Mongabay.co.id

Minim, Lembaga Konservasi yang Terakreditasi Baik

 

 

Keberadaan lembaga konservasi guna mendukung keberlangsungan keanekaragaman hayati, sangat penting. Tercatat, dari 84 lembaga konservasi yang ada, hanya 20 lembaga yang terakreditasi. Dari jumlah tersebut, baru 30 persen yang mencapai predikat baik. Sisanya, belum memenuhi standar. Kondisi ini disampaikan Direktur Keanekaragaman Hayati Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan [KLHK] Indra Eksploitasia di Jakarta, Selasa [02/7/2019].

“Ini pekerjaan berat bagi kita untuk mengawasi lembaga konservasi agar berjalan baik. Saya minta kepada Ketua PKBSI [Perhimpunan Kebun Binatang Se-Indonesia] agar semua lembaga konservasi itu di 2020 selesai diakreditasi. Kita tunjukkan kepada dunia Internasional bahwa kita sudah baik dari manajemen, animal walfare, dan sebagainya,” paparnya.

Menurut Indra, konservasi ex situ [pelestarian di luar habitat aslinya] merupakan penopang in situ. Karenanya, lembaga konservasi harus terakreditasi dengan baik. Ini sudah diatur dalam Peraturan Dirjen KSDAE Nomor P.6/IV-SET/2011 tentang Pedoman Penilaian Lembaga Konservasi. “Pihak yang melakukan akreditasi adalah tim independen bentukan Pemerintah. Mereka tersertifikasi. Beberapa lembaga konservasi sudah mengajukan perizinan,” katanya.

Baca: Kantongi Izin Lembaga Konservasi, Kebun Binatang Surabaya Janji Sejahterakan Satwa

 

Salma adalah anak gajah sumatera yang ditemukan terluka parah di hutan Kecamatan Simpang Jernih, Kabupaten Aceh Timur, Aceh, pada 18 Juni 2019. Kini, gajah usia satu tahun ini dirawat di Conservation Response Unit [CRU] Serbajadi, Kabupaten Aceh Timur. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

Indra menegaskan, menjalankan lembaga konservasi harus dengan passion, kalau tidak, akan collapse. Jangan hanya mengutamakan profit. “Wildlife menjadi isu penting, sorotan internasional terkait publikasi dunia menuju kepunahan satu juta spesies. Ini yang ingin Indonesia buktikan, tidak terjadi di Indonesia. Meskipun, kita memiliki banyak PR, tantangan bagaimana menyelamatkan keanekaragaman hayati alam,” katanya.

Berdasarkan data yang Indra peroleh dari beberapa titik pemantauan, ada berbagai macam spesies yang mengalami kenaikan populasi, dibandingkan 2015 lalu. Di antaranya gajah sumatera dari 611 menjadi 693 individu, jalak bali dari 31 menjadi 191 individu, badak jawa dari 63 menjadi 68 individu, harimau sumatera dari 180 menjadi 220 individu, elang jawa dari 91 menjadi 113 individu, dan owa jawa dari 546 menjadi 1.107 individu.

Baca: Peningkatan 10 Persen Populasi Harimau Sumatera akan Tercapai, Asalkan…

 

Pergelangan kaki kiri depan Salma nyaris putus akibat jerat yang dipasang pemburu. Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

Pembinaan

Direktur Wildlife Conservation Society – Indonesia Program [WCS-IP] Noviar Andayani mengatakan, lembaga konservasi yang belum diakreditasi perlu pembinaan. Peran PKBSI menjawab permasalahan ini, sebagai quality and insurance control dari kebun binatang atau taman satwa se-Indonesia.

“Pendataan lembaga konservasi penting dilakukan, sehingga monitoring lebih mudah dilakukan,” ujarnya.

Meski begitu, menurut Noviar, bagi lembaga konservasi menjadi sulit mengejar profit karena harus menyelenggarakan kegiatannya dengan baik dan benar. Butuh biaya yang tidak murah. Misal, penyediaan pakan, kesehatan, infrastruktur penunjang dan lain sebagainya. Sementara, kemampuan masyarakat membayar tiket dengan harga memadai terbatas.

“Kalau dilihat biaya dan bisnis, sulit membayangkan untung. Jadi inilah mengapa banyak lembaga konservasi harus dicatat, dimonitor dan dipantau supaya mereka tidak menjadi sarana pencucian atau penjualan satwa.”

Jika lembaga konservasi tidak menjalankan standar yang baik seperti animal walfare, perlu peringatan tegas. Misal, diberi tenggat waktu tiga tahun untuk memperbaiki performa, fasilitas dan kesejahteraan satwa. Jika tidak, izinnya dicabut.

“Masyarakat juga jadi bagian pengawasan, soal animal walfare termasuk di dalamnya. Pembinaan dalam kontek mengubah zoo menjadi taman satwa.”

Baca: Foto: Salma, Anak Gajah yang Terluka Akibat Jerat

 

Komodo, satwa kebanggaan Indonesia yang dikembangbiakkan di Kebun Binatang Surabaya. Foto: Rhett Butler/Mongabay

 

Akreditasi

Ketua PKBSI Rahmat Shah mengatakan, pihaknya sudah meminta, akreditasi lembaga konservasi yang berada di bawah naungan organisasinya segera dilakukan. Selama ini, ada kendala.

“Biaya agak tinggi, waktunya agak sulit disamakan. Pada 2020, sudah siap seluruh lembaga konservasi. Yang sudah baik kita tingkatkan, yang sudah sangat baik, kita pertahankan. Yang tidak peduli, kita tinggalkan atau hilangkan,” katanya.

Rahmat membandingkan proses akreditasi lembaga konservasi dengan di luar negeri yang dilakukan organisasi. Ia menegaskan, pihaknya bisa melakukan hal tersebut, sebab di PKBSI banyak pakar teruji. Bahkan kalau perlu kita tarik dari luar, kerja sama dengan berbagai organisasi.

“Hanya, lembaga konservasi yang ada di Indonesia, tidak semua anggota PKBSI. Padahal, dulu dijanjikan pemerintah, seluruh yang berkaitan satwa, masuk anggota PKBSI.

Baca juga: Tak Satupun Kebun Binatang di Indonesia Punya Hutan Rehabilitasi Harimau

 

Harimau sumatera. Foto : Anton Wisuda/Mongabay Indonesia

 

Rahmat menegaskan, banyaknya masalah yang sering diekspos media terkait buruknya pengelolaan, sebenarnya bukan anggota PKBSI. Sebab, PKBSI selalu melakukan pembinaan kepada semua anggotanya. ”Proporsinya sekarang, 70 persen sudah baik.”

Rahmat tak menampik, organisasi yang dipimpinnya itu memiliki tantangan semakin berat, satu-satunya organisasi yang mewadahi lembaga konservasi seluruh Indonesia baik pemerintah maupun swasta.

“Lembaga konservasi wajib dikelola dengan standar kesejahteraan satwa nasional maupun internasional. Juga, tidak hanya tempat rekreasi, melainkan juga berperan dalam pemenuhan fungsi konservasi, edukasi, rekreasi, bahkan penelitian dan pengembangan pengetahuan.”

Pihaknya secara konsisten mendorong para anggota mempertahankan kemurnian genetik. Lembaga konservasi yang kelebihan populasi harus berani mengambil kebijakan, melepas satwanya dengan cara kerja sama pertukaran maupun hibah.

“Hal ini sesuai konsep yang diyakini bersama, lembaga konservasi bukan peternakan. Tidak boleh ada anggapan koleksi satwa milik institusi, melainkan milik negara. Bagaimanapun, secara global koleksi satwa merupakan cadangan saat alam membutuhkan. Dengan demikian, kualitas pengelolaan satwa di setiap lembaga konservasi, mempertaruhkan nama baik dan citra bangsa Indonesia di mata dunia,” tegasnya.

 

 

Exit mobile version