bagian dari target pengurangan emisi nasional (national determined contributions/NDC), Indonesia berencana memasukkan karbon biru pada 2020 sesuai Paris Agreement. Peran karbon biru, diakuinya, akan sangat besar di masa mendatang, karena kemampuannya yang bisa menyerap dan menyimpan karbon pada ekosistem laut dan pesisir.

“Seperti ekosistem bakau, padang lamun, rawa payau, maupun fitoplankton,” tuturnya.

Perlunya perhatian dunia, khususnya Indonesia pada karbon biru, menurut Kartini, karena hingga saat ini belum ada pemahaman mendalam terhadap pemanfaatan karbon biru untuk pengurangan emisi. Terlebih, sebagai negara kepulauan terbesar di dunia, Indonesia memiliki 25 persen pasokan bakau dan padang lamun dunia.

“Sayangnya kita belum memahami peran tersebut,” tegasnya

penting dibaca : Besarnya Potensi Karbon Biru dari Pesisir Indonesia, Tetapi Belum Ada Roadmap Blue Carbon. Kenapa?

 

Duta Besar Nurmala Kartini Pandjaitan Sjahrir selaku Alternate Ketua Delegasi Republik Indonesia (Delri) pada Konferensi Perubahan Iklim 2019di Bonn, Jerman. Foto : Kemenko Maritim/Mongabay Indonesia

 

Potensi Besar

Dengan peran yang besar di dunia dari bakau dan padang lamun, Kartini menyebutkan bahwa Indonesia menyimpan potensi karbon biru yang besar untuk mitigasi dan adaptasi perubahan iklim secara global. Potensi besar tersebut diharapkan bisa ikut berkontribusi untuk penurunan suhu bumi pada 2050 mendatang, di mana saat ini suhu bumi naik hingga 1,5 derajat celsius.

Selain karbon biru, Kartini menambahkan, Indonesia juga mengusulkan karbon hijau (green carbon) sebagai bagian dari upaya pengurangan emisi dalam mitigasi dan adaptasi perubahan iklim. Usulan tersebut, menjadikan Indonesia sebagai salah satu negara di dunia yang bisa melaksanakan mitigasi dan adaptasi dengan menggunakan karbon biru dan karbon hijau.

Sebelumnya, pada awal 2019 Kepala Pusat Penelitian Oseanografi (P2O) Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Dirhamsyah menyatakan bahwa pemanfaatan potensi vegetasi pesisir menjadi langkah signifikan untuk Indonesia. Hal itu, karena perubahan iklim saat ini sudah menjadi permasalahan global dan terjadi di semua negara, termasuk Indonesia.

“Saat ini, peningkatan suhu permukaan bumi, intensitas cuaca ekstrim dan frekuensi bencana banjir serta kekeringan merupakan bukti nyata dari perubahan iklim. Untuk meminimalkan penyebab perubahan iklim, perlu upaya kolektif yang serius dan berskala global,” ungkapnya.

Menurut Dirhamsyah, pemanfaatan vegetasi pesisir menjadi salah satu langkah penting, karena di sana ada potensi padang lamun dan hutan bakau (mangrove) yang memiliki kemampuan untuk menyerap dan menyimpan karbon. Hingga saat ini, potensi tersebut belum banyak dikaji dengan menggunakan metode standar yang mampu berlaku secara regional.

Fakta tersebut bisa terjadi, menurut dia, karena selama ini sektor kelautan masih belum dianggap sebagai komponen penting dalam penurunan emisi gas rumah kaca. Sementara, di saat yang sama, negara-negara di dunia diberikan beban untuk bisa menurunkan emisi sebanyak mungkin, termasuk di Indonesia.

Kata Dirhamsyah, dari target 29 persen jumlah penurunan emisi yang sudah ditetapkan Pemerintah Indonesia, tidak ada target spesifik yang dibebankan kepada sektor kelautan. Padahal, sektor tersebut berperan sangat signifikan, karena laut dengan air dan vegetasinya memiliki kapasitas menyerap 25 persen emisi karbondioksida antropogenik.

baca juga : Karbon Biru di Mata Pemerintah Indonesia. Penting atau Tidak?

