Mongabay.co.id

Inge dan Boris, “Penguasa Baru” Situ Patenggang

 

 

Suasana sunyi mengiringi sepasang owa jawa keluar kandang habituasi menuju hutan tepian Situ Patenggang, Ciwidey, Kabupaten Bandung, Jawa Barat. Tirai kabut yang perlahan ditembus sinar matahari di akhir Juli 2019, menjadi penanda berakhirnya masa karantina primata anggota anggota suku Hylobatidae ini.

Tanpa suara, dua individu Hylobates moloch itu langsung bergelayutan di dahan-dahan pohon. Melihat pemandangan itu, wajah Sigit Ibrahim bersama para pegiat lingkungan lainnya tampak puas. Inge dan Boris sudah bebas. Koordinator Perawat Pusat Rehabilitasi Primata Jawa, The Aspinal Foundation, telah merehabilitasi keduanya hampir setahun.

Inge merupakan betina 6 tahun hasil sitaan Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam [BBKSDA] Jawa Barat. Sedangkan Boris, jantan 9 tahun hasil breeding di Bali Zoo.

Baca: Kisah Mudiknya 6 Owa Jawa ke Tanah Pasundan

 

Owa jawa merupakan satwa liar dilindungi. Foto: Donny Iqbal/Mongabay Indonesia

 

Sigit mengatakan, proses menjodohkan mereka terjadi di kandang karantina. Bila tidak, owa tak dapat dilepasliarankan, alias tidak akan bertahan jika tak memiliki pasangan.

Di kadang berukuran 25 x 25 meter, mereka melewati beragam terapi pemulihan. Mengembalikan insting alami yang hilang akibat terbiasa dipelihara manusia menjadi hal terlama. Terapi lain yang dilakukan adalah meletakkan variasi makanan, hingga memperbanyak tempat bergelantung.

Jika owa memenuhi indikator “liar” langkah selanjutnya pelepasliaran. Tandanya, mereka galak dan waspada setiap ada manusia atau obyek lain mendekat. “Owa pun mulai meninggalkan kebiasaan berjalan di tanah, lebih sering bergelanyut,” terang Sigit.

Baca: Berbagi Kawasan di Gunung Tilu : Antara Manusia Dan Primata

 

Owa jawa yang sejauh ini perlu penelitian mendalam terkait populasi dan keberadaannya di alam liar. Foto: Donny Iqbal/Mongabay Indonesia

 

Owa tak berekor. Tubuhnya langsing, berbulu halus lebat kelabu keperakan. Mukanya kelilingi rambut kehitaman. Di habitat alaminya, ia piawai bergelayut [brachiating] di dahan pucuk pohon tinggi. Bunyi suaranya khas hut-hut-huuuot- huuuot.

Sayangnya, nasib owa jawa berada di jurang kepunahan. Kera yang kedua tangannya lebih panjang hampir dua kali dari badannya ini, perlahan kehilangan daya sebagai penguasa hutan-hutan Jawa.

Bukti itu, diceritakan Sigit. Ia mengatakan, masyarakat sekitar kawasan Cagar Alam Situ Patengang terakhir kali mendengar suara owa pada 1980-an. “Setelah itu tak hilang,” ucapnya.

Inge dan Boris menjadi owa pertama yang dilepasliarakan di kawasan konservasi berstatus cagar alam seluas 86 hektar tersebut. Keberadaannya bakal membuat hutan ini lebih bernyawa setelah 39 tahun senyap.

Baca: Foto: Hidup Owa Memang Seharusnya di Hutan

 

Situ Patengang, Ciwidey, Kabupaten Bandung, Jawa Barat, merupakan cagar alam tempat pelepasliaran owa jawa. Foto: Donny Iqbal/Mongabay Indonesia

 

Habitat terganggu

Sejak didirikan 2012, Aspinal fokus melakukan kajian kawasan sekaligus pelepasliaran di wilayah Bandung Selatan, terutama Cagar Alam Gunung Tilu. Sudah 37 owa dikembalikan ke alam.

Kabar baiknya, hasil monitoring Aspinal mencatat ada pasangan owa yang kawin dengan owa liar. Ada pula yang setia dengan pasangan sejak karatina. Bahkan, terpantau empat anakan owa lahir di alam.

Umumnya, owa hidup berkelompok dalam suatu keluarga terdiri induk dan jantan berikut anakan yang belum disapih. Rata-rata, berpopulasi antara 2 sampai 4 individu tiap kelompok.

Sang induk, melahirkan anak sekitar 220-an hari. Bayi owa akan tetap berada di kelompoknya dan disampih setelah remaja. Usia matang seksual, kata Sigit, antara 6-7 tahun. Setelah itu owa pra-dewasa harus meninggalkan teritori kelompoknya. Pergi merantau sekaligus mencari jodoh untuk membuat kelompok baru. Setidaknya, owa membutuh 33 hektar kawasan sebagai teritori.

Baca juga: Owa, Primata Dilindungi Ini Ada Saja yang Pelihara!

 

Inge dan Boris merupakan owa pertama yang dilepasliarakan di Situ Patenggang, kawasan konservasi berstatus cagar alam seluas 86 hektar. Foto: Donny Iqbal/Mongabay Indonesia

 

Kata peneliti Suci Utami yang hadir pada pelepasliaran, di alam bebas, seperti di sisa hutan yang ada tingkat harapan, hidup owa cuma belasan tahun. Itu pun kalau tidak dibunuh pemangsa buas, termasuk manusia.

“Tetapi yang dominan terganggunya habitat. Di Jawa, tak ada hutan yang tak dirambah. Bahkan saat meneliti, saya menemukan owa terkurung di salah satu kawasan yang sudah habis dibabat,” ungkap Suci yang juga meneliti orangutan.

Ia menuturkan, kedua satwa endemik ini memiliki kesamaan. Sama-sama menghadapi ancaman besar, kehilangan habitat yang mempersempit ruang hidup mereka.

 

Kawasan Situ Patenggang yang kini diramaikan owa kembali setelah sekian lama tak terdengar suaranya. Foto: Donny Iqbal/Mongabay Indonesia

 

Upaya konservasi

Upaya konservasi owa jawa bukan hal gampang. Selain karena kejahatan perburuan dan perdagangan, habitat primata ini pun terancam hilang akibat degradasi dan pembukaan hutan.

“Tidak menutup kemungkinan daya jelajah owa terdesak, lalu hidup di hutan mendekati puncak gunung,” ujar Sigit. Biasanya owa hidup di hutan berketinggian 600-an meter di atas permukaan laut.

Hasil pengamatan di lapangan menunjukan, owa yang telah beranak-pinak seolah mengajarkan anaknya untuk bermain ke arah puncak dari teritorinya. Mereka memilih tidak mendekati kaki gunung yang berpeluang bersinggungan dengan aktivitas manusia.

“Nasibnya bertahan bila pemerintah berpihak mempertahankan habitatnya.”

Direktur Eksekutif Aspinal, Made Wedana, berpandangan, rehabilitasi bukanlah opsi paling baik menyelamatkan owa jawa. Menurutnya, pilihan terbaik justru menjaga kawasan sebagai habitatnya.

“Opsi tersebut jauh lebih murah dan efektif ketimbang dimulai penangkapan, rehabilitasi yang diakhiri pelepasliaran. Proses ini panjang dan sulit,” terangnya.

Wedana bilang, pertama kali melakukan kajian kawasan di Gunung Tilu terdapat 15 kelompok atau sekitar 40 individu owa. Kini, populasinya di kawasan seluas 8.000 hektar itu mencapai 77 individu.

“Kami tidak melepas di banyak tempat. Kami fokus di wilayah ini dengan upaya optimal. Terutama pengamanan kawasan,” tuturnya.

Pada 2008, Wedana meneliti persebaran owa dan memprediksi populasinya masih pada kisaran angka 2.000 hingga 2.500 individu. Namun, angka itu masih belum pasti, terhenti pada keterbatasan pendanaan.

Ikhwal populasi owa jawa, Kepala BBKSDA Jabar Ammy Nurwati mengaku belum mengetahui pasti. Belum ada data keseluruhan. Ia mengatakan hanya mengetahui jumlahnya berdasarkan kantong populasi di beberapa side monitoring saja.

Pemerintah memang memiliki upaya ingin menambah populasi di alam. Salah satu upaya melalui rencana aksi yang dibuat berkala. “Upaya itu sudah membuahkan hasil,” tuturnya. Namun, Ammy enggan merinci indikator peningkatan tersebut.

 

Indonesia memiliki 7 jenis owa dari 19 jenis yang hidup di Asia. Foto dari Buku Owa Kecil yang Kehilangan Nyanyiannya. Foto: Rahmadi Rahmad/Mongabay Indonesia

 

Indonesia merupakan rumah besar 7 jenis owa dari 19 jenis yang ada di Asia. Ada Hylobates moloch [owa jawa] yang tersebar di Jawa Barat dan sebagian Jawa Tengah; Hylobates lar [serudung] yang berada di Sumatera bagian utara; Hylobates agilis [ungko] di Sumatera bagian tengah ke selatan; juga Symphalangus syndactylus [siamang] di seluruh Sumatera.

Berikutnya, Hylobates klosii [bilou] di Pulau Mentawai, Sumatera Barat; Hylobates muelleri [kelempiau] di seluruh Kalimantan; serta Hylobates albibarbis [ungko kalimantan atau kalaweit] yang berada di Kalimantan bagian barat. Seluruh owa dilindungi Permen LHK P.106/MENLHK/SETJEN/KUM.1/2018 tentang Jenis Tumbuhan dan Satwa yang Dilindungi.

 

 

Exit mobile version