Mongabay.co.id

SRAK Orangutan 2019-2029 Diluncurkan, Strategi Apa yang Diutamakan?

Orangutan sumatera yang hidup di Ketambe saat ini sedng disurvei kembali, data sebelumnya menunjukkan 50 individu. Foto atas (survei populasi orangutan) dan bawah (orangutan): Junaidi Hanafiah

 

 

Populasi dan habitat orangutan terancam. The International Union for Conservation of Nature [IUCN] memasukkan tiga spesies orangutan yang ada di Indonesia, orangutan sumatera, orangutan Kalimantan, dan orangutan tapanuli, dalam status Kritis [Critically Endangered].

Menjawab tantangan tersebut, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan [KLHK] meluncurkan Strategi dan Rencana Aksi Konservasi [SRAK] Orangutan 2019-2029. Dokumen ini melanjutkan SRAK Orangutan 2007-2017. Dokumen tersebut sudah disahkan melalui Keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor SK.308/MENLHK/KSDAE/KSA.2/4/2019 pada 26 April 2019.

“Konservasi orangutan dan habitatnya diharapkan selaras dengan program pembangunan,” kata Dirjen KSDAE KLHK Wiratno, pada peluncuran tersebut di Manggala Wanabakti Jakarta, Senin [12/8/19].

Wiratno mengatakan, pihaknya ingin konservasi orangutan lebih kuat lagi, harus dikomunikasikan dengan para pihak. Misal, terkait 70 persen populasi orangutan yang berada di luar kawasan konservasi, seperti perkebunan kelapa sawit dan sebagainya. “Kami berharap dukungan seluruh sektor, mengingat semakin sulit mencari habitat baru yang layak sebagai lokasi pelepasliaran orangutan,” ujarnya.

Baca: Orangutan Tapanuli, Spesies Baru yang Hidup di Ekosistem Batang Toru

 

Orangutan sumatera yang hidup di hutan Leuser. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

Menurutnya, SRAK Orangutan 2007-2017 sudah bagus. Meski dalam perjalananya masih ditemukan berbagai kendala. Selama ini katanya, orangutan masih dianggap hama, angka perburuan masih tinggi, dan tingkat kesadaran masyarakat juga rendah.

“Kita mau duduk bersama lagi dengan pemilik kebun yang sudah menyatakan kesiapan membantu. Meskipun ada masalah karena konsesi mereka yang memiliki High Conservation Value [HCV] dianggap idle area. Sehingga ketika mereka mengurus hak guna usaha [HGU], areal itu dikeluarkan dari konsesinya. Kami akan membicarakan hal ini dengan Kementerian ATR/BPN,” katanya.

Wiratno mengatakan, jumlah orangutan yang direhabilitasi juga semakin banyak. Perlu biaya tak sedikit. Satu individu direhabilitasi diperkirakan butuh dana Rp3 juta per bulan.

“Belum lagi orangutan yang tak bisa dirilis. SRAK merupakan acuan kita bergerak lebih sistematis dan terpadu dengan data terbaru, lebih valid. Di beberapa lokasi pemantauan sudah ada peningkatan populasi. Pada SRAK 2007-2017, orangutan tapanuli belum ada, sekarang sudah dimasukkan,” katanya.

Baca: Naik Status, Perlindungan Orangutan Kalimantan dan Habitatnya Harus Serius

 

Bayi kembar orangutan tapanuli dengan induknya yang terpantau di ekosistem Batang Toru, Sumatera Utara. Foto: SOCP

 

Populasi terbaru

Direktur Konservasi Keanekaragaman Hayati KLHK Indra Eksploitasia mengatakan, SRAK orangutan bertujuan mengkomunikasikan upaya-upaya konservasi untuk bisa dilaksanakan semua pihak. Baik Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, LSM, serta dunia usaha.

“Hal terbaru adalah data populasi dan strategi yang lebih inovatif, semua sektor.”

Untuk orangutan sumatera sebagian besar tersebar di Provinsi Sumatera Utara dan Aceh, terbagi delapan metapopulasi. Diperkirakan berjumlah 13.710 individu di habitat seluas 20.532,76 kilometer persegi. Populasi terbesar di Leuser, terbagi dua metapopulasi, Leuser Barat [5.920 individu] dan Leuser Timur [5.780 individu].

Populasi orangutan tapanuli diperkirakan hanya 577-760 individu di habitat seluas 1.051,32 kilometer persegi, yang tersebar pada dua metapopulasi. Orangutan ini hanya ditemukan di hutan Tapanuli dalam tiga kabupaten, Tapanuli Tengah, Tapanuli Selatan, dan Tapanuli Timur. Habitat tersisa sudah terfragmentasi jalan lintas kabupaten menjadi dua bagian besar, yaitu Blok Batang Toru Barat dan Batang Toru Timur. Ada juga beberapa populasi kecil di Cagar Alam Sipirok, Lubuk Raya, dan Sibualbuali.

Sementara populasi orangutan kalimantan, diperkirakan 57.350 individu di habitat seluas 160.139 kilometer persegi yang tersebar di 41 metapopulasi. Di Indonesia terdapat 26 metapopulasi, Malaysia ada 12 metapopulasi, serta 3 metapopulasi di kedua negara.

Untuk subspesies P.p. pygmaeus, populasinya 4.490 individu [tidak termasuk 30 individu di Ulu Sebuyau-Sedilu Landskap di Serawak]. Jumlah P.p. wurmbii sekitar 38.200 individu. Sementara P.p. morio sebanyak 14.630 individu, populasinya yang di Kalimantan Timur hanya 2.900 individu, sisanya di Sabah.

“SRAK ini diharapkan dijalankan berbagai pihak, karena ada tugas dan tanggung jawab bersama,” jelasnya.