 

Mangrove tidak hanya mencegah abrasi tetapi juga memberi kehidupan untuk semua makhluk hidup, tak terkecuali manusia. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

Vegetasi Pesisir

Adapun, 29 persen yang ditargetkan oleh Pemerintah Indonesia sendiri, menurut Dirhamsyah, berasal dari sektor kehutanan sebanyak 17,2 persen, sektor energi dengan 11 persen, sektor pertanian dengan 0,3 persen, sektor industri dengan 0,10 persen, dan sektor limbah dengan 0,38 persen.

Mengingat belum banyak kajian yang mendalam tentang vegetasi pesisir, Dirhamsyah menyebut bahwa itu akan menjadi tantangan yang harus dilalui oleh peneliti dan akademisi di dunia, khususnya di Indonesia. Dengan kajian, itu akan bisa meyakinkan dunia bahwa sektor kelautan bisa mengambil peran penting dalam kebijakan penurunan emisi gas rumah kaca di Indonesia yang merupakan negara kepulauan.

“Selain dari aspek kelestarian lingkungan, perlu juga memperhatikan kontribusi secara ekonomi bagi masyarakat pesisir,” ucapnya.

Sementara, Deputi Bidang Ilmu Kebumian LIPI Zainal Arifin mengatakan, pemanfaatan vegetasi pesisir sebagai bagian dari adaptasi dan mitigasi perubahan iklim, sudah harus dilaksanakan segera. Mengingat, vegetasi pesisir menyimpan padang lamun yang menjadi salah satu dari tiga ekosistem penting di kawasan pesisir.

“Selain terumbu karang dan bakau,” ucapnya.

Meski mempunyai potensi banyak, namun Zainal menyebut bahwa perhatian terhadap padang lamun hingga saat ini masih kurang, terlebih jika dibandingkan dengan dua ekosistem penting pesisir lain seperti terumbu karang dan bakau. Padahal, padang lamun diketahui memiliki potensi ekologi sekaligus ekonomi yang sama besar.

Peran penting yang dimiliki padang lamun, menurut Zainal, adalah sebagai penyaring polutan dari daratan sebelum masuk ke ekosistem terumbu karang. Selain itu, lamun juga berperan sebagai habitat komoditas hasil laut bernilai tinggi seperti ikan baronang dan rajungan.

baca : Indonesia Petakan Kembali Mangrove untuk Karbon Biru

 

Padang lamun di pesisir pantai Auki, Biak, Papua. Foto: Ridzki R Sigit/Mongabay Indonesia

 

Peneliti Biogeokimia P2O LIPI Aan J Wahyudi menerangkan, padang lamun di Indonesia memiliki kemampuan menyerap karbondioksida sampai 1,9-5,8 mega ton (Mt) karbon per tahun. Kemampuan menyerap sebanyak itu, berasal dari padang lamun seluas 293.464 hektare.

Seperti halnya bakau, Aan menyebutkan bahwa kemampuan menyerap karbon pada lamun juga terjadi pada vegetasi dan subtrat secara bersamaan. Dalam setiap hektare padang lamun, dari hasil penelitian LIPI, kemampuan menyerap karbon diketahui bisa mencapai 6,59 ton per tahun.

“Angka itu menjadi sangat fantastis, karena kemampuan menyerap lamun ternyata lebih besar dari vegetasi yang ada di daratan,” jelasnya.

Dengan fakta itu, Aan menyebutkan, vegetasi pesisir menjadi sangat penting bagi pengendalian karbon, karena kemampuan daya serapnya bisa 77% lebih banyak dari vegetasi daratan seperti hutan. Kemampuan menyerap karbon juga dimiliki oleh tanaman bakau.

“Untuk bisa menyerap karbon sebanyak mungkin, maka kemampuan vegetasi di darat dan laut harus tetap dipertahankan. Di laut, mangrove dan lamun bisa diandalkan untuk melakukan tugas itu. Vegetasi pesisir berkontribusi sampai 50 persen penimbunan karbon di sedimen,” jelasnya.

***

Keterangan foto utama : Panorama laut dari Dermaga Ketapang menuju ke Pulau Pahawang, Lampung. Foto : L Darmawan/Mongabay Indonesia

 

Exit mobile version