Mongabay.co.id

Masyarakat Menolak Lokasi Pembangunan Waduk Lambo, Kenapa?

 

Pembangunan Waduk Lambo sejak tahun 2001 mendapat penolakan warga. Masyarakat adat Rendu yang tergabung dalam 3 desa yakni Desa Rendubutowe, Kecamatan Aesesa Selatan; Desa Labolewa, Kecamatan Aesesa dan Desa Ulupulu, Kecamatan Nangaroro, Kabupaten Nagekeo, Nusa Tenggara Timur (NTT) tetap pada pendiriannya.

Bahkan Forum Penolakan Pembangunan Waduk Lambo (FPPWL) telah menyurati Presiden RI meminta pembangunan Waduk Lambo di lokasi Lowose dibatalkan. Surat tertanggal 17 Juli 2019 tersebut ditandatangani Ketua FPPWL Bernadus Gaso dan Sekretaris Wilybrodus B Ou.

“Surat ini dibuat untuk menanggapi Keputusan Gubernur NTT No.186/KEP/HK/2019 tentang Pembentukan Tim Persiapan Pengadaan Tanah untuk pembangunan Bendungan di NTT termasuk Waduk Lambo di Kabupaten Nagekeo,” kata Wilybrodus B Ou, Sekretaris FPPWL kepada Mongabay Indonesia, awal September 2019.

baca : Tolak Rencana Lokasi Awal Waduk Lambo, Masyarakat Adat Rendu Berikan Alternatif

 

Pemasangan spanduk penolakan pembangunan waduk Lambo oleh warga yang tergabung dalam Forum Penolakan Pembangunan Waduk Lambo (FPPWL). Foto : Ebed de Rosary/Mongabay Indonesia

 

FPPWL terdiri dari masyarakat adat Ndora, Rendu dan Lambo. Dalam suratnya, komunitas adat ini menegaskan tidak menolak rencana pembangunan Waduk Lambo. Mereka hanya menolak lokasinya yang direncanakan di Lowose. Untuk itu, masyarakat adat menyiapkan dua lokasi alternatif yakni di Lowo Pebhu dan Malawaka.

Masyarakat menolak karena lokasi pembangunan di Lowose berada di pemukimana warga, ada fasilitas umum serta merupakan lahan pertanian produktif.

“Alasan utamanya karena lokasi tersebut berada di tempat pelaksanaan ritual adat dan ada kuburan nenek moyang kami. Makanya ketiga komunitas adat tetap bersikeras menolaknya,” terang Wily.

Surat itu ditembuskan kepada DPR RI, Komnas HAM RI, Ombudsman RI, serta Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR).

Komunitas adat itu mengatakan respon Menteri PUPR sangat bagus saat mereka bertemu pada 4 Agustus 2017 di Jakarta.

Saat bertemu, Menteri PUPR mengatakan bila satu orang saja menolak, maka pembangunan Waduk Lambo tidak akan dilakukan. Untuk itu FPPWL meminta agar Presiden memberhentikan Kepala Balai Wilayah Sungai Nusa Tenggara II sebab tidak mau mendengar aspirasi masyarakat.

baca juga : Mengapa Pembangunan Waduk Lambo Ditolak Masyarakat di Tiga Desa Adat. Apa Masalahnya?

 

Lokasi lahan pembangunan waduk Lambo yang diusulkan masyarakat adat Rendu. Foto : Ebed de Rosary

 

“Saat sosialisasi di kantor desa Labolewa yang dihadiri Bupati Nagekeo bersama Balai Wilayah Sungai (BWS) Nusa Tenggara II masyarakat tetap pada komitmennya menolak pembangunan waduk Lambo,” tegasnya.

Masyarakat mencurigai data luas Waduk Lambo sekitar 592 hektare tidak sesuai kenyataan dan yang disembunyikan. Sehingga ketika perwakilan Masyarakat menanyakan dokumen Amdal sosialisasi itu, kata Wily, acaranya langsung ditutup.

BWS menjelaskan lokasi waduk di Lowose dapat menampung 50 juta meter3 dengan tinggi bendungan 56 meter. Sedangkan lokasi di Malawaka, dapat menampung 13 juta meter3 dengan tinggi bendungan 30 meter.

“Kalau di Malawaka volumenya mau lebih besar maka tinggi bendungan bisa ditambah. Airnya pun tetap sama dan berasal dari beberapa sungai besar yang sama,” paparnya.

Lokasi di Lowose sudah disurvey sejak 2001. Sedangkan di Malawaka, BWS mengaku belum melakukan tahap pengkajian. “Kalau belum ada pengkajian,  kenapa sudah diketahui daya tampung waduk yang akan dibangun di lokasi tersebut” tanya Wily heran.

perlu dibaca : Kekeringan Lahan Pertanian di NTT, Bagaimana Solusinya?

 

Lokasi lahan pembangunan waduk Lambo yang diusulkan pemerintah Kabupaten Nagekeo. Foto: Ebed de Rosary/Mongabay Indonesia

 

Lakukan Relokasi

Bupati Nagekeo Johanes Don Bosco kepada Mongabay Indonesia menegaskan sikapnya sejalan dengan Gubernur dan Presiden yaitu lokasi pembangunan waduk tetap di Lowose yang telah ditentukan berdasarkan kajian.

Saat sosialisasi, Don mengatakan Presiden Jokowi harus mengikuti keputusan tim teknis. “Ini sebenarnya soal ketegasan dan diplomasi saja. Saat pertemuan sosialisasi dinamikanya sangat hidup, semua yang protes mendapat tempat,” ucapnya.

Don menyesalkan keterlambatan pembangunan waduk Lambo dibandingkan daerah lainnya di NTT yang telah dibangun waduk meski diusulkan belakangan. Bila tidak ada pembangunan waduk, Kota Mbay ibukota kabupaten Nagekeo dengan areal persawahan yang luas, tidak akan berkembang.

Masyarakat terdampak akan direlokasi ke pemukiman dengan fasilitas umum dan fasilitas sosial, termasuk tempat penyelenggaraan ritual adat. Pemda Nagekeo juga bakal menyediakan lahan pertanian dan teknologi pertaniannya.

“Untuk Desa Rendubutowe, Ulupulu dan Labolewa sudah ada tempat relokasinya. Sekarang tahapannya sedang dilakukan identifikasi lahan dan menentukan titik koordinatnya. Setelah ada penetapan lokasi oleh Gubernur maka dilakukan pengukuran detail oleh BPN,” jelasnya.

Don bakal mengawal tahapan pengukuran lahan pemukiman, kebun dan tanah ulayat, baik warga yang menolak dan menerima lokasi pembangunan waduk. Nantinya warga akan mendapatkan surat ukur.

Dia meminta komunitas adat berembug menetapkan batas tanah ulayat karena surat ukur tanah ulayat dan kompensasi uangnya bakal diserahkan ke komunitas.

“Atas dasar surat ukur ini, silahkan (masyarakat yang menolak) mau mempermasalahkan pemerintah,” tegasnya.

“Mantan Direktur Walhi Emmy Hafild juga hadir dan menjelaskan kepada masyarakat soal pembangunan Waduk Lambo ini saat sosialisasi,” tutur Don.

perlu dibaca : Menjaga Kemiri, Pohon Uang Si Penyimpan Air

 

Sketsa rencana pembangunan waduk Lambo di Kabupaten Nagekeo, NTT. Foto : Ebed de Rosary/Mongabay Indonesia

 

Program Strategis Nasional

Kepala BWS Nusa Tenggara II Agus Sosiawan kepada Mongabay Indonesia mengatakan pembangunan Waduk Lambo masuk dalam Program Strategis Nasional  Pemerintah Pusat.

Kementerian Keuangan telah mengalokasikan biaya pembangunan. Gubernur NTT juga telah membentuk tim percepatan yang sedang melakukan verifikasi di 3 desa terdampak.

Selanjutnya konsultasi publik dan panitia memberikan waktu 30 hari bagi masyarakat yang berkeberatan untuk menyelesaikan masalah. Bila masih ada keberatan, maka Gubernur akan membentuk tim penilai untuk menerima atau menolak.

“Selanjutnya dilakukan penetapan lokasi oleh Gubernur dan dilanjutkan dengan proses pengadaan tanah,” paparnya.

Dalam menjalankan tugasnya, kata Agus, BWS didampingi dan berkonsultasi dengan Tim Pengawal dan Pengaman Pemerintahan dan Pembangunan Daerah (TP4D) Kejaksaan Tinggi NTT.

Saat sosialisasi di kantor desa Rendubutowe pada April 2019, sebutnya, dilakukan pendataan awal untuk mengetahui luas lahan yang terdampak pembangunan waduk.

“Data ini penting dan dipergunakan untuk urusan ganti rugi dan kompensasi. Masyarakat yang keberatan dengan pembangunan waduk Lambo  bisa menyampaikannya sesuai hukum yang berlaku,” tuturnya.

Sedangkan Ketua Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Nusa Bunga melingkupi wilayah Flores dan Lembata, Philipus Kami kepada Mongabay Indonesia menegaskan warga menolak lokasi pembangunan waduk dan menyiapkan lokasi lahan alternatif milik mereka untuk pembangunan waduk sebagai bentuk dukungan atas program presiden Jokowi tersebut.

“Masyarakat mendukung pembangunan dengan menyediakan lokasi tanah milik mereka. Harusnya pemerintah lakukan survey di lokasi tersebut dan dicari lokasi lainnya bukan memaksakan dibangun di lokasi yang ditolak warga komunitas adat,” pungkasnya.

 

Exit mobile version