Menurut Indra, pihaknya juga menggandeng asosiasi pelaku usaha untuk mengimplementasikan SRAK. Di antaranya Gabungan Asosiasi Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia [GAPKI].

“Peran GAPKI sedang diintensifkan. Bagaimana mereka menjalankan usaha dengan memperhatikan HCV yang ada orangutan. Mestinya, ini dijadikan nilai tambah. Misalnya, untuk mendapatkan sertifikasi ISPO atau RSPO yang selama ini yang voluntary jadi mandatory.”

Baca juga: Sri Suci Utami Atmoko, Sang Konservasionis Orangutan Sejati

 

Alba orangutan albino satu-satunya di dunia yang kini hidup di TNBBBR. Foto: BOSF

 

Kolaboratif

Ketua Forum Orangutan Indonesia [FORINA] Aldrin mengatakan, proses penyusunan SRAK secara kolaboratif. Melibatkan Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, akademisi, LSM, swasta dan pemerhati. “FORINA siap membantu pemerintah mensinergikan upaya konservasi orangutan ke seluruh pihak terkait,” katanya.

CEO Borneo Orangutan Survival Foundation [BOSF] Jamartin Sihite mengatakan, SRAK ini sangat penting sebagai panduan semua pihak. “Diharapkan, gaya atau cara penyelamatkan orangutan ke depan bisa kolaborasi dan saling menghargai,” ujarnya.

Berdasarkan data, jumlah orangutan di pusat-pusat rehabilitasi di Kalimantan pada akhir 2017 terdapat 1.060 individu orangutan kalimantan yang harus selesai dilepasliarkan pada 2022. Untuk memenuhi target tersebut, dari 2019-2022 harus dilepaskan minimal 215 individu per tahun.

Strategi konservasi orangutan 2019-2029 terbagi lima bagian. Pertama, pengelolaan konservasi orangutan, yaitu melindungi habitat di dalam maupun luar kawasan konservasi. Kedua, program aturan dan kebijakan, mengembangkan dan mendorong terciptanya kawasan konservasi daerah berdasarkan karakteristik ekosistem, potensi, tata ruang wilayah, status hukum dan kearifan masyarakat.

Ketiga, pengembangan kemitraan dan kerja sama, menyiapkan program kemitraan dan mendukung konservasi orangutan. Keempat, meningkatkan komunikasi dan penyadartahuan masyarakat. Kelima, pendanaan, diantaranya membangun skema perkreditan perbankan yang mengadopsi prinsip-prinsip konservasi orangutan, pendidikan konservasi, meningkatkan dukungan pemangku kepentingan dan mendorong dukungan pelaku usaha.

 

Tiga spesies orangutan yang ada di Indonesia: pongo abelii, pongo tapanuliensis, dan pongo pygmaeus. Sumber: Batangtoru.org

 

Pelaku usaha

Ketua Kompartemen Hubungan Stakeholders GAPKI Edi Suhardi mengatakan, persepsi yang selama ini berkembang di masyarakat, seolah memposisikan perusahaan perkebunan kelapa sawit sebagai penyebab berkurangnya populasi dan habitat orangutan. Edi pun tak menampik hal tersebut.

“Pertumbuhan perkebunan kelpa sawit memang luar biasa, hingga mencapai 15 juta hektar. Sebagian besar mungkin berlokasi di habitat orangutan,” katanya.

Edi mengklasifikasikan tiga karakter perusahaan sawit di Indonesia. Pertama, perusahaan yang belum menjadi anggota GAPKI. Ini yang mungkin banyak melakukan praktik-praktik pembukaan lahan tidak sesuai standar. Kedua, perusahaan anggota GAPKI yang menjadi anggota RSPO, lebih sensitif dan berkomitmen melindungi kawasan. Tidak membuka lahan teridentifikasi High Conservation Value [HCV].

“Meski APL, kami sebagai anggota RSPO tidak diperkenankan membuka lahan bernuansa HCV,” katanya.

Ketiga, perusahaan yang paling komitmen adalah anggota GAPKI, RSPO dan menandatangani komitmen NDPE [No Deforestasi, No Peat, dan No Exploitation]. Kategori ini jumlahnya sangat sedikit. “Perusahaan akan melakukan pembukaan lahan di luar kawasan HCV dan mempraktikkan perlindungan habitat orangutan di konsesinya.”

Edi mengatakan, hal yang menjadi masalah, ketika perusahaan mengajukan izin HGU ke Kementerian ATR/BPN, sering kawasan HCV dikeluarkan dari konsesi. Sebab, wilayah HCV dianggap tidak diusahakan perusahaan. “Sehingga memungkinkan masyarakat atau perushaan lain masuk dan mengganggu habitat orangutan.”

Terkait komitmen konservasi orangutan, lanjut Edi, akan lebih mudah jika semua stakeholder mau bekerja sama dengan perusahaan perkebunan yang sudah menandatangani NDPE dan RSPO.

“Hal yang kami harapkan dari SRAK adalah keterbukaan NGO. Selama ini posisi NGO dan perusahaan seolah selalu berlawanan. Apalagi terkait orangutan. Sekarang kami memulai dengan BSOF dan OFI untuk upaya relokasi, evakuasi, maupun adopsi dan rehabilitasi,” ujarnya.

Edi mengatakan, kehadiran FORINA penting sebagai mediator netral, untuk untuk melakukan kolaborasi tanpa ada kekhawatiran perusahaan melakukan green washing. “Bapak Dirjen bisa membentuk satu tim melalui SK dengan melibatkan swasta. Kami juga berharap ada mekanisme terbaik untuk melibatkan swasta dalam forum-forum konservasi orangutan,” tandasnya.

 

 

Exit mobile